Selamat Datang

Selamat membaca dan mengutip, jangan menjadi plagiat
Bagi pemilik tulisan harap kunjungi "surat untuk penulis"

Rabu, 09 Februari 2011

Menimbang Perkembangan Antropologi Inggris dan Indonesia: Sebuah Perbandingan


Oleh : Hatib Abdul Kadir
Karakter perkembangan ilmu antropologi di pertengahan abad 19 lebih terilhami kajiankajian
evolusionis, yang dikomparasikan dengan perkembangan pemikiran positivistik
yang telah berkembang sebelumnya. Data-data yang didapat antropolog abad 19 pun ratarata
bersifat “tangan kedua” karena didapat dari laporan para misionaris; petualang; data
kolonial. Tak mengherankan jika kemudian para antropolog diabad ini sering disebut
sebagai “etnolog belakang meja”.
Hingga di awal abad 20, ranah antropologi mulai memperluas kajiannya dengan
menjalankan spesialisasi disiplin; variasi metode sampai analisis kebahasaan. Dan yang
terpenting antropologi kemudian mulai menduduki tempat penting di universitas sebagai
salah satu perangkat ilmu sosial1. Adapun karakter yang dikembangkan antropologi di
abad 20 dalam menghadapi berbagai berbagai pendekatan universalis dan positivistik
dilakukan melalui dua jalan, yakni melakukan fokus studi lapangan secara mendetail dan
holistik (menyeluruh dari segala bidang, mulai dari aktivitas bersifat remeh temeh,
aktivitas ekonomi, organisasi sosial, kekerabatan dan perilaku seksual), demi
menghasilkan studi mengenai manusia dan masyarakat secara serius yang pada akhirnya
menghasilkan berbagai kritik dan revisi terhadap berbagai teori lama. Jalan kedua adalah
melakukan pendekatan dengan visi global, namun bukan didasarkan pada orientasi
evolusionis, yang selama ini telah menjustifikasi bahwa kebudayaan primitif lebih rendah
dibanding kebudayaan Barat. Reduksi justifikasi ini merupakan pendekatan yang
menggambarkan masyarakat pada keadaaan yang benar–benar realistis, tanpa harus
menghukum mereka sebagai “manusia setengah binatang” (liar, tak berperadaban dan
bar-bar) seperti yang dikembangkan kaum antropolog abad 19.
Transisi metode antropologi ini mengandung berbagai keuntungan yakni, pertama
menjadikan informasi langsung didapat dari tangan pertama (pelaku budaya). Kedua,
sekaligus mampu meneliti dan menganalisis berbagai latar belakang masyarakat termasuk
religi dan ekonomi pada masyarakat barat itu sendiri, yang selama ini menjadi subjek
otoritatif dalam berbagai kajian. Ketiga, analisis mengenai konstelasi nilai dalam
masyarakat dan mekanisme sosialnya tidak lagi dikuasai oleh para filosof yang
mengandalkan rasionalitas sebagai jalan terbaik, melainkan nilai-nilai kultural dan sosial
dalam masyarakat dapat dievaluasi lebih lanjut dan detail melalui berbagai metode
antropologi yang langsung turun kelapangan. Pada akhirnya menghasilkan deksripsi
empirik, bukan deskripsi abstrak di “awang-awang” dan bias pada perspektif Barat.
Antropolog pertama yang memelopori metode ini adalah Bronislaw Malinowski ketika ia
melakukan penelitiannya di kepulauan Pasifik barat, serta menghasilkan teori
fungsionalisme dan relativisme kultural dalam menggambarkan diversitas masyarakat.
Munculnya teori fungsionalisme dan relativisme kultural sangat berpengaruh pada
perkembangan Intelektual di Inggris dan Amerika Serikat di sepanjang tahun 1920 an
hingga 1930 an. Dua teori inilah yang menjadi “tulang punggung“ perdebatan para
antropolog ketika “diserang” oleh ilmu sosial lainnya ketika membahas permasalahan
rasionalitas; objektifitas dan diversitas kebudayaan. Perkembangan antropologi yang
terjadi di Inggris dan Amerika pada pertengahan abad 20 merupakan estafet
perkembangan dari pendekatan relativisme kebudayaan yang menguasai jagad ilmu
pengetahuan sosial di sepanjang tahun 1920 hingga 1930-an dan pada akhirnya
antropologi berjasa dalam menentang teori darwinisme sosial
Di tahun 60-an antropologi dan dunia ilmu sosial pada umumnya mengalami krisis
representasi, dan jalan yang paling utama dilakukan adalah melakukan interdisipliner
konsep, metode hingga teori, tak terkecuali juga dengan teori antropologi struktural dan
linguistik. Dari perspektif formulasi linguistik teori tafsir terbedakan dengan dua teori
lainnya, seperti strukturalisme yang diusung oleh Levi-Strauss (1949) dan antropologi
kognitif yang diusung oleh Stephen Tyler (1969). Strukturalisme Strauss mencoba
menggambarkan kebudayaan sebagai sistem yang berbeda-beda, dimana makna dari
beberapa unit didefinisikan melalui sistem yang beroposisi biner dengan unit lainnya.
Sedangkan kognisi dalam formulasi Tyler tidak melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang
netral, melainkan merupakan potret yanga dihasilkan melalui analisis kategori
kebudayaan yang mengorganisir berbagai benda, perilaku, dan emosi melalui pikiran
manusia. Untuk menangkapnya maka diperlukan kode kognitif suatu ranah budaya
sebagai sampelnya.
Marcus dan Fischer menyebutkan bahwa terdapat tiga karakter antropogi posmodern
yang kini berpusat pada perkembangan genre penulisan etnografi Pertama, mempelajari
berbagai bahan etnografi klasik dan secara eklektis mengambil berbagai elemen vital
(seperti konsep dan metode) dalam teori yang masih dianggap relevan. Cara ini dapat
