Selamat Datang

Selamat membaca dan mengutip, jangan menjadi plagiat
Bagi pemilik tulisan harap kunjungi "surat untuk penulis"

Jumat, 31 Desember 2010

MAKNA TEORITIS MENGENAI KEBUDAYAAN DALAM ANTROPOLOGI KONTEMPORER


Oleh : Hendra Kurniawan*

  Abstrak
 
Teori-teori kebudayaan kontemporer yang berkembang setelah tampilnya pendekatan interpretatif Geertz, berusaha menghindari esensialisme dan reifikasi dalam penggambaran suatu kebudayaan. Secara umum, esensialisme adalah pandangan yang berasumsi bahwa kata-kata memiliki acuan yang stabil, sedangkan anti-esensialisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa kata-kata tidak boleh dianggap mengacu pada kualitas-kualitas esensial atau universal. Posmodernisme sendiri adalah anti-esensialisme yang berupa; (a) gaya kultural yang ditandai oleh intertekstualitas, ironi, pastise, pengaburan genre dan brikolase; (b) gerakan filosofis yang menolak narasi-narasi besar, yaitu penjelasan universal tentang sejarah dan tindakan manusia dan berpihak pada ironi dan pengetahuan-pengetahuan lokal.



I


Esensialisme dicirikan pada penekanan waktu kekinian (temporer), yang sering diperlakukan sebagai hal yang bersifat tidak berubah. Esensialisme berasumsi bahwa kategori-kategori sosial merupakan cermin dari suatu identitas esensial yang tersembunyi. Menurut pandangan ini, kita bisa menemukan adanya kebenaran-kebenaran yang stabil dan esensi, dimana kata-kata mengacu pada esensi yang tetap, dan karena itu identitas dipandang sebagai entitas yang tetap. Dengan demikian, ada kebenaran-kebenaran yang selalu tetap yang bisa dicari (Barker, 2005: 27). Bentuk Esensialisme yang banyak dipelajari oleh antropolog adalah pencarian suatu budaya otentik sebagai dasar legitimasi kolektif, yang kemudian dikritik oleh relativisme dalam antropologi, karena esensialisme dianggap memusatkan perhatian pada ideologi nasionalisme, yang bersifat kontradiktif dengan penindasan pada tingkat lokal dan orientasi praksis pelaku yang justru diminati oleh para etnografer (Barnard, 1996: 188).

Sebaliknya, bagi Anti-Esensialisme, tidak ada kebenaran, subyek, ataupun identitas yang berada di luar bahasa. Dalam pandangan ini, kategori—sebagai konstruksi diskursif—mengubah maknanya sesuai waktu, tempat dan penggunaannya. Sebagai contoh, karena tidak mengacu pada esensi, identitas dianggap bukan sebagai sesuatu yang universal, melainkan deskripsi-deskripsi dalam bahasa. Bahasa dipandang tidak memiliki acuan tetap, dan karena itu tidak mungkin bisa merepresentasi identitas atau kebenaran-kebenaran yang tetap. Dengan demikian, identitas kulit hitam bukan sesuatu yang tetap dan universal, melainkan deskripsi-deskripsi (Barker, 2005: 27).

Pada dasarnya, Anti-Esensialisme tidak melarang kita bicara tentang kebenaran identitas. Hanya saja, Anti-Esensialisme memandang bahwa kebenaran atau identitas bukanlah sesuatu yang universal, yang berasal dari alam, melainkan hasil produksi budaya dalam waktu dan tempat tertentu. Subyek yang berbicara selalu tergantung pada posisi-posisi diskursif yang lebih dulu ada. Kebenaran bukan sesuatu yang ditemukan, melainkan diciptakan, dan identitas adalah konstruksi diskursif. Jika Esensialisme memberikan kepastian ilmiah, maka Anti-Esensialisme menawarkan ironi, yaitu suatu kesadaran akan sifat tidak tetap dan terkonstruksi dari keyakinan dan pemahaman-pemahaman kita yang tidak memiliki landasan universal.

Pencarian terhadap identitas berlandaskan gagasan bahwa ada ada hal yang bisa ditemukan, yaitu bahwa identitas merupakan inti diri yang bersifat universal dan kekal yang kita miliki. Bisa dikatakan bahwa orang memiliki esensi diri yang disebut dengan identitas. Esensialisme seperti ini beranggapan bahwa gambaran-gambaran perihal diri manusia mencerminkan identitas mendasar yang esensial. Artinya, Esensialisme merupakan sesuatu yang tetap dari maskulinitas, feminitas, orang Asia, orang Indonesia, , remaja, dan semua kategori sosial lainnya.

Pendapat seperti ini ditentang oleh Anti-Esensialisme yang beranggapan bahwa identitas bersifat sepenuhnya “kebudayaan” atau “kultural”, yang khas pada masing-masing zaman dan tempat. Sebab, menurut pandangan ini, identitas bersifat lentur dan kultur (kebudayaan) bersifat cair. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk identitas bisa ditukar-tukar dan terkait dengan keadaan (konjungtur) sosial dan kultural tertentu. Di sini, kata identitas tidak mengacu pada kualitas esensial maupun universal, karena bahasa adalah ‘menciptakan’, bukan ‘menemukan’. Untuk itu, identitas bukanlah suatu benda, melainkan gambaran dalam bahasa, karena identitas itu sendiri adalah ciptaan wacana yang bisa berubah makna sesuai waktu, tempat, dan penggunaan (Barker, 2005: 219). Kepedulian antropologi masa kini terhadap kemajemukan wacana kebudayaan dan pengetahuan yang termarjinalkan oleh kekuasaan, berkaitan erat dengan kiprah antropologi dewasa ini yang menentang “esensialisme budaya”.[1] Untuk selanjutnya, pendekatan prosesual yang anti-esensial digunakan sebagai salah satu alternatif pendekatan yang menyajikan kemungkinan bagi peneliti antropologi untuk mendeskripsikan dan menjelaskan dinamika budaya.


II


Salah satu aspek yang terkait dengan asumsi dasar dari pendekatan prosesual yang anti-esensial adalah karakter yang dinamis dari kebudayaan. Dalam hal ini, “kebudayaan” diyakini selalu mengalami perubahan. Bertolak dari aspek dinamis kebudayaan inilah, maka Borofsky (1994: 313) mengangkat kembali sebutan untuk kebudayaan yang pernah digagaskan oleh Keesing (1994: 301), yaitu sebagai “the cultural”. Dalam pengertian ini, secara jelas, ditegaskan bahwa sebutan the cultural dinilai lebih tepat dari pada a culture, yang cenderung menggambarkan aspek statis dari kebudayaan. Winarto menambahkan bahwa jika dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia, mungkinkah istilah “kultural” lebih tepat mengacu pada the cultural, ataukah “budaya” untuk menggantikan “kebudayaan”? (Winarto, 1999: 26). Dalam tulisannya, Winarto justru menggunakan istilah “budaya” untuk mengacu pada “kultural” atau the cultural dengan penekanan pada karakternya yang dinamis, yang selalu dalam pembentukan, penciptaan kembali, pemodifikasian, dan penyesuaian.

Kebudayaan[2] memiliki dua aspek; (1) makna dan arahan-arahan yang sudah dikenal, yang dilatihkan pada para anggota budaya itu; dan (2) observasi dan makna-makna baru, yang ditawarkan dan diuji. Semua ini merupakan proses-proses biasa dalam masyarakat dan jiwa manusia, dan oleh karenanya kita bisa melihat sifat dari kebudayaan, yaitu bahwa kebudayaan selalu tradisional sekaligus kreatif (makna-makna umum yang paling biasa, sekaligus makna-makna individual yang paling halus).

Kebudayaan itu sendiri digunakan dalam dua pengertian; (1) sebagai keseluruhan cara hidup, yaitu makna-makna yang umum; dan (2) untuk menunjuk pada kesenian dan pembelajaran, yaitu proses-proses khusus penemuan dan usaha kreatif. Dalam setiap masyarakat dan setiap jiwa, kebudayaan merupakan hal-hal yang dialami dalam kehidupan sehari-hari (Williams, 1989: 4). Dengan demikian, kebudayaan bergantung pada keserupaan secara umum, dalam penafsiran secara bermakna oleh para anggotanya terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka dan keserupaan dalam cara memahami mereka tentang dunia nyata (Hall, 1997a: 2).

Implikasi utama dari dari konsep praksis bagi konsep kebudayaan ialah bahwa simbol-simbol yang terkandung dalam suatu kebudayaan senantiasa bersifat cair, dinamis dan sementara, karena keberadaannya tergantung pada praksis para pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu, yang memiliki kepentingan tertentu pula. Kebudayaan[3] dalam arti ini bukan semata-mata merupakan sekumpulan pengetahuan yang diwariskan atau dilestarikan, melainkan merupakan sesuatu yang ‘dibentuk’, yaitu suatu kontruksi sosial yang berkaitan erat dengan kepentingan maupun kekuasaan si pelaku (Alam, 1999: 7). Dengan demikian, praksis para pelaku tidak sepenuhnya bebas dari struktur obyektif, tetapi praksis juga dapat mengubah struktur obyektif tersebut.