menyadarkan penulis pada sisi keruangan bahwa teori-teroi masa lalu yang ahistoris
dapat dihindarkan dengan teori di masa sekarang. Kedua, etnografi yang bersifat personal
dan imajinatif dapat memberikan kontribusi di ranah wacana dan berbagai diskusi
intelelektual. Harapan ini muncul karena para etnografer biasannya melakukan studi
dengan sendiri sehingga kemungkinan untuk terpengaruh dengan berbagai teori lainnya
menjadi kecil. Otonomisasi etnografer ini akan memunculkan potensialitas kekreativan
dalam menganalisis melalui skala mikro, dan menghubungkannya dengan skala yang
lebih luas. Ketiga dan yang terpenting sebagai pendatang baru di kancah ilmu sosial,
antropologi menyediakan berbagai penelitian di ranah yang lebih luas dibanding disiplin
ilmu lainnya ( Marchus and Fischer, 1986: 17-8).
Berikut merupakan bagan yang menggambarkan perkembangan mode tipe kebudayaan
yang diciptakan oleh para antropolog dari pertengahan abad 19 hingga satu abad
kemudian:
Bagan diatas terlihat bahwa secara garis besar pemahaman mengenai apakah itu
“kebudayaan” terdapat tiga pandangan diakronis, yang sifatnya berfase evolutif yakni:
Fase Pertama. Pemikiran yang didasarkan pada E.B Taylor dan Boas. Fase ini
menekankan pada pendekatan material yag dikhususkan pada adat dan tradisi. Fase yang
dikembangkan oleh E.B Taylor misalnya, melihat kebudayaan berkembang dari Savagery
menuju Barbarism dan Civilized pada akhirnya. Pandangan ini merupakan kajian yang
dikembangkan pada abad 19 dengan bau etnosentris yang sangat kental. Dimana era
Victoria di Inggris dianggap sebagai prestasi tertinggi dari pencapaian peradaban dan
kebudayaan. Taylor melihat bahwa semua budaya harus menempuh runtutan berbagai
tahap yang sama atau kasarnya sama, dalam perjalanannya mencapai puncak kejayaan.
Sedangkan pada Boas mendasarkan pandangannya pada culture area yang terindikasi
melalui adat dan tradisi yang berbeda.
Fase Kedua. Merupakan fase abstrak yang banyak digambarkan oleh A. L Kroeber dan
Clyde Cluckhohn. Hal ini tampak pada pendekatan mereka dalam memaknai kebudayaan
berdasarkan pada pengembangan nilai budaya, sistem pandangan hidup dan ideologi
yang ketiganya sangat abstrak. Tidak berlebihan jika kemudian Cluckhon mampu
mengumpulkan makna kebudayaan hingga menjadi lebih dari seratus enam puluh
definisi.
Fase Ketiga. Fase Simbolik. Fase ini memaknai kebudayaan pada berbagai simbol yang
selalu ada pada setiap gerak kehidupan manusia. Munculnya berbagai karya Clifford
Geertz. Geertz melalui fase ini juga dapat dikatakan tengah memasuki masa liminal atu
batas dimana lahirnya posmodernitas, terindikasi melalui subjektifitas narasi yang
dianggap mampu menggulingkan objektifitas sebuah kebudayaan. Tipikal kajian
perkembangan diakronis diatas masih dalam lingkup teori besar (grand teory) tiga
pemikir sosiolog yakni Marx, Durkheim dan Weber yang mewarnai ketiga pemikiran
antropologis dalam memandang makna kebudayaan.
Model Tipe Kebudayaan Tokoh
Diakronis Fase Materi E.B Taylor, F. Boas.
Fase Abstrak A. L Kroeber, Clyde
Cluckhohn
Fase Simbol Clifford Geertz.
Sinkronis Kebudayaan Layaknya Tata Bahasa Claude Levis Strauss
Kebudayaan Layaknya Terjemahan
Bahasa
Evans Pritchard
Kebudayaan Sebagai Wacana dan
Teks
Clifford Geertz
Secara sinkronis kita dapat melihat bahwa makna kebudayaan dapat dlihat pada tiga
relasi yakni kebudayaan layaknya tata bahasa (culture as grammar), kebudayaan
layaknya terjemahan bahasa (culture as translation) dan kebudayaan sebagai wacana
(culture as discourses) (Barnard 2000: 175). Pada tataran pertama kebudayaan yang
dianalogikan dengan tata bahasa dapat kita lihat pada karakteristik karya-karya besar
Levis Staruss yang bernada struktural Antropologi. Baginya kebudayaan dan masyarakat
mempunyai bentuk akar yang dapat dianalogikan dengan tata bahasa dari sebuah bahasa
itu sendiri, pendekatan ini dilakukan khususnya pada tata kebudayaan. Secara implisit hal
ini terdapat juga pada karya besar Radcliffe-Brown, Structure and Function in Primitive
Society (1952), dimana ia melihat bahwa masyarakat dan kebudayaan layaknya sebuah
organsime biologis terstruktur dan saling berpengaruh. Karakteristik kedua yakni culture
as translation, terlihat pada beberapa hasil penelitian Evans Pritchard yang melihat
kebudayaan asing (alien culture) layaknya bahasa asing (foreign language), sehingga
kebudayaan menjadi lebih familiar, berbagai istilah asing atau kebudayaan luar harus
ditranslasi atau diterjemahkan ke dalam bentuk pemahaman pemilik suatu budaya yang
merasa asing tersebut. Ketiga, adalah culture as discourses dapat kita lihat pada beberapa
karya pemikiran dan penelitian Clifford Geertz dimana ia menggunakan simbol dalam
memahami bentuk komunikasi dan tindakan dalam suatu komunikasi.
Dinamika Perkembangan Antropologi Inggris
Munculnya masa pencerahan di Eropa pada abad pertengahan, menempatkan antropologi
sebagai bagian dari doktrin-doktrin ilmu pengetahuan yang menggantikan keberadaan
Tuhan sebagai wacana dominan. Masa ini juga dikenal dengan pemenuhan hasrat
manusia akan rasa ingin tahu terhadap permasalahan dunia yang demikian besar. Dalam