Untuk kasus di Indonesia, konsep kebudayaan yang dinamis dan inovatif seperti ini sangat diperlukan, karena kepentingan-kepentingan politik seringkali dipresentasikan sebagai wacana kebudayaan. Sebagai contoh, segala sesuatu yang dipandang profitabel, efektif dan efesien, hanya karena datangnya dari kebudayaan luar, maka—secara politis—kebudayaan yang dominan saat itu akan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang menyimpang atau tidak sesuai.

III


Dari uraian di atas, pembahasan mengenai kebudayaan ini adalah menurut pandangan Posmodernisme—yang berargumentasi bahwa subyektivitas merupakan efek dari bahasa atau wacana. Meskipun tidak ada kesejajaran langsung antara Pos-modernisme Pos-strukturalisme, dan pos-positivisme, pada masing-masing istilah dapat mengarah pada pencampuradukan yang diinginkan di antara ketiganya. Ketiga istilah ini memiliki kesamaan dalam pendekatannya terhadap epistemologi. Ketiganya menolak kebenaran sebagai suatu obyek abadi yang tetap atau yang biasa dikenal sebagai Anti-Esensialisme—yang menekankan pada peran konstitutif bahasa yang tidak stabil.

Posmodernisme memiliki potensi untuk memberi suara pada politik yang membebaskan suatu politik perbedaan, keragaman, dan solidaritas, yang dianggap sebagai keunggulan dari pandangan ini. Kondisi posmodernitas adalah jiwa modern yang sedang bercermin diri dari jauh dan menangkap keharusan mendesak untuk berubah (Bauman, 1991). Ketidakpastian, ambivalensi, dan ambiguitas kondisi Posmodern, menurut Bauman, membuka kemungkinan untuk menerima kontingensi atau kondisionalitas sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, yang dengannya orang bisa menciptakan masa depannya sendiri. Untuk itu, Posmodernisme mengubah toleransi menjadi solidaritas yang bukan sekedar soal kesempurnaan moral, melainkan sebuah kondisi yang perlu untuk bertahan hidup.

Posmodernisme memandang reflektifitas bisa dipahami sebagai wacana tentang pengalaman. Menjadi reflektif artinya berpartisipasi dalam sejumlah wacana dan hubungan-hubungan, dan pada saat yang sama mengkonstruksi wacana tentang apa yang dilakukan. Refleksifitas juga menuntut orang untuk membandingkan suatu tradisi dengan tradisi lain, suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Dengan demikian, budaya Posmodern mengundang orang-orang yang menjadi “orang lain” dalam modernitas untuk menyingkirkan perbedaan, dan sebagainya.

Karena Posmodernisme seringkali berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan epistemologi atau pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran dan pengetahuan, maka yang seringkali dianggap sebagai ciri dari kelemahan budaya Posmodernisme adalah justru mengenai tingginya tingkat refleksivitas—yang menunjukkan adanya kesadaran akan sifat terpilah-pilah, ambigu, dan tidak pasti dari dunia. Hal ini berjalan seiring dengan penekanan pada kontingensi, ironis, dan kaburnya batas-batas “kultural” atau “kebudayaan”.

Tanpa kepastian yang ada pada keyakinan-keyakinan agama dan kebudayaan tradisional, posmodernisme akan tampak seperti serangkaian alternatif yang terus bertambah banyak, yang harus dipilih tanpa dasar. Dan pada akhirnya, tidak selamanya orang bisa hidup dalam chaos. Karena tidak ada kepastian yang bisa dijadikan sandaran, Posmodernis terdorong menjadi lebih reflektif tentang diri mereka sendiri (Gergen, 1994: 71; Pease, 1999: 1-25). Bagi kalangan yang kurang begitu menyukai Posmodernisme, refleksifitas dianggap hanya memperlebar kemungkinan-kemungkinan permainan konstruksi-diri dalam identitas jamak. Menurrut mereka, tidak semua isu lepas dari sistem dan struktur, dan tidak semua sistem dan struktur tidak berfungsi. Karena sistem dan struktur merupakan peranan dari kebudayaan, maka manajemen, adaptasi, variasi, komputerisasi, keahlian dan simbol merupakan sistem yang tidak statis, bukan Fungsionalisme.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menerima legitimasi klaim kebenaran yang beragam adalah suatu sikap politis juga, karena penerimaan ini berarti mendukung pluralisme budaya posmodern yang pragmatis. Keraguan dan ketidakpastian yang menjadi ciri pengetahuan kontemporer bagi Posmodernisme, menurut Giddens (1990) bukanlah sebagai ‘Posmodernitas’, melainkan sebagai suatu ‘modernitas yang diradikalisasi’. Sebab, prevelensi kebudayaan sangat meluas dalam pengertian kajian budaya (cultural studies), bukan dalam pengertian posmodernisme (Hall dalam Thompson, 1997).




* Makalah ini disusun sebagai Tugas Mata Kuliah-Wajib Seminar Masalah Antropologi: Posmodernisme. Program Pascasarjana (S-3) Departemen Antropologi FISIP-UI. Hendra Kurniawan, 29 April 2005.







DAFTAR PUSTAKA



Agger, B. (2003). Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, terjemahan dari judul asli “Critical Social Theories: An Introduction”. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Alam, B. (1997). Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan. Depok, Universitas Indonesia: Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 54.

_____, (1998). Konsep Kebudayaan Dewasa Ini: Seputar Pertanyaan Mengenai Kontruksi Budaya, Esensialisme dan Kekuasaan. Depok, Universitas Indonesia: Makalah Diskusi Asosiasi Antropologi Indonesia.

_____, (1999). Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan. Depok, Universitas Indonesia: Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 60.

Barker, C. (2005). Cultural Studies: Teori dan Praktik, terjemahan dari judul asli “Cultural Studies: Theory and Practice”. London: Sage Publications (2000). Yogyakarta: Bentang.

Barnard, A. & Spencer, J. (1996). Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. London, New York: Routledge.

Bauman, Z. (1991). Modernity and Ambivalence. Cambridge: Polity Press.

Borofsky, R. (1994). AssessingCultural Anthropology (Ed.). New York: McGraw-Hill, Inc.

Du Gay, P., Hall, S., Janse, L., Mackay, H. & Negus, K. (1997). Doing Cultural Studies: The Story of the Sony Walkman. London: Sage Publications.

Fox, R.G. & King B.J., (2002). Anthropology Beyond Culture (Eds.). New York: Berg.

Gergen, K. (1994). Realities and Relationships. Cambridge: Harvard University Press.

Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.

Hall, S. (1997a). The Work of Representation, dalam Stuart Hall (ed.) Representations. London & Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Hassard, J. & Parker, M. (1999). Postmodernism and Organizations (Eds.). London: Sage Publications.

Kaplan, D., Manners, A. (2002). Teori Budaya, terjemahan dari judul asli “The Theory of Culture”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Keesing, R.H. (1994). Theories of Culture Revisited, dalam Robert Borofsky “Assesing of Cultural Anthropology”. New York: McGraw-Hill.

Lopez, J. & Potter, G. (2001). After Postmodernism: An Introduction to Critical Realism (Eds.). London, New York: The Athlone Press.

Parker, J, Mars, L., Ransome, P. & Stanworth, H. (2003). Social Theory: A Basic Tool KIt. New York: Palgrave Macmillan.

Pease, B. & Fook, J. (1999). Transforming Social Work Practice: Posmodern Critical Perspectives (Eds.). NSW: Allen & Unwin.

Thompson, K. (1997). Media and Cultural Regulation (Ed.). London: Sage Publications.

Williams, R. (1989). Resources of Hope. London: Verso.

Winarto, Y.T. (1999). Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya. Depok, Universitas Indonesia: Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 60.

Wolff, A. (1925). Essentials of Scientific Method, hal, 10-15.



[1] Esensialisme budaya adalah pandangan bahwa suatu kebudayaan memiliki ‘esensi’ yang statis, yang tidak akan berubah selama-lamanya, atau sebagai ‘a reductionist view of culture’ (lengkapnya dalam pernyataan Colson yang dikutip Vayda, 1994: 322).

[2] Konsep kebudayaan yang diajukan oleh Williams ini terpusat pada makna sehari-hari, yaitu; pengetahuan, keyakinan, nilai (ideal-ideal yang abstrak) dan norma (prinsip atau aturan-aturan yang pasti, serta benda-benda material atau simbolis. Karena makna tidak dihasilkan oleh individu, melainkan oleh kolektivitas, maka konsep kebudayaan seperti ini mengacu pada makna-makna bersama.

[3] Pembahasan teoritis mengenai konsep kebudayaan yang dijelaskan oleh Bakhtiar Alam ditinjau dari perspektif teori praksis (Gramsci; Bourdieu, 1977) dan konsep wacana (Benveniste, 1971; Foucault, 1980). Secara praksis, hubungan saling membentuk dan mempengaruhi ini merupakan hubungan dialektis antara subyek dan struktur obyektif. Secara wacana, kebudayaan tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan. Dalam tulisannya, Bakhtiar Alam melakukan pendakatan ini dalam rangka mencari hubungan antara civil society dan negara.
Diposkan oleh Hendra Kurniawan di 22:54

Pariwisata dan Budaya di Tanjungpinang



Oleh : Febby Febriyandi. YS

 Sejak berabad-abad yang lalu Tanjungpinang dan daerah lain di Kepulauan Riau telah dikenal dan banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa di dunia, baik untuk melakukan hubungan perdagangan, ataupun untuk tujuan penyebaran ajaran agama. Keindahan alam, letak yang strategis, sikap ramah tamah dan keterbukaan masyarakat Melayu menjadi faktor penting terjalinnya hubungan baik dengan berbagai bangsa pendatang. Seiring perkembangan zaman, arus para pendatang ke Tanjungpinang semakin meningkat dan semakin beragam. Kedatangan mereka tidak hanya untuk kepentingan perdagangan semata, melainkan juga untuk berwisata menikmati keindahan alam atau mendapatkan kesenangan duniawi lainnya.
Beberapa tahun silam, sektor pariwisata di Tanjungpinang boleh dikatakan sangat menggairahkan dan menggiurkan bagi banyak pihak. Ketika itu industri pariwisata di Tanjungpinang diwarnai oleh praktek prostitusi dan perjudian yang seolah-olah ”legal”. Setelah lahirnya kebijakan pemerintah untuk menertiban praktek prostitusi dan perjudian, industri pariwisata di Tanjungpinang menjadi redup dan semakin menurun baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Berbagai upaya telah dan terus dilakukan untuk memajukan kembali sektor pariwisata, dengan tujuan mendapatkan keuntungan bagi pembangunan daerah dan meningkatnya taraf perekonomian masyarakat.
Tidak hanya bagi Tanjungpinang, dalam skala nasional industri pariwisata menjadi salah satu perhatian sentral dan melahirkan kepedulian dari banyak pihak. Joov Ave[1] mengungkapkan ”kepesatan industri pariwisata di Indonesia memancing timbulnya berbagai kepedulian di kalangan masyarakat luas. Salah satu kepedulian itu adalah kekhawatiran akan terjadinya kelunturan nilai-nilai agama dan adat-istiadat yang dipelihara dan dijunjung tinggi oleh para leluhur”.
Kekhawatiran ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Di jepang, industri pariwisata pernah di boikot oleh ibu-ibu rumah tangga karena dianggap menjual paket-paket wisata maksiat. Masyarakat Polinesia dan Mikronesia di gugusan kepulauan laut pacifik khususnya Hawai, dianggap telah kehilangan identitasnya karena industri pariwisata. Industri ini juga dianggap sebagai malapetaka ketika Virus HIV dan AIDS berkecamuk di salah satu negara ASEAN pada akhir tahun 1980an. Pencemaran lingkungan hidup, kerusakan fauna dan flora di darat dan laut juga disebabkan oleh industri pariwisata.
Marpaung (2002) mengatakan bahwa industri pariwisata membawa akibat pada perubahan kondisi moral masyarakat setempat, seperti pelacuran/seks bebas, perjudian serta perilaku jelek lainnya. Selain itu, Sammeng (2001) mengatakan bahwa industri pariwisata membawa dampak negatif seperti pelecehan nilai budaya dan agama setempat yang dikomersialkan untuk menghibur wisatawan. Sebagai contoh, ritual dan upacara tradisional yang disajikan sebagai pertunjukan bagi wisatawan telah kehilangan nilainya. Pada prinsipnya para wisatawan tidak mendapatkan ritual yang sebenarnya, melainkan hanya sebuah rekayasa.
Dampak lain adalah pergeseran nilai budaya (terutama pada golongan muda), mereka lebih tertarik kepada nilai-nilai yang dibawa oleh wisatawan dari pada nilai budayanya sendiri. Akibatnya nilai tradisional yang merupakan jati diri suatu masyarakat berubah menjadi budaya ”coca-cola” yang manifestasinya adalah : musik disco, lampu neon dan bar atau pub mulai menggantikan musik dan tradisi bersantai masyarakat setempat. Prilaku imitatif generasi muda ini disebabkan oleh penilaian yang bersifat turistik, sehingga menimbulkan prilaku meniru (Sammeng, 2001 ; 233-234).
Hal senada juga disampaikan oleh Oka A. Yoeti, dkk (2006) yang mengatakan bahwa industri pariwisata menyebabkan munculnya apa yang disebut sebagai culture shock (gegar budaya) yaitu suatu kondisi yang dialami oleh seseorang setelah berhubungan atau berkomunikasi dengan seseorang atau kelompok orang yang berbeda budaya dengan kebudayaan orang yang mengalami gegar budaya tersebut. Culture Shock mengakibatkan si penderita merasa tertekan, mengalami kebingungan dan akhirnya secara perlahan-lahan mengalami perubahan budaya.
Bagaimana dengan masyarakat Melayu di Tanjungpinang? apa sumbangan sektor pariwisata terhadap budaya Melayu di Tanjungpinang?. Tidak dipungkiri sektor pariwisata memberikan sumbangan bagi budaya Melayu di Tanjungpinang. Sebagai contoh : dengan banyaknya kunjungan wisatawan ke Tanjungpinang, berbagai kesenian tradisional Melayu semakin dikenal luas, dan semakin banyak ditampilkan sebagai tontonan yang menarik bagi wisatawan. Hal ini mendorong lahirnya beberapa sanggar/kelompok kesenian tradisional yang secara intens melatih generasi muda untuk mempelajari kesenian tradisional Melayu. Industri pariwisata juga mendorong lahirnya berbagai kegiatan seperti Festival budaya Melayu, perlombaan permainan rakyat yang melibatkan banyak orang, dipromosikan ke luar negeri, dan dibuat semegah mungkin. Semua usaha itu dilakukan dalam rangka memajukan industri pariwisata.
Selain itu, kegiatan pariwisata juga memberikan dampak yang cukup besar terhadap perubahan nilai dan pola hidup masyarakat Melayu. Pembatasan-pembatasan yang berlaku dalam budaya Melayu dan yang berfungsi menjaga pola ideal menjadi semakin longgar, dan menyebabkan variasi[2] kelakuan individu menjadi lebih menonjol. Variasi ini dapat dilihat dengan sangat mudah. Dalam setiap ruang publik akan kita lihat perempuan muda yang berpakaian ”minim” dan serba terbuka. Atau jika kita lebih jeli, pada kesempatan tertentu kita juga dapat menemukan pemuda dan pemudi yang berduaan, berpelukan dan berciuman ditempat umum. Ketika ditelusuri lebih jauh, ternyata pemuda dan pemudi tersebut adalah orang-orang Melayu. Variasi perilaku[3] tersebut merupakan imitatif dari budaya asing yang berbeda dengan pola ideal yang terdapat dalam budaya Melayu.
Sebagai contoh lain, terdapat tempat hiburan malam yang menyajikan bentuk-bentuk hiburan seperti karaoke yang mentolerir layanan penari telanjang. Bentuk hiburan ini pada awalnya lahir karena tuntutan sektor pariwisata, namun dalam perkembangannya bentuk hiburan tersebut juga dinikmati oleh orang-orang Melayu. Berbagai variasi perilaku tersebut memiliki kesempatan untuk menjadi perilaku bersama yang menjadi kebiasaan (budaya)[4] bagi orang-orang Melayu.
Kemudian, sebagian kegiatan pariwisata -sengaja atau tidak- telah mendobrak norma-norma masyarakat Melayu. Salah satu contoh, dalam banyak kunjungan wisatawan ke Mesjid Sultan di Pulau Penyengat dengan mudah kita temukan wisatawan yang tidak mematuhi aturan memakai pakaian yang menutupi aurat untuk memasuki Mesjid. Tindakan wisatawan tersebut sebenarnya sudah dapat digolongkan kedalam tindakan pelecehan[5] nilai agama dan budaya Melayu, karena bagi masyarakat Melayu mesjid bukan hanya sekedar tempat beribadah, melainkan telah dilekatkan sebagai identitas bagi budaya Melayu. Meskipun para wisatawan memiliki keyakinan keagamaan dan nilai budaya yang berbeda dengan masyarakat Melayu, para wisatawan tersebut wajib mematuhi norma yang berlaku dalam masyarakat Melayu yang dikunjunginya. Mungkin bisa dibuat pengecualian jika masyarakat Melayu yang dilecehkan membenarkan tindakan wisatawan tersebut.
Industri pariwisata yang pernah jaya juga telah memaksa masyarakat Melayu ”menerima” praktek prostitusi sebagai salah satu fasilitas dalam paket layanan pariwisata. Masyarakat Melayu sebagai etnis tempatan/lokal di Tanjungpinang ”terpaksa” membiarkan, dan bahkan ada yang terlibat dalam praktek tersebut -meskipun sebenarnya bertentangan dengan nilai budaya Melayu- demi mendapatkan keuntungan finansial dari sektor pariwisata. Meskipun saat ini praktek prostitusi telah ditertibkan dan sektor pariwisata terlihat ”dingin”, namun perubahan nilai budaya dan pola prilaku yang diakibatkannya tetap membekas dalam kehidupan masyarakat Melayu di kota Tanjungpinang.
Dalam tulisan ini, sebagian kecil perubahan yang dipaparkan di atas sebagai sumbangan industri pariwisata terhadap budaya Melayu, tidak dinilai sebagai suatu dampak yang positif ataupun negatif. Penilaian tersebut hanya berhak diberikan oleh individu-individu yang merasa sebagai pemilik budaya Melayu. Perubahan tersebut juga hanya bisa dirasakan lebih dalam dan kompleks oleh orang-orang Melayu sendiri. Apakah perubahan itu dianggap biasa, diperlukan, atau harus dicegah dan kembali diarahkan kepada pola yang ideal dan dicita-citakan, semuanya terpulang kepada orang Melayu.
Dalam berbagai usaha pengembangan sektor pariwisata di Tanjungpinang, seluruh pihak yang terlibat hendaknya tidak memandang industri pariwisata semata-mata sebagai alat menjaring keuntungan finansial dan mengenyampingkan aspek budaya masyarakat tempatan. Sehingga pada akhirnya pembangunan pariwisata justru melahirkan masalah baru yang semakin rumit. Pengelolaan industri pariwisata patut mendapatkan perhatian serius dan dilihat dari sudut pandang yang lebih kritis, karena berpotensi menimbulkan kerugian yang jauh lebih bernilai dari sekedar keuntungan finansial yang mungkin diperoleh.
Pembangunan sektor pariwisata yang lebih tepat adalah yang secara aktif membantu menjaga ”keabadian” suatu daerah kebudayaan. Sektor pariwisata yang dikembangkan melalui penyediaan tempat wisata, dengan pemeliharaan kebudayaan, sejarah, lingkungan alam dan peningkatan taraf perkembangan ekonomi masyarakatnya[6]. Industri pariwisata haruslah dibangun dengan didasari oleh prinsip-prinsip[7] yaitu :
-    Secara aktif mendorong kelangsungan peninggalan di suatu daerah kebudayaan sejarah dan alam.
-    Menampilkan identitas daerah sebagai sesuatu yang unik dan khas.
-    Memberdayakan masyarakat lokal untuk menginterpretasikan warisan mereka kepada wisatawan.
-    Membangun rasa bangga masyarakat lokal akan warisan (budaya dan sejarah) mereka.
-    Memelihara gaya hidup dan nilai-nilai masyarakat setempat
Tanjungpinang memiliki modal besar dalam pengembangan industri pariwisata, dimana terdapat sepuluh (10) dari dua belas (12) manifestasi budaya[8] yang bisa dijadikan sebagai potensi daya tarik pariwisata yaitu : bahasa, tradisi, kesenian, sejarah, makanan tradisional, kerajinan, peralatan tradisional yang khas, arsitektur, agama, dan pakaian tradisional. Jika sepuluh (10) potensi  tersebut ini dikelola dengan baik dan didasarkan kepada lima (5) prinsip di atas, diyakini industri pariwisata di Tanjungpinang akan semakin berkembang, dan budaya Melayu tidak ”tercemar” oleh penilaian yang bersifat turistik. Kita mengakui bahwa tidak ada satupun kebudayaan yang tidak mengalami perubahan, dan kita tidak mampu membendung suatu perubahan. Tetapi paling tidak, setiap masyarakat berhak mendapatkan kemampuan untuk menentukan arah perubahan kebudayaan mereka sendiri.