dunia antropologi pemenuhan rasa ingin tahu tersebut dilakukan dengan mengkoleksi
benda-benda antik, koin, dan mengunjungi masyarakat di pedalaman, seperti yang
dilakukan oleh antropolog klasik EB. Taylor, J.G Frazer dan Franz Boas.
Jika ditarik dari akar filosofi antropologi dan ilmu sosial, yang sedikit terlupakan adalah
Auguste Comte, seorang murid filosof Saint Simon. Ia bukan hanya pioner dari
berdirinya Sosiologi, yang pada awalnya bernama fisiologi sosial, melainkan juga berjasa
untuk menurunkan pendekatan studi tentang keseluruhan mentalitas manusia, juga
termasuk hubungan kognitif dengan keadaan perkembangan sosial, ekonomi dan politik.
Comte pulalah yang menggagas munculnya kajian evolusi dari dari perspektif sosial.
Kemudian, pemikiran besarnya mengenai perkembangan manusia dari fase teologi atau
fiksi menuju metafisis abstrak dan berakhir pada saintifik positivis yang mempengaruhi
pemikiran para sosiolog Prancis seperti Durkheim, Marcel Mauss dan Levy Bruhl, dan di
Inggris seperti John Stuart Mill dan Herbert Spencer. Sebagai ilmu positivitistik, Comte
menekankan metode komparatif ketika melihat database, yang kemudian digunakan
etnografer dalam menentukan fakta dari observasi dan eksperimentasi. Kesimpulan
besarnya adalah antropologi lahir dari penggabungan antara sejarah progresifitas manusia
(baca: evolusi sosial) dan data etnografi yang dikumpulkan. Pengumpulan data etnologi
pada abad sembilan belas ini lebih menyerupai koleksi database dan materi yang juga
dilakukan zoolog, botani, paleontolog dan geolog. Karena itu para pakar antropologi di
abad sembilan belas lebih merupakan intelektual belakang meja yang menganalisis hasil
matang dari data-data yang telah terkumpul di perpustakaan maupun di museum.
Pada abad sembilan belas perkembangan antropologi masih mengaitkan perkembangan
manusia berdasarkan bias ras dari pandangan ilmuwan Eropa. Studi evolusi masih
bernuansa kental di dalamnya. Dalam tradisi antropologi Inggris menyebutnya sebagai
etnologi, yakni kajian yang berhubungan erat dengan narasi manusia secara detail dari
perspektif evolusi sosial dan ras. Pendekatan yang dilakukan pun masih di belakang meja,
inilah yang membedakannya dengan keterlibatan langsung di lapangan yang disebut juga
sebagai etnografi.
Perkembangan antropologi di Inggris sebagai bagian dari ilmu pengetahuan ilmu
humaniora berkembang pesat selayaknya ilmu Biologi, khususnya ketika ditemukannya
teori evolusi. Di lain pihak, munculnya masa pencerahan terlihat pada berbagai catatan
yang menarasikan masyarakat secara linear. Antropolog seperti LH. Morgan melihat
garis lurus perkembangan dari masyarakat barbar, liar menuju ke masyarakat
berperadaban. Demikian juga perubahan evolutif dari masyarakat peternak ke pertanian
pada akhirnya masyarakat perdagangan dan industri. Di tingkat kekerabatan, masyarakat
matrilineal menuju masyarakat patrilineal. Penaklukkan alam oleh manusia, dan
pemisahan Tuhan dari kehidupan sehari-hari pada era pencerahan adalah tanda
progresivitas pandangan manusia yang sangat optimis terhadap perkembangan pemikiran
dan perbaikan materi yang dihasilkan. Meskipun demikian, pandangan-pandangan diatas
telah menjadi bahan empuk untuk diperdebatkan (Adams, 9-18:1998). Pandangan
progresif tentang masyarakat bermuatan universal, dan juga bias pada kepentingan
peradaban Barat yang pada waktu itu dilihat lebih mulia. Lantas perkembangan
selanjutnya adalah pendekatan komparatif. Perkembangan selanjutnya dalam ajaran
positivisme Comte dilakukan oleh John Stuart Mill (System of Logic, 1843) yang
meneruskan tradisi utilitarian dengan menyatukan pendekatan ilmu alam dan ilmu sosial.
Pada awalnya munculnya perdebatan ilmu antropologi di Inggris adalah antara mereka
yang hendak meneruskan ide Darwinisme sosial dengan ide humanitarian yang sifatnya
difusif. Ide pertama lebih pada pendekatan sejarah, sedangkan ide kedua merupakan cikal
bakal yang kelak mendasari berbagai penelitian para antropolog awal, seperti E.B Taylor
dan Frans Boas. Kemudian terjadi perubahan pula dalam tradisi antropolog Inggris, yakni
dari penelitian belakang meja (armchair researcher); bersifat universalistik,
evolusionistik; pengusung uatamanya adalah EB. Tylor evolusionistk menuju ke peneliti
partisipan (partisipant observation researcher) yang sifatnya lebih partikularis pada satu
kasus di wilayah tertentu dan pengusung utamanya adalah Bronislaw Malinowski.
Pada sisi metode, munculnya obervasi partisipan dan pencatatan tehadap catatan harian
sebagai sesuatu yang sangat jujur dan subjektif diawali dalam tradisi diary penuh
emosional, yang dilakukan oleh Malinowski dan juga Raymond Firth. Namun demikian,
teori fungsionalisme Malinowski dikritik oleh Radcliffe Brown karena terlalu kulturalis
sehingga abstrak, dan apolitis. Di sinilah kemudian Radliffe mulai memperkenalkan teori
struktural fungsional, meski tidak mempunyai kekayaan etnografis seperti yang dimiliki
Malinowski.
Dialektika teori tidak berhenti pada perseteruan sengit antara Malinowski dan Radcliffe
Brown sebagai guru besar, begawan dan pioner antropologi Inggris, karena selanjutnya
ada Evans Pritchard dengan pendekatan tafsir etnografinya yang luar biasa; Raymond