Daftar Pustaka

Ihromi, T.O. 2000. Pokok-Pokok Antrpologi Budya.(ed). Yayasan Obor Indonesia : Jakarta.

Lutfi, Muchtar. 1985. “Melayu dan Non-Melayu : Masalah Pembauran Kebudayaan”. (makalah pada seminar : Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjungpinang 1985)

Malinowski, B. 1983. Dinamik Bagi Perubahan Budaya. (terj). Dewan Bahasa dan Pustaka : Kuala Lumpur.

Marpaung, Happy dan Herman Bahar. 2002. Pengantar Pariwisata. Alfabeta : Jakarta.

Sammeng, Andi M. 2001. Cakrawala Pariwisata. Balai Pustaka : Jakarta

Yoeti, Oka A, dkk. 2006. Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. (ed). PT. Pradnya Paramita : Jakarta.


[1] “Pengantar” dalam Sammeng, 2001 ; ix
[2] Mengenai variasi kelakuan individu, lihat : Ihromi, 2000 (hlm 26-27)
[3] Mengingat heterogenitas budaya dan masyarakat Tanjungpinang, kita harus sangat hati-hati dalam melihat   variasi perilaku dari setiap individu. Dalam konteks ini, variasi yang dimaksudkan adalah variasi dari pola perilaku orang Melayu. Bukan variasi yang disebabkan karena heterogenitas budaya di Tanjungpinang.
[4] Op cit, hlm 32
[5] Penjelasan lebih lanjut mengenai pelecehan budaya, lihat : Sammeng, Andi.M, 2001. (hlm ; 232) dan Yoeti, Oka. A, dkk,  2006 (hlm ; 27).
[6] Marpaung, 2002 ; 21-38
[7] Ibid, hlm 48
[8] Lihat : Yoeti Oka. A, dkk,  2006 ; 134-135

Ditulis untuk program Rampai Budaya RRI Pratama Tanjungpinang, Juli 2009.

Budaya Masyarakat Adat di Era Budaya Global (Perspektif Ekonomi Kreatif)



Oleh: Heddy Shri Ahimsa-Putra
1. Pengantar
            Beberapa bulan belakangan ini, sering terdengar perbincangan mengenai ekonomi kreatif. Saya tidak tahu (maaf), dari mana asal-muasal istilah tersebut, karena saya bukan ahli ekonomi, tetapi istilah ini mulai banyak dilontarkan oleh beberapa teman saya yang ada di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Saya mencoba untuk menemukan sumber istilah tersebut, tetapi belum berhasil. Saya juga telah mencoba mencari pustaka atau artikel ilmiah mengenai hal itu, namun saya belum berhasil menemukannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini saya mencoba untuk merumuskan sendiri apa yang saya maksud dengan ekonomi kreatif. Tentu saja rumusan atau pernyataan ini sebaiknya tidak diterima begitu saja, tetapi direnungkan secara kritis manfaat analitiknya, karena pada dasarnya tidak ada pendefinisian atau batasan yang paling benar berkenaan dengan sebuah konsep seperti ekonomi kreatif. Yang lebih penting adalah manfaat analitiknya, atau manfaat yang dapat dipetik bilamana definisi tersebut digunakan untuk menganalisis berbagai masalah yang dihadapi.
            Definisi tersebut kemudian akan saya gunakan sebagai perspektif untuk memahami budaya masyarakat adat di Indonesia yang kini tengah dan akan mengalami proses globalisasi. Sengaja dalam konteks dialog budaya ini perspektif ekonomi kreatif dikemukakan, karena dalam kehidupan manusia kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang menentukan kelangsungan hidup (survival) manusia itu sendiri. Kegiatan ekonomi adalah kegiatan untuk menghasilkan berbagai komoditas yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, kegiatan untuk mendistribusikannya, dan kegiatan untuk mengkonsumsi atau memanfaatkannya. Tanpa kegiatan-kegiatan ini manusia tidak akan memperoleh pangan, papan dan sandang yang mereka butuhkan, dan jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi maka kelangsungan hidupnya akan terancam.
            Budaya global di masa kini merupakan salah satu budaya yang oleh sejumlah pihak dipandang dapat membahayakan kelangsungan hidup sebagian warga dunia. Itulah sebabnya mengapa sulit dicapai kesepakatan di antara negara maju dan negara berkembang berkenaan dengan aturan-aturan perdagangan dunia, karena aturan perdagangan tertentu dipandang menguntungkan oleh satu pihak, namun dipandang sangat merugikan oleh pihak yang lain. Jika aturan main tersebut -yang tidak lain merupakan salah satu unsur budaya global yang sangat penting- kemudian diterapkan untuk semua pihak, maka tentu akan ada pihak-pihak tertentu yang akan terancam kelangsungan hidupnya. Dalam konteks adanya ancaman semacam inilah kita perlu mengetahui kemampuan hidup komunitas adat Indonesia, karena mereka ini sangat mungkin berada dalam situasi dan kondisi yang rawan bilamana budaya global betul-betul telah menjangkau mereka. Di sinilah perspektif ekonomi kreatif diperlukan, karena masalah ekonomi adalah masalah keberlangsungan kehidupan.