Firth yang merevisi pendekatan Radcliffe Brown, bahwa individu sebagai agen juga
penting membentuk struktur sosial. Kritik terhadap teori struktural fungsional juga
dilanjutkan oleh Edmund Leach yang mendapatkan analisisnya dari penelitian di
masyarakat Kachin di Burma, yang mengungkapkan bahwa kehidupan manusia lebih
dideterminasi oleh sesuatu yang bersifat material, seperti tanah, sistem pengairan dan
sawah. Ada dialektika saling bersitegang dan berkelanjutan, yang bukan hanya
didasarkan pada kebanggaan antar institusi universitas, namun yang lebih agung daripada
itu adalah melanjutkan tradisi kritik dalam ilmu sosial, khususnya antropologi.
Pasca mencoloknya dua antropolog struktural fungsional dan fungsional, Inggris dilanda
oleh pendekatan strukturalisme yang diusung oleh Levi-Strauss dari Prancis. Pendekatan
klasifikasi dan dikotomisnya mempengaruhi analisis dan kritik yang kemudian
dikembangkan oleh antropolog semacam Edmund Leach dan Mary Douglas. Pada tahun
70 an corak Antropologi Inggris semakin diwarnai dengan maraknya kajian feminisme
dan Marxisme. Kajian feminis ini berasal dari gegap gempitanya pemikiran yang ada di
Amerika Serikat, sekaligus menyadarkan tentang kosongnya penelitian etnografi dan
teori yang berhubungan dengan gender selama ini. Pendekatan Marxisme tidak berusia
panjang dan memang tidak populer dalam tradisi Inggris, karena tak lama kemudian
muncul pendekatan baru yang bernuansa poskolonialis. Kritik-kritik deras dilakukan oleh
pemikir seperti Talal Asad mengingat Inggris sangatlah identik dengan negara kolonial,
tak terkecuali para antropolognya yang terlibat aktif di dalamnya. Di sisi inilah Fredrik
Barth sebagai antropolog Inggris (dalam bab pertama) menempatkan posisinya sebagai
salah satu antropolog yang bersikap “lebih lunak“ untuk tidak mengutuk dengan
emosional penelitian-peneliti an pada masa kolonial. Barth mendukung sikap Malinowksi
yang dianggapnya bukan sebagai “missionaris“ dengan misi suci dan kehendaknya untuk
merubah masyarakat asli. Di sisi lain, posisi peneliti (antropolog) pada rejim kolonial
tidaklah semudah seperti posisi peneliti yang berada di luar masa kolonial, karena harus
membedakan antara ilmu pengetahuan dengan kepentingan rejim dalam struktur koloni
itu sendiri.
Seperti dalam sejarah modernitas yang hanya menawarkan narasi besar, buku buku ini
juga nyaris tidak menarasikan berbagai liku-liku perkembangan universitas yang
dianggap tidak begitu memainkan peranan besar di dalam perkembangan Antropologi
Inggris, seperti Kent University, Sussex University, Brunel University, Hall University,
hingga SOAS. Salah satu penyebabnya adalah jarangnya antropolog besar di Inggris yang
lahir atau membesarkan universitas ini, dalam arti kata, antropolog Inggris mulai dari
Malinowski, Evans Pritchard, Max Gluckman, Ernest Gellner, Maurice Bloch hingga
Marylin Strathern hanya berputar-putar membesarkan pada tiga universitas yang
sebenarnya telah besar, yakni LSE, Oxford, Cambridge University dan Manchester
University. Karena itu sebenarnya perkembangan antropologi Inggris mencakup dua hal,
yakni perkembangan siapa yang kali ini memegang birokrasi ketua jurusan, kemudian ia
membawa teori apa dan ketika ia tidak cocok lagi di birokrasi jurusan tersebut, maka ia
akan pindah ke jurusan yang sama di universitas lain. Dan universitas yang dipilih hanya
berkisar pada empat rejim univeresitas besar yang telah saya sebutkan diatas.
Di awal tahun 1980, antropologi Inggris dengan percaya diri berani mengatakan bahwa
mereka tidak bisa dipandang sebelah mata, ini mengingatkan kita ketika Edmund Leach
dengan penuh nada kecaman (1984) bahwa antropologi bukanlah suatu kajian yang
mudah diabaikan dan dianggap sepele, karena pada akhirnya secara aktif mampu menjadi
salah satu lawan penekan terhadap kemapanan di Universitas Oxford, seiring dengan
berakhirnya masa krisis generasi handal para antropolog awal abad 20, yang kemudian
lahir antropolog-antropol og luar biasa pada satu jaman berikutnya seperti Gregory
Bateson, John Driberg, Raymond Forth, Darryl Forde, Reo Fortune, Arthur M. Hocart
dan Audrey Rochard.
Globalisasi pada akhirnya memberikan narasi kepada pertumbuhan antropologi Inggris
yang sebenarnya dalam pandangan saya telah sangat menurun prestasinya satu dekade
ini, namun di sisi lain para pemikir terbarunya saling mempengaruhi dengan antropolog
baru di Amerika Serikat, sehingga sering kita dengar sebuah kolega pandangan diantara
keduanya yang disebut dengan anglophone antropology, yang jelas tidak seperti
antropolog Inggris klasik sebelumnya, gabungan dua pemikir di dua benua ini tidak alergi
untuk mencomot pemikiran dari disiplin lainnya sehingga lebih berwarna.
Lantas, Bagaimana dengan Antropologi Indonesia?
Munculnya antropologi di Indonesia lebih dikonstruksi oleh para antropolog Belanda,
bukan hanya seperti Snouck Hurgronje, namun juga Josselin De Jonge yang
memperkenalkan ide HRAF (Human Research Area Files) pada beberapa wilayah yang
akan dikaji di Indonesia. Para antropolog Belanda lebih menekankan penelitian mengenai
kekerabatan dan mahar kawin dalam tradisi pernikahan di berbagai wilayah di luar Jawa.
Sedangkan penekanan penelitian di Pulau Jawa justeru dikembangkan oleh antropolog
Amerika pasca perang dunia II, khususnya ketika mereka tengah mencoba
mengkonstruksi apa itu Jawa, Indonesia dan yang terpenting adalah apa itu Asia
Tenggara. Beberapa pandangan poskolonial Indonesia berkeyakinan bahwa secara
metodologis, pendekatan antropolog masih kental dengan bias dari sudut pandang Barat
itu sendiri, karena rata-rata dari mereka berlatar belakang dari misionaris dan
administratur kolonial2.
Di Indonesia sendiri, pasca reformasi di Indonesia, sebenarnya antropologi mempunyai
potensi untuk berkembang sebagai ilmu pengetahuan yang lebih besar. Antropologi
dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang menarik karena beberapa sebab, seperti
melemahnya intevensi negara, sehingga ilmu sejarah sebagai alat dasar konstruksi
memori kolektif menjadi hilang kekuatan nya. Ketika negara dipandang semakin
demokratis, kajian “aman“ dan remeh temeh menjadi “seksi dan politis” seperti
munculnya Cultural Studies. Babonitas ilmu yang mulai memudar membuat tidak
penting lagi siapakah terlebih dahulu menciptakan teori dan menirunya, melainkan
siapakah yang mampu mengkonstruksi teori secara komprehensif. Sementara jika kita
lihat ilmu antropologi adalah kajian yang nyaris tidak berada di sisi puncak, melainkan
turunan dari teori besar yang telah ada. Seperti Tylor yang mengacu kepada Darwin,
Malinowski yang mengacu kepad Freud dan Geertz yang terinspirasi pada Max Weber
dan Talcott Parson.
Hingga kini, masyarakat awam masih memandang bias pada Antropologi Indonesia yang
selalu dikaitkan dengan permasalahan tengkorak dan fosil manusia. Ini tak lepas dari
peranan dominan dari seorang profesor UGM, Prof. Teuku Jacob dimasanya yang
demikian peduli dengan kajian kebudayaan ala antropolog Amerika, Franz Boas.
Sedangkan secara paradigmatik, antropolog Indonesia sendiri gagal melahirkan tradisi
teoritik yang berkelanjutan dan jelas “susur galur“ kritiknya. Ini terlihat dengan tidak
adanya dua karakter utama dari dua jurusan antropologi paling mencolok di Indonesia,
yakni di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), dua
universitas ini tidak menyajikan pemikiran yang secara tajam berbeda, seperti ketika
terjadi perdebatan berketurunan antara London School of Economics (LSE) yang
digawangi oleh Malinowski dengan pendekatan fungsionalismenya dan Oxford
University yang digawangi oleh Radcliffe-Brown dengan pendekatan struktural
fungsionalnya. Di sisi lain pula, jurusan antropologi di universitas- universitas daerah
seperti Universitas Sumatera Utara; Universitas Andalas; Universitas Udayana;
Universitas Hasanuddin tidak mampu menciptakan paradigma “lain“, seperti counter
yang dilakukan oleh Manchester University terhadap dua universitas besar dan dua
pemikir besar sebelumnya yang mendominasi dunia antropologi Inggris.
Para antropolog Indonesia cenderung bertujuan akhir untuk berkutat pada dunia birokrasi
dan administari publik, tidak mampu menorehkan karya ilmiah yang layak baca secara
luas, pada akhirnya hanya disegani semasa hidupnya semata. Antropolog kita tidak
mempunyai semangat juang secara berkelanjutan dan istiqomah, untuk mengembangkan
paradigma secara rapi yang dihasilkan dari koneksitas antara laporan etnografinya dengan
pengembangan teori yang akan dibangunnya kelak. Sebagai misal, mengapa Clifford
Geertz menjadi demikian berpengaruh? karena ia menghasilkan dua hal diatas, antara
manuscript etnografi (the Religion of Java; Theater State; Islam Observed dll) dan
membangun teori (The Interpretation of Cultures; Local Knowledge; Available Light
dll) . Sementara antropolog kita hanya mengkonsumsi teori sebagai klangenan,
sepulangnya belajar bertahun-tahun.
Hatib Abdul Kadir
Antropolog tinggal di Yogyakarta
1 Namun demikian hingga di tahun 70-an, kajian antropologi mendapat kritikan keras
karena masih berkutat pada masyarakat eksotis, terpencil, primitif yang semuanya ratarata
masih terasing dengan dunia global, tampaknya spirit objek masyarakat inilah yang
masih dipertahankan sejak pertengahan abad 19. Yang menjadi transformasi justeru pada
tataran metode etnografi, dimana antroplogi mulai memilih beberapa “jalan” berbeda
dibanding ilmu sosial lainnya (periksa bab metode-metode dalam teori tafsir). Lebih
lanjut periksa George E Marcus and Michel J Fisher. Anthropology as Cultural Critique.
An Experimental Moment in The Human Sciences. 17-8:1986. The Univesity of Chicago
Press.
2 Saya masih ragu bahwa antropologi selalu dimulai dengan dari semangat besar
kolonialisme. Antropolog Milukho-Maklai (1846-1888) yang singgah di Pantai Utara
Papua dalam empat kali ekspedisinya meneliti suku-suku di Papua dan menghasilkan
lima jilid buku. Ia tidak hanya menjadi peneliti melainkan juga seorang dokter, guru dan
kawan bagi masyarakat setempat. Semangat ini tidak lepas dari hubungan Partai Komunis
Rusia yang pada waktu itu tengah bergandeng mesra dengan sistim politik Indonesia
yang bergerak sosialis kekirian, sekaligus mengusung ide baru bernama nasionalisme.
Dalam hal ini Maklahi berpihak kepada pembebasan bangsa terjajah.