2. Ekonomi Kreatif : Apa Itu?
            Apa yang dimaksud dengan ekonomi kreatif? Bukankah dalam setiap ekonomi pasti ada kreativitas? Apakah predikat kreatif di situ masih ada maknanyang Tidak mudah menjawab beberapa pertanyaan ini, karena istilah ekonomi kreatif belum lama dimunculkan, dan setahu saya belum ada yang mencoba untuk mendefinisikan konsep tersebut. Hal ini tentu saja mempersulit berkembangnya wacana dan upaya-upaya untuk membangun ekonomi kreatif tersebut. Sebelum kita mendefinisikan konsep ekonomi kreatif ada baiknya kita mengetahui terlebih dulu gejala-gejala ekonomi yang seperti apa yang dikatakan sebagai gejala “ekonomi kreatif”.
            Ada seorang ibu rumah-tangga dari sebuah keluarga Jawa yang tidak begitu mampu, yang sudah lama ingin meningkatkan taraf ekonomi keluarganya. Dia merasa tidak mempunyai modal apa-apa kecuali pengetahuannya tentang cara membuat makanan tradisional Jawa dan membuat beberapa masakan Jawa. Suatu kali dia menonton televisi di tempat tetangga. Dia saksikan berbagai acara di televisi, tetapi dari sekian banyak acara yang telah disaksikannya, hanya satu acara yang mengesankannya, yakni acara tentang masak-memasak pada salah satu stasiun televisi. Dia berpendapat bahwa apa yang ditayangkan sebenarnya tidak terlalu mengagumkan, bahkan baginya itu semua sangat biasa, karena menurut pendapatnya dia dapat melakukan yang lebih baik, dan hasilnya lebih enak. Berawal dari kesadaran ini, ibu tersebut lantas mencoba memanfaatkan pengetahuan masak-memasak yang telah diperolehnya dari mendiang ibunya.
            Dengan modal kecil yang diperoleh dari menyisihkan sebagian penghasilan suaminya, si ibu ini mulai membuat beberapa makanan tradisional Jawa seperti tiwul, gathot, gethuk, klepon, dan sebagainya yang biasa disebut “jajan pasar”, tetapi dengan tambahan bumbu-bumbu tertentu yang membuat jajan pasar buatannya memiliki aroma dan rasa yang berbeda, yang lebih lezat daripada kebanyakan jajan pasar. Mula-mula dia tawarkan produknya ini hanya kepada tetangga-tetangga di sekitarnya, dan di luar dugaannya, sambutan mereka ternyata sangat baik. Setelah itu, timbul tekadnya untuk memperbesar usahanya. Ini dilakukan dengan meminjam modal dari saudara-saudaranya, karena dia tidak berani meminjam uang dari bank. Di samping bunganya yang dirasanya tinggi, persyaratan bank untuk memperoleh kredit juga sulit dipenuhinya.
            Dengan modal pinjaman tersebut si ibu memperbanyak produksi jajan pasarnya. Penjualan kini juga tidak terbatas pada tetangganya, tetapi ke masyarakat luas, karena ibu tersebut kemudian dapat menyewa sebuah ruko yang tidak jauh dari tempat kediamannya. Semakin lama usahanya semakin besar, sehingga akhirnya dia kemudian berani membuka pelayanan katering untuk pesta pernikahan atau pesta-pesta yang lain. Keberhasilan si ibu dalam kegiatan ekonomi ini merupakan sebuah contoh dari ekonomi kreatif.
            Contoh lain adalah keberhasilan seorang warga desa untuk mengembangkan seni kerajinan wayang batik, yakni boneka-boneka wayang yang dibuat dari kayu, yang diberi warna dengan proses batik. Pada mulanya warga desa ini, sebut saja Kamiso, melihat bahwa topeng-topeng yang digunakan dalam pertunjukan tari Jawa selalu diberi warna dengan cat. Sementara itu, pemberian warna sebenarnya tidak harus dilakukan dengan menggunakan cat. Untuk membuat kain batik misalnya, orang tidak menggunakan cat. Mungkinkah proses batik diterapkan pada topeng kayu? Pertanyaan ini kemudian mendorongnya untuk melakukan proses batik pada topeng kayu, dan setelah beberapa kali mencoba, akhirnya berhasil. Hasil dari usaha mencoba-coba ini kemudian dijualnya di kota. Pada mulanya tidak banyak orang tertarik.
            Suatu hari, seorang wisatawan melihat hasil kerajinan tersebut, dan kemudian meminta agar topeng tersebut diberi variasi hiasan. Jika dia dapat melakukan itu, wisatawan tersebut akan memesan topeng dalam jumlah besar. Setelah menjual beberapa hartanya untuk modal membeli bahan baku dan membayar karyawan, pak Kamiso mencoba memenuhi permintaan wisatawan tadi. Setelah selesai, contoh hasil kerjanya ditunjukkan kepada sang wisatawan, dan ternyata wisatawan tersebut puas, dan langsung memesan puluhan topeng untuk dikirim ke negerinya. Usaha pak Kamiso akhirnya semakin besar, dan dia tidak berhenti hanya pada topeng, tetapi juga mencoba membuat wayang dari kayu yang kemudian dibatiknya. Produk ini ternyata juga laku di pasaran, sehingga pesanan untuk hasil kerajinannya juga bertambah banyak.
            Tidak sedikit pembeli yang kemudian ingin melihat proses pembuatan kerajinan itu sendiri di rumah pak Kamiso. Pak Kamiso bukan termasuk orang yang takut produknya akan ditiru dan dia akan mendapat pesaing. Oleh karena itu, dia bersedia memperlihatkan proses pembuatan barang kerajinannya kepada para pembeli yang datang ke rumahnya. Dia kemudian membangun sebuah tempat khusus untuk memproses kerajinan batik kayunya, dan membangun sebuah “show room” di samping rumahnya. Upaya ini ternyata mendatangkan akibat yang menguntungkan, karena semakin banyak kemudian pembeli dari luar kota yang datang ke rumahnya. Pesanan yang datang kemudian bertambah banyak, sehingga pak Kamiso merasa kewalahan. Oleh karena itu, dia kemudian meminta beberapa tetangganya untuk membantunya memenuhi pesanan tersebut, sehingga warga desanya kini banyak yang mendapat penghasilan tambahan dari membuat barang kerajinan batik kayu yang dipesan oleh pak Kamiso.
            Dua kasus di atas adalah contoh dari apa yang sering disebut sebagai ekonomi kreatif. Sebenarnya, kata “kreatif” di sini agak berlebihan dan kurang bermanfaat, karena pada dasarnya setiap kegiatan ekonomi selalu mengandung kreativitas atau merupakan wujud dari daya cipta manusia. Tidak ada sebenarnya ekonomi yang tidak kreatif. Akan tetapi, karena kini sudah terlanjur muncul istilah ekonomi kreatif, maka mau tidak mau kita harus mencoba untuk mendefinisikannya dengan baik, agar konsep tersebut dapat digunakan sebagai perangkat analisis atau sebagai perangkat konseptual dalam penelitian.
            Istilah ekonomi kreatif mungkin dimunculkan karena ada kegiatan ekonomi yang dipandang tidak kreatif. Seperti apa kira-kira ekonomi yang tidak kreatif ini? Masyarakat Indonesia mungkin dinilai sebagai masyarakat yang kurang memiliki kreativitas dalam bidang ekonomi. Sebagai contoh, sewaktu krisis ekonomi pertama kali melanda masyarakat Indonesia, mendadak dalam waktu beberapa minggu di Jakarta bermunculan warung-warung tenda di berbagai yang menjual makanan. Kemunculan warung ini merupakan sebuah respons terhadap krisis ekonomi yang begitu mengagetkan. Akan tetapi respons ini boleh dikatakan tidak memperlihatkan kreativitas, karena ciri kelatahan, tiru-meniru perbuatan orang lain sangat jelas di situ. Ketika seseorang membuka warung makanan dan ternyata laku, orang-orang di sekitarnya kemudian mengikuti jejaknya. Akibatnya, masing-masing warung kemudian menjadi terasa kurang laku, karena pembelinya tidak lagi memusat pada satu warung saja. Kegiatan ekonomi seperti inilah yang dikatakan sebagai gejala ekonomi tidak kreatif. Kreativitas yang dimiliki satu orang dalam bidang ekonomi yang telah memberikan banyak keuntungan akhirnya rusak karena tidak adanya kreativitas pada individu yang lain di sekitarnya. Individu-individu peniru suatu kegiatan ekonomi tertentu inilah yang merupakan individu yang tidak kreatif dalam bidang ekonomi. Dalam masyarakat Indonesia, gejala ekonomi tidak kreatif ini cukup menonjol.
            Sebenarnya, ketidakkreativan dalam diri manusia adalah suatu hal yang biasa, karena manusia pada dasarnya adalah mahluk yang suka meniru. Bahkan, meniru merupakan hal yang sangat ditekankan dalam proses sosialisasi setiap individu. Perilaku seorang individu dalam masyarakat sebagian besar merupakan perilaku yang dipelajari dari individu-individu yang lain. Dengan kata lain, sebagian besar perilaku tersebut merupakan hasil dari meniru perilaku individu-individu yang lain. Akan tetapi, ketika kegiatan tiru-meniru ini menjadi terlalu biasa dan selalu dilakukan oleh banyak orang dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan serta seni, maka effeknya bisa menjadi tidak menguntungkan bagi masyarakat itu sendiri secara keseluruhan. Tiru-meniru, sebagai awal dari proses belajar, sebaiknya kemudian diikuti dengan kreativitas untuk menciptakan sendiri hal-hal yang baru.
            Dengan contoh kegiatan ekonomi tidak kreatif tersebut, kini kita dapat mencoba mendefinisikan apa yang dimaksud sebagai ekonomi kreatif. Secara sederhana ekonomi kreatif dapat kita definisikan sebagai aktivitas baru dalam produksi dan distribusi barang dan jasa yang muncul dari kemampuan manusia untuk melihat adanya peluang-peluang baru untuk memperoleh keuntungan di tengah situasi dan kondisi tertentu.
“…aktivitas baru dalam produksi dan distribusi barang dan jasa…”. Kegiatan ekonomi pada dasarnya mencakup kegiatan produksi (menghasilkan sesuatu, membuat sesuatu), kegiatan distribusi (menyebarkan sesuatu, membawa sesuatu ke tempat lain) dan kegiatan konsumsi (memanfaatkan, menggunakan, menghabiskan sesuatu), tetapi dua kegiatan yang ditekankan di sini adalah produksi dan distribusi, karena dua kegiatan inilah yang akan dapat memberikan keuntungan atau tambahan penghasilan, sedang kegiatan konsumsi justru menghabiskan penghasilan.