Paradigma Penelitian Kualitatif


Oleh
Purbayu Budi Santosa

1. Pendahuluan
Bagi mahasiswa yang menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi, demikian pula dengan staf dosennya dalam melakukan penelitian secara umum memakai metode kuantitatif. Penggunan matematika, statistika dan ekonometrika merupakan suatu pilihan yang paling utama dalam melakukan analisis terhadap masalah yang muncul.
Kebiasaan penggunaan alat analisis kuantitatif sebenarnya tidak terlepas dari kedekatan ilmu ekonomi dengan ilmu eksakta, di mana pendekatan ilmu ekonomi sudah relatif sama dengan ilmu eksakta, yaitu memakai metode kuantitatif. Fenomena ekonomi dapat diketahui dengan menggunakan metode ilmu eksakta, dengan mengemulsi modelnya dan mengadopsi metaphoranya (Andres Clark, 1992). Karena terdapat anggapan tidaklah ilmiah suatu disiplin ilmu kalau tidak memakai pendekatan kuantitatif, maka tidaklah mengherankan kalau ilmu ekonomi mendapatkan julukan sebagai rajanya ilmu-ilmu sosial.
Pendekatan kuantitatif yang dipakai dalam ilmu ekonomi seperti layaknya ilmu eksakta tidak terlepas dari paradigma positivisme. Keyakinan dasar dari paradigma positivisme berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas berada (exist) dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam (natural law). Penelitian berupaya mengungkap kebenaran relitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan
Melihat kepada perjalan waktu sekarang ini berkembang paradigma post-positivisme, teori kritis bahkan konstruktivisme. Paradigma post-positivisme muncul sebagai perbaikan terhadap pandangan positivisme , di mana metodologi pendekatan eksperimental melalui observasi dipandang tidak mencukupi, tetapi harus dilengkapi dengan triangulasi, yaitu penggunan beragam metode, sumber data, periset dan teori. Teori kritis dalam memandang suatu realitas penuh dengan muatan ideologi tertentu, seperti neo-Marxisme, materialisme, feminisme dan paham lainnya. Paradigma konstruktivisme secara ontologis menyatakan realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan kepada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung kepada pihak yang melakukannya. Atas dasar pandangan filosofis ini, hubungan epistemologis antara pengamat dan obyek merupakan satu kesatuan subyektif dan merupakan perpaduan interaksi diantara keduanya (Agus Salim, 2006).

2. Perbedaan Paradigma Positivisme dan Alamiah
Lincoln dan Guba (1985) membedakan paradigma dalam ilmu pengetahuan secara umum dalam dua kelompok, yaitu paradigma positivisme(positivist) dan alamiah (naturalist). Pengertian paradigma menurut Patton, 1978 (dalam Lincoln dan Guba ,1985) ini adalah :
A paradigm is a world view, a general perspective , a way of breaking down the complexity of the real world. As such, paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigms tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigms are also normative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential or epistemological consideration. But it is this aspect of paradigms that constitutes both their strength and their weakness-their strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm.