            Aktivitas baru di sini berarti bahwa aktivitas tersebut sebelumnya tidak dikenal atau tidak ada dalam masyarakat. Misalnya saja, kalau dalam masyarakat tersebut semula tidak dikenal usaha membuat jajan pasar untuk dijual, dan kemudian ada warga masyarakat yang melakukannya, maka aktivitas ini termasuk aktivitas produksi baru, dan ini merupakan salah satu wujud dari ekonomi kreatif, karena aktivitas tersebut muncul dari kemampuan untuk melihat adanya peluang-peluang baru (yakni adanya kebutuhan masyarakat akan jajan pasar), yang sebelumnya mungkin tidak diketahui atau tidak terlihat. Ini merupakan sebuah aktivitas produksi baru, aktivitas baru untuk menghasilkan sesuatu.
            Demikian juga halnya ketika seseorang membuka sebuah warung untuk di desanya yang tidak memiliki warung sama sekali, padahal warga masyarakat di situ sangat membutuhkan sembako dalam kehidupan sehari-hari, dalam jumlah yang tidak selalu besar. Setelah beberapa tahun, warung ini kemudian berhasil tumbuh dan berkembang menjadi sebuah toko kelontong yang cukup besar dan lengkap. Warung ini tidak hanya menjual barang-barang yang berasal dari kota atau dari daerah lain, tetapi juga barang-barang yang dihasilkan oleh warga setempat. Usaha warung ini merupakan sebuah aktivitas baru dalam bidang distribusi, karena warung ini berfungsi mendistribusikan barang-barang yang dihasilkan oleh masyarakat.
            Kalau dua contoh di atas adalah aktivitas produksi dan distribusi barang, maka aktivitas produksi jasa misalnya adalah usaha ojek. Ojek merupakan aktivitas produksi jasa yang baru, yang mulai marak di Indonesia setelah adanya sepeda motor, sementara alat transportasi mobil tidak mampu menjangkau daerah-daerah yang lebih terpencil. Kebutuhan masyarakat akan alat transportasi ini sudah lama ada, tetapi belum ada yang memenuhinya. Ketika semakin banyak pembelian motor secara kredit ditawarkan, padahal penghasilan tidak selalu dapat diperoleh dari usaha yang lain, muncullah kemudian pemikiran untuk menggunakan sepeda motor tersebut sebagai alat transportasi umum yang terbatas, yaitu hanya untuk satu orang, yaitu ojek. Yang ditawarkan oleh pengojek adalah jasa untuk mengantar orang dari satu tempat ke tempat yang lain, dan aktivitas ini sebelumnya tidak dikenal sama sekali oleh masyarakat di situ. Ini merupakan sebuah aktivitas baru dalam produksi jasa.
“…yang muncul dari kemampuan manusia untuk melihat adanya peluang-peluang baru untuk memperoleh keuntungan..”. Aktivitas baru di atas merupakan hasil dari kemampuan individu mengetahui adanya peluang atau kesempatan untuk melakukan sesuatu yang kemudian akan mendatangkan manfaat atau keuntungan, baik material maupun finansial (keuangan). Kemampuan melihat adanya kesempatan untuk melakukan hal-hal baru yang akan menguntungkan inilah yang dikatakan sebagai “kreativitas”. Mungkin saja apa yang dilakukan ini bukan merupakan hal yang baru di tempat lain, sehingga individu tersebut sebenarnya hanya meniru apa yang telah dilakukan di sana. Meskipun demikian, hal itu tetap dapat dikatakan sebagai kreativitas, karena belum tentu orang lain akan melakukannya meskipun dia telah mengetahui bahwa di tempat lain hal seperti itu telah dilakukan. Jadi, kreativitas di sini juga mencakup keberanian mengambil keputusan untuk melakukan hal-hal yang belum banyak dilakukan oleh orang lain.
            Keberanian mengambil keputusan ini tentu dilakukan atas dasar berbagai pertimbangan. Oleh karena itu kreativitas di sini sebenarnya mencakup: (a) kemampuan melihat adanya peluang melakukan hal yang baru, (b) kemampuan memperhitungkan untung dan rugi dari apa yang akan dilakukan; (c) keberanian menerima akibat buruk yang mungkin muncul dari tindakan yang dilakukan. Apa yang dilakukan oleh ibu yang menjual jajan pasar dan pak Kamiso yang memproduksi kerajinan batik kayu di atas mencakup paling tidak tiga hal tersebut. Mereka melihat adanya peluang untuk menjual jajan pasar dan kerajinan batik kayu, mereka melihat adanya kemungkinan memperoleh keuntungan dari sana, karena orang lain belum melakukan hal tersebut, dan mereka berani menerima akibat buruk yang mungkin muncul, yaitu mereka siap mengalami kerugian. Berdasarkan atas kemampuan melihat bahwa keuntungan yang akan diperoleh dapat melampaui biaya yang telah dikeluarkan, mereka kemudian berani mengambil keputusan untuk memproduksi jajan pasar dan kerajinan batik kayu tersebut.
”…di tengah situasi dan kondisi tertentu..”. Para pelaku ekonomi kreatif selalu berada dalam situasi dan kondisi tertentu. Ada tiga situasi dan kondisi yang relatif mudah dipahami, yakni material, sosial dan ekonomi. Situasi dan kondisi kultural juga penting, namun biasanya kurang begitu mudah diketahui, dan tidak selalu masuk dalam pertimbangan pengambilan keputusan seorang individu untuk melakukan kegiatan ekonomi tertentu. Yang dimaksud dengan situasi dan kondisi material di sini adalah lingkungan fisik, baik yang alami maupun buatan, sedang situasi dan kondisi sosial adalah berbagai kategori sosial, status dan peran, pola-pola perilaku dan interaksi sosial, kelompok, pelapisan dan golongan sosial. Situasi dan kondisi ekonomi adalah pola-pola pemillikan material, berbagai pola kegiatan ekonomi serta pola-pola kebutuhan warga masyarakat.
            Situasi dan kondisi material, sosial dan ekonomi ini selalu mengandung di dalamnya peluang-peluang untuk melakukan kegiatan ekonomi tertentu, namun tidak setiap individu mampu melihat peluang tersebut, karena masing-masing individu memiliki persepsi atau pandangan yang berbeda mengenai apa yang mereka hadapi. Selain itu, setiap individu selalu berada dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Tidak ada seorang individu yang berada dalam situasi dan kondisi yang persis sama dengan individu yang lain. Di sinilah terletak pentingnya peran kreativitas individual, dan inilah yang membuat seorang individu kemudian ada yang berhasil melahirkan kegiatan ekonomi kreatif, ada pula yang tidak.
3. Komunitas Adat dan Ekonomi Kreatif: Mengelola Perubahan
            Komunitas Adat adalah sekumpulan individu yang tinggal di sebuah daerah tertentu, berinteraksi satu dengan yang lain cukup sering dan saling mengenal dengan baik, serta masih tetap bersedia mempertahankan pola-pola budaya mereka yang lama, mempertahankan tradisi yang mereka warisi dari nenek-moyang mereka, dalam kehidupan sehari-hari di masa kini. Tradisi ini mencakup berbagai macam aspek, unsur atau bagian dari kehidupan mereka, entah itu berupa hal-hal yang bersifat material, seperti corak warna dan pakaian yang mereka kenakan sehari-hari, bentuk dan keadaan rumah tempat tinggal mereka, peralatan yang mereka gunakan sehari-hari, sistem kepercayaan, ritus-ritus, organisiasi sosial, dan bahkan juga makanan mereka sehari-hari.
            Komunitas adat biasanya kurang menyukai atau cenderung menolak hal-hal yang baru, karena hal-hal yang baru tersebut biasanya belum diketahui dengan baik manfaatnya, sementara adat-istiadat yang selama ini mereka ikuti terlah terbukti manfaatnya, yakni memungkinkan mereka tetap hidup terus sampai sekarang. Hal-hal yang baru seringkali juga berlawanan dengan adat-istiadat yang telah mereka anut selama bertahun-tahun tersebut, padahal adat-istiadat tersebut merupakan warisan nenek-moyang, yang juga mereka anggap sebagai sesuatu yang suci, wingit, yang tidak boleh diothak-athik, sehingga tidak jarang hal-hal yang baru juga dipandang sebagai hal yang membahayakan, yang bisa mendatangkan kemarahan dan hukuman dari nenek-moyang dalam wujud berbagai macam bencana, kesulitan hidup, atau penyakit.
            Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa semua komunitas adat selalu demikian. Setiap komunitas adat pada dasarnya memiliki kekhasannya masing-masing. Ada yang bersedia menerima pembaharuan-pembaharuan tertentu, ada yang menolaknya tetapi menerima jenis pembaharuan yang lain, ada pula yang sama sekali menolak setiap jenis pembaharuan. Ada yang menolak masuknya peralatan baru, seperti radio, televisi, listrik, ada yang dengan senang hati menerimanya, tetapi menolak pembaharuan dalam bidang matapencaharian. Ada yang bisa menerima adanya jenis-jenis matapencaharian baru, tetapi mereka menolak masuknya orang-orang asing ke lingkungan mereka, dan sebagainya.
            Sementara itu, ekonomi kreatif selalu berawal dari kebaruan. Jika tidak ada yang baru, maka di situ boleh dikatakan belum ada kreativitas. Salah satu ciri utama dari adanya kreativitas adalah adanya upaya yang terus-menerus untuk memperbaiki, meningkatkan kualitas dari apa yang telah ada, menemukan hal-hal baru yang akan membuat kehidupan dianggap lebih baik, lebih nyaman, lebih menyenangkan. Di sini tidak ada tabu atau larangan untuk mengubah berbagai hal yang sudah ada, yang selama ini telah terbukti mendatangkan manfaat, karena adanya keyakinan bahwa hal-hal yang baru dapat mendatangkan manfaat yang lebih banyak lagi. Jika kita sepakat dengan pendapat ini, maka ekonomi kreatif tentunya akan sulit muncul dalam masyarakat adat, dan itu juga berarti bahwa secara ekonomi masyarakat adat akan tertinggal terus.
            Di lain pihak, masyarakat adat -karena adat yang dimilikinya- tidak jarang memiliki potensi besar untuk pengembangan ekonomi kreatif di dalamnya. Berbagai jenis kesenian, arsitektur, makanan, pengobatan, pola pemanfaatan unsur-unsur lingkungan yang mereka miliki, merupakan mata air ekonomi kreatif yang masih belum banyak dimanfaatkan. Jika digarap atau dikembangkan dengan sistematis dan tepat, potensi tersebut akan mewujud menjadi kegiatan ekonomi yang dapat mendatangkan banyak keuntungan pada masyarakat adat itu sendiri. Misalnya saja, pengembangan kesenian tradisional yang mereka miliki akan memungkinkan kelompok kesenian dari komunitas tersebut diminta pentas untuk khalayak yang lebih luas, di luar komunitas mereka. Ini akan memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan tambahan. Pengembangan berbagai jenis kerajinan yang ada di situ juga akan dapat mendatangkan tambahan penghasilan serta membuka jenis matapencaharian baru. Belum lagi kemungkinan membuka komunitas mereka menjadi komunitas wisata, yakni menerima wisatawan untuk tinggal di kampung atau desa mereka dan mengalami kehidupan seperti yang mereka jalani.