Bogdan dan Biklen (1982 dalam Lexy J. Moleong, 1989) menyebut paradigma sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Deddy Mulyana (2003) menyebut paradigma sebagai suatu ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa.

Tabel 1. Contrasting Positivism and Naturalist Axioms


Axioms About Positivism Paradigm Naturalist Paradigm
The nature of reality Reality is single, tangible, and fragmentable Realities are multiple, constructed, and holistic
The relationship of knower to the known Knower and known are independent, a dualism Knower and known are interactive, inseparable
The possibility of generalization Time-and context-free generalizations (nomothetic statements) are possible Only time-and context bound working hypotheses (ideo-raphic statements) are possible
The possibility of casual linkages There are real causes, temporally precedent to or simultaneous with their effect All entities are in a state of mutual simultaneous shaping, so that it is impossible to distinguish causes from effects
The role of values Inquiry is value-free Inquiry is value-bound

Sumber : Lincoln dan Guba, 1985

Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat perbedaan aksioma paradigma positivisme dan alamiah. Paradigma positivisme pada umumnya melahirkan metode penelitian kuantitatif, sedangkan paradigma alamiah melahirkan metode kualitatif. Lincoln dan Guba (1985) selanjutnya mengemukakan asumsi-asumsi dasar dalam paradigma alamiah, diantaranya :


Asumsi tentang kenyataan.
Fokus paradigma alamiah terketak pada kenyataan ganda yang dapat diumpamakan sebagai susunan lapisan kulit bawang, atau seperti sarang, tetapi yang saling membantu satu dengan lainnya. Setiap lapisan menyediakan perspektif kenyataan yang berbeda dan tidak ada lapisan yang dapat dianggap lebih benar daripada yang lainnya. Fenomena tidak dapat berkonvergensi ke dalam sustu bentuk saja, yaitu bentuk ‘kebenaran’, tetapi berdiverensi dalam berbagai bentuk, yaitu ‘kebenaran ganda’. Lapisan-lapisan itu tidak dapat diuraikan atau dipahami dari segi variable bebas dan terikat secara terpisah, tetapi terkait secara erat dan membentuk suatu pola ‘kebenaran’.Pola inilah yang perlu ditelaaah dengan lebih menekankan pada verstehen atau pengertian daripada untuk keperluan prediksi dan kontrol. Peneliti alamiah cenderung memandang secara lebih berdiverensi daripada konvergensi apabila peneliti makin terjun ke dalam kancah penelitian.
Asumsi tentang peneliti dan subyek
Paradigma alamiah berasumsi bahwa fenomena bercirikan interaktivitas. Walaupun usaha penjajagan dapat mengurangi interaktivitas sampai ke tingkatan minimum, sejumlah besar kemungkinan akan tetap tersisa. Pendekatan yang baik memerlukan pengertian tentang kem ungkinan pengaruh terhadap interaktivitas, dan dengan demikian perlu memperhitungkannya.
Asumsi tentang hakikat pernyataan tentang ‘kebenaran’
Peneliti alamiah cenderung mengelak dari adanya generalisasi dan menyetujui thick description dan hipotesis kerja. Perbedaan dan bukan kesamaan, yang memberi ciri terhadap konteks yang berbeda. Jadi, jika seseorang mendeskripsikan atau menafsirkan suatu situasi dan ingin mengetahui serta ingin mencari tahu apakah hal itu berlaku pada situasi kedua, maka peneliti perlu memperoleh sebanyak mungkin informasi tentang keduanya (yaitu thick description) guna menentukan apakah terdapat dasar yang cukup kuat untuk mengadakan pengalihan. Selanjutnya, fokus pencarian alamiah lebih memberi tekanan pada perbedaan yang lebih besar daripada persamaan. Perbedaaan yang kecil pun dirasakan jauh lebih penting daripada persamaan yang cukup besar. Dengan demikian paradigma alamiah mengacu kepada dasar pengetahuan idiografik, yaitu yang mengarah kepada pemahaman peristiwa atau kasus-kasus tertentu. Sedang di sisi lain, paradigma positivisme mengacu pada dasar pengetahuan nomotetik, yaitu yang mengacu kepada pengembangan hukum-hukum umum.
Fry (1981, dalam Ahmad Sonhadji, et al, 1996) membedakan secara lebih rinci perbandingan antara paradigma penenelitian kualitatif dan kuantitatif , seperti dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Perbandingan paradigma kualitatif dan kualitatif
Paradigma Kualitatif Paradidma Kuantitatif
Mengajurkan penggunaan metode kualitatif Menganjurkan penggunaan metode kuantitatif
Fenomelogisme dan verstehen dikaitkan dengan pemahaman perilaku manusia dari frame of reference aktor itu sendiri Logika positivisme:”Melihat fakta atau kasual fenomena sosial dengan sedikit melihat bagi pernyataan subyektif individu-individu”
Observasi tidak terkontrol dan naturalistik Pengukuran terkontrol dan menonjol
Subyektif Obyektif
Dekat dengan data:merupakan perspektif “insider” Jauh dari data: data merupakan perspektif “outsider”
Grounded, orientasi diskoveri, eksplorasi, ekspansionis, deskriptif, dan induktif Tidak grounded, orientasi verifikasi, konfirmatori, reduksionis, inferensial dan deduktif-hipotetik
Orientasi proses Orientasi hasil
Valid: data “real, “rich, dan “deep” Reliabel:data dapat direplikasi dan “hard”
Tidak dapat digeneralisasi:studi kasus tunggal Dapat digeneralisasi:studi multi kasus
Holistik Partikularistik
Asumsi realitas dinamik Asumsi realitis stabil


3. Proses Penelitian Kualitatif
Menurut Strauss dan Corbin (2003) penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.
Proses penelitian kualitatif supaya dapat mengahasilkan temuan yang benar-benar bermanfaat memerlukan perhatian yang serius terhadap berbagai hal yang dipandang perlu. Dalam memperbincangkan proses penelitian kualitatif paling tidak tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu kedudukan teori, metodologi penelitian dan desain penelitian kualitatif.

Kedudukan Teori
Dilihat dari aspek aksiologi tujuan ilmu (ilmu pengetahuan) adalah untuk mencari kebenaran dan membantu manusia mengatasi kesulitan hidupnya dalam rangka mencapai kesejahteraan. Suatu perguruan tinggi di mana berbagai ahli berkumpul mempunyai tujuan untuk mengembangkan ilmu di mana natinya terdapat gudang ilmu, sebenarnya yang terjadi adalah pengembangan berbagai teori (Ahmad Tafsir, 2006).
Pengertian teori menurut Marx dan Goodson (1976, dalam Lexy J. Moleong, 1989) ialah aturan menjelaskan proposisi atau seperangkat proposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik dari (1) hubungan-hubungan yang dapat diamati diantara kejadian-kejadian (yang diukur), (2) mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan demikian, dan (3) hubungan-hubungan yang disimpulkan serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk data dan yang diamati tanpa adanya manifestasi hubungan empiris apa pun secara langsung. Fungsi teori paling tidak ada empat, yaitu (1) mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, (2) menjadi pendorong untuk menyusun hipotesis dan dengan hipotesis membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, (3) membuat ramalan atas dasar penemuan, (4) menyajikan penjelasan dan, dalam hal ini, untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa’.
Penelitian kualitatif dapat bertitik tolak dari suatu teori yang telah diakui kebenarannya dan dapat disusun pada waktu penelitian berlangsung berdasarkan data yang dikumpulkan. Pada tipe pertama, dikemukakan teori-teori yang sesuai dengan masalah penelitian, kemudian di lapangan dilakukan verifikasi terhadap teori yang ada, mana yang sesuai dan mana yang perlu diperbaiki atau bahkan ditolak
Penelitian kualitatif mengenal adanya teori yang disusun dari data yang dibedakan atas dua macam teori, yaitu teori substantif dan teori formal (Lexy J. Moleong, 1989 dan Mubyarto, et al, 1984). Teori substantif adalah teori yang dikembangkan untuk keperluan substantif atau empiris dalam inkuiri suatu ilmu pengetahuan, misalnya sosiologi, antropologi, psikologi dan lain sebagainya. Contoh: perawatan pasien, hubungan ras, pendidikan profesional, kenakalan, atau organisasi peneliti. Di sisi lain, teori formal adalah teori untuk keperluan formal atau yang disusun secara konseptual dalam bidang inkuiri suatu ilmu pengetahuan, misalnya sosiologi, psikologi dan sebagainya. Contoh: perilaku agresif, organisasi formal, sosialisasi, autoritas dan kekuasaan, sistem penghargaan, atau mobilitas social.
Unsur-unsur teori meliputi (a) kategori konseptual dan kawasan konseptualnya dan (b) hipotesis atau hubungan generalisasi diantara kategori dan kawasan serta integrasi. Kategori adalah unsur konseptual suatu teori sedangkan kawasannya (property) adalah aspek atau unsur suatu kategori. Yang perlu ditekankan dalam penelitian kualitatif, bahwa status hipotesis ialah suatu yang disarankan, bukan sesuatu yang diuji diantara hubungan kategori dan kawasannya. Jadi, dengan demikian peneliti sejak awal penelitian lapangan akan menjadi aktif menyusun hipotesis dalam rangka pembentukan teori. Keaktifan tersebut mencakup baik penyusunan hipotesis baru maupun verifikasi hipotesis melalui perbandingan antar kelompok.
Contoh unsur-unsur teori menurut jenis teori substantif maupun teori formal dapat dilihat dalam Tabel 3.
Tabel. 3. Unsur-unsur Teori dan Contoh-contohnya

Unsur Teori Jenis Teori
Substantif Formal
Kategori Kerugian masyarakat karena kematian pasien Nilai sosial sesorang
Kawasan Kategori Menghitung kerugian masyara-
kat atas dasar cirri pasien yang jelas dan dipelajari Menghitung niali social seseorang atas dasar ciri-ciri yang jelas dan dipelajari
Hipotesis Makin tinggi kerugian masyarakat dari pasien yang meninggal,
1) makin baik perawatannya
2) makin banyak perawat yang mengembangkan alas an kematian untuk menjelaskan kemati-nnya Makin tinggi nilai masyarakat sesorang, makin kurang penundaan pelayanan yang diterimanya dari para ahli

Sumber : Glaser dan Strauss, 1980 dalam Lexy J. Moleong, 1989




3. Pemilihan Metodologi Penelitian
Penelitian kualitatif bertujuan untuk melakukan penafsiran terhadap fenomena sosial. Metodologi penelitian yang dipakai adalah multi metodologi, sehingga sebenarnya