            Persoalannya kemudian adalah: bisakah masyarakat adat tetap bertahan sebagaimana adanya, tetapi ekonomi kreatif hidup di dalamnyang Atau bisakah ekonomi kreatif ini muncul dari adat-istiadat masyarakat yang telah ada, sehingga perubahan yang akan terjadi karena adanya ekonomi kreatif tersebut tidak akan terlalu mengganggu situasi dan kondisi sosial-budaya masyarakat adat yang telah adang Inilah pertanyaan yang selalu muncul, yang tidak mudah untuk menjawabnya, karena munculnya ekonomi kreatif dapat mengubah masyarakat adat tersebut, yang setelah mengalami perubahan akan sangat mungkin kehilangan potensi-potensi ekonomi kreatifnya. Persoalannya kemudian adalah: bagaimana masyarakat adat tersebut tetap bertahan, tetap bisa menjaga kelangsungan hidup adat-istiadatnya, tanpa menolak perubahan-perubahan yang terjadi karena munculnya ekonomi kreatif yang berbasis adat tersebut.
            Jawaban atas permasalahan ini hanya dapat diberikan oleh komunitas adat yang bersangkutan, dan jawaban ini harus diberikan didasarkan pada pemahaman yang cukup baik tentang berbagai hal yang mungkin terjadi, berbagai perubahan yang bisa muncul dalam komunitas tersebut sebagai dampak dari keputusan yang mereka ambil. Komunitas adat perlu menyadari bahwa kegiatan ekonomi kreatif yang mereka adopsi dengan antusias sangat mungkin kemudian memberikan dampak yang kurang menyenangkan terhadap kehidupan sosial mereka; terhadap relasi-relasi sosial di antara warga komunitas tersebut; terhadap ciri-ciri khas dalam kehidupan mereka, yang membuat mereka merupakan sebuah komunitas yang menarik, yang pantas untuk dikenal dan diketahui berbagai kearifannya.
            Menghadapi situasi seperti ini komunitas adat dapat belajar dari komunitas adat yang lain atau meminta pendapat dan pandangan dari kalangan mereka yang mengetahui persoalan-persoalan semacam ini. Banyak contoh komunitas adat yang berhasil tetap bertahan dengan adat-istiadat mereka tanpa harus menolak munculnya bentuk-bentuk ekonomi kreatif baru dalam komunitas mereka, namun tidak sedikit pula yang “gagal”, sehingga komunitas tersebut berubah menjadi komunitas baru dengan ciri-ciri sosial-budaya yang sangat berbeda. Tentu saja, “keberhasilan” dan “kegagalan” tersebut bersifat relatif. Artinya, apa yang dianggap sebagai keberhasilan sangat mungkin ditafsirkan oleh komunitas adat itu sendiri sebagai kegagalan, sedang apa yang dikatakan oleh pihak lain sebagai kegagalan justru sangat mungkin ditafsirkan oleh komunitas yang bersangkutan sebagai sebuah keberhasilan.
4. Ekonomi Kreatif, Komunitas Adat dan Budaya Global
            Budaya global adalah gugusan simbol-simbol tertentu yang walaupun pada mulanya berasal dari suatu masyarakat tertentu kini telah menjadi milik banyak masyarakat di dunia atau digunakan oleh semua negara di dunia, karena telah menjadi salah satu unsur budaya yang dianggap penting oleh masyarakat atau negara-negara tersebut. Simbol-simbol ini bisa berupa hal-hal yang bersifat material dan konkret, bisa berupa pola-pola perilaku, bisa pula perangkat pengetahuan, nilai, pandangan hidup, tertentu yang bersifat abstrak.
            Sebagai contoh budaya global yang bersifat material adalah unsur budaya minuman dan makanan merk tertentu, seperti Coca-Cola dan McDonald. Pada mulanya minuman dan makanan ini hanya ada di Amerika Serikat. Akan tetapi sekarang minuman           Coca-Cola dapat ditemui bahkan di desa-desa kecil di Indonesia, di Afrika atau di Amerika Latin. Restoran McDonald yang pada mulanya juga hanya terdapat di Amerika Serikat, kini telah dapat ditemukan di berbagai kota besar di Indonesia. Dalam konteks tertentu, unsur-unsur budaya global ini juga seringkali dimaknai sebagai unsur budaya yang “modern”.
            Budaya global berupa pola-pola perilaku misalnya adalah gaya hidup tertentu atau pola-pola perilaku tertentu. Gaya hidup berbelanja di supermarket atau mall merupakan salah satu contohnya. Gaya hidup semacam ini pada mulanya juga hanya dikenal di Barat yang telah mengenal lebih dulu tempat berbelanja berupa supermarket dan mall. Kini supermarket dari Barat telah hadir di berbagai kota besar di dunia, juga di Indonesia, sehingga pola perilaku orang Indonesia dalam berbelanja kini juga mengalami perubahan. Kalau di masa lalu dalam berbelanja orang Indonesia selalu melakukan tawar-menawar, kini hal semacam itu tidak selalu dilakukan, karena berbelanja di supermarket atau mall tidak memerlukan tawar-menawar. Semua harga di situ sudah pasti, dan aturan-aturan yang berlaku dalam transaksi juga tidak lagi sama dengan di pasar-pasar tempat orang Indonesia dulu selalu berbelanja.
            Unsur budaya global berupa ide atau nilai-nilai misalnya adalah pandangan tentang perlunya menjaga kelestarian lingkungan, perlunya menjaga kesehatan dengan tidak merokok, dan bahwa tindakan-tindakan tersebut dipandang sebagai tindakan-tindakan yang baik, yang ideal. Di masa lalu isu kelestarian lingkungan bukan merupakan isu penting bagi banyak negara, tetapi sekarang isu ini telah menjadi isu masyarakat dunia. Demikian pula halnya dengan perlunya mengurangi atau menghentikan merokok. Meskipun belum semua negara menganut pandangan yang sama mengenai soal merokok ini, namun di banyak negara merokok telah menjadi hal yang terlarang untuk dilakukan di tempat-tempat tertentu. Di situ para perokok merupakan warga negara “kelas dua”.
            Dalam konteks budaya global seperti itu, yang bagi banyak komunitas adat merupakan budaya yang baru, komunitas adat dapat mengambil sikap yang berbeda-beda terhadap budaya global yang akan masuk ke dalam komunitas mereka atau akan semakin mengurung mereka. Masing-masing komunitas bebas untuk menentukan sikap, sedang negara atau pemerintah dalam hal ini perlu menjadi pihak yang mendukung atau membantu terwujudnya sikap tersebut. Jika ada komunitas adat yang ingin menutup diri dari pengaruh budaya global tersebut, pemerintah bisa memberikan masukan tentang dampak positif dan negatif dari sikap tersebut pada komunitas adat itu sendiri, dan kemudian membantu komunitas tersebut untuk mewujudkan keputusan yang mereka ambil. Demikian juga halnya ketika ada komunitas adat yang bersedia sepenuhnya terbuka terhadap budaya global tersebut. Pemerintah dapat memberi masukan tentang berbagai dampak yang mungkin muncul -baik positif maupun negatif- dalam komunitas, bilamana hal seperti itu itu dilakukan.
            Sehubungan dengan ekonomi kreatif, maka masuknya budaya global sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai ancaman atau hanya sebagai peluang saja, tetapi sebagai kedua-duanya. Ini akan memunculkan sikap yang lebih berhati-hati, karena memang tidak setiap unsur dalam budaya global akan memberikan dampak yang positif di kemudian hari. Demikian juga ekonomi kreatif itu sendiri, yang muncul karena adanya globalisasi dalam komunitas adat tersebut. Kegiatan ekonomi kreatif walaupun memiliki dampak ekonomi positif, namun juga dapat menimbulkan dampak ekonomi negatif terhadap sebagian warga masyarakat, di samping dampak sosial-budaya, yang selain positif juga bisa negatif.
            Sehubungan dengan ekonomi kreatif pula muncul kemudian pertanyaan: peluang-peluang ekonomi seperti apa yang dapat dimanfaatkan oleh komunitas adat untuk dapat  mempertahankan kelangsungan hidupnya atau untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dalam konteks budaya global tersebut? Apakah peluang-peluang tersebut berada pada unsur budaya global ataukah ada pada budaya lokal, budaya komunitas adat? Dalam hal ini warga komunitas adat harus mampu memahami dan menganalisis situasi dan kondisi globalisasi yang mulai menerpa mereka dengan baik dan tepat. Untuk mereka dapat meminta berbagai masukan dari pihak-pihak yang lain, karena bagaimanapun globalisasi tidak mudah untuk ditolak begitu saja, tetapi juga terlalu berbahaya untuk diterima begitu saja.
            Peluang-peluang ekonomi kreatif ini terdapat baik dalam budaya global yang mulai masuk, maupun dalam budaya komunitas adat yang dimasuki. Adanya budaya global seperi McDonald tentu membutuhkan pasokan komoditas tertentu dalam jumlah yang besar, misalnya kentang, sayur, daging, daging ayam, dan sebagainya. Komunitas adat yang bercocok tanam sayur-mayur dan kentang dapat memanfaatkan kebutuhan pasar ini untuk meningkatkan pertanian sayuran atau kentang mereka, tentunya hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan mereka.
            Budaya global seperti wisata minat khusus, yang wisatawannya ingin memperoleh pengalaman-pengalaman baru dari masyarakat yang mereka kunjungi, dapat direspon dengan membuat desa adat tempat mereka tinggal menjadi desa wisata, yang meskipun menerima wisatawan untuk tinggal di desa, namun masyarakat di dalamnya harus tetap mampu mempertahankan adat-istiadat mereka, karena hanya dengan begitulah para wisatawan bersedia datang dan menginap di desa mereka. Dengan begitu, adat-istiadat komunitas tersebut dapat tetap lestari dengan dukungan pariwisata tersebut. Pariwisata di sini menjadi aktivitas pendukung utama pelestarian identitas komunitas adat tersebut.
            Masih banyak lagi contoh lain yang dapat dikemukakan tentang berbagai siasat yang dapat diambil oleh komunitas adat untuk menerima budaya global tanpa harus kehilangan jatidiri lokal mereka. Namun, dua contoh tersebut kiranya dapat memberikan gambaran seperti apa siasat-siasat tersebut, dan bagaimana kira-kira melaksanakannya.

5. Penutup
            Dalam makalah ini saya telah mencoba menempatkan komunitas adat yang tengah menghadapi proses globalisasi dari perspektif ekonomi kreatif. Ada dilema yang dihadapi oleh komunitas adat dalam situasi seperti itu. Jika komunitas adat merespon dengan antusiasme yang besar arus budaya global dengan cara memunculkan kegiatan ekonomi kreatif tertentu, yang sangat bermanfaat secara ekonomi bagi komunitas tersebut, sangat mungkin komunitas tersebut lama-kelamaan akan kehilangan jatidirinya, sehingga dia berubah menjadi seperti komunitas-komunitas biasa yang lain. Ciri “adat” tidak lagi melekat pada dirinya. Di lain pihak, di menutup diri sama sekali dari globalisasi juga tidak mungkin dilakukan, karena cepat atau lambat budaya global akhirnya akan masuk juga ke dalam komunitas tersebut. Siasat yang lebih tepat adalah menerima globalisasi dengan hati-hati, lewat kegiatan ekonomi kreatif yang mampu melestarikan jatidiri atau kekhasan komunitas tersebut.
            Apa saja jenis ekonomi kreatif yang mungkin dilakukan, hal itu sangat tergantung pada ciri dan sifat komunitas tersebut. Jenis ekonomi kreatif yang bisa dimunculkan dalam komunitas adat yang hidup dari pertanian sawah tidak bisa sama dengan ekonomi kreatif komunitas adat yang hidup dari pertanian ladang. Ekonomi kreatif komunitas adat yang berada di daerah pegunungan juga tidak bisa sama dengan ekonomi kreatif komunitas adat yang ada di tepi pantai atau di dataran rendah.
            Guna menentukan siasat yang tepat untuk merespon budaya global dalam bentuk kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif, pemerintah dapat menjadi pihak yang membantu komunitas adat tersebut menentukan langkah yang dianggap paling sesuai bagi komunitas tersebut, baik dalam mewujudkan langkah tersebut maupun dalam menjaga keberlangsungannya. Komunitas adat juga dapat meminta bantuan pada pihak-pihak yang dipandang dapat memberikan masukan yang tepat berkenaan hal tersebut, seperti misalnya lembaga swadaya masyarakat atau kalangan perguruan tinggi, dan lagi-lagi pemerintah sebaiknya membantu komunitas adat mewujudkan keinginan-keinginan mereka, sejauh keinginan tersebut tidak bertentangan, merugikan atau mengorbankan kepentingan umum yang lebih luas.
______________________
            Makalah ini disampaikan dalam dialog budaya ”Keragaman Seni dan Budaya Komunitas Adat”, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, di Palembang, 5-6 Agustus 2008.
Heddy Shri Ahimsa-Putra, adalah Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Daftar Pustaka
  • Ahimsa-Putra. H.S.1999. Globalization or Globalizations?: Indonesian Views. Makalah International Cultural Forum di Tokyo.
  • -------. 2002. Perkembangan Kegiatan Adat dan Adat-Istiadat. Makalah workshop.
  • -------. 2003. “Prologue: Dari Ekonomi Moral, Rasional ke Politik Usaha” dalam Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik Dalam Industri Kecil di Jawa, H.S. Ahimsa-Putra (ed.). Yogyakarta: Kepel Press.
  • -------. 2003.  “Epilogue: Wirausaha, Industri Kecil dan Antropologi” dalam Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa, H.S. Ahimsa-Putra. Yogyakarta: Kepel Press. (57)
  • -------. 2004.  Fungsi Nilai Budaya dalam Pelestarian dan Pengembangan Warisan Budaya. Makalah Pelatihan.
  • --------. 2005. Krisis Budaya Lokal di Era Global : Kasus Yogyakarta. Makalah Seminar.
  • --------. 2005. Kepercayaan, Kebudayaan dan Globalisasi: Perlukah Kepercayaan Lestari?. Makalah seminar
  • --------. 2008. Nilai Budaya Lokal di Era Global: Tantangan dan Peluang. Makala Dialog Budaya.
  • Artha, A.T. dan H.S. Ahimsa-Putra. 2004. Jejak Masa Lalu dan Sejuta Warisan Budaya. Yogyakarta: Kunci Ilmu.
  • Beals, A.R. 1967. Culture in Process. New York: Holt, Rinehart and Winston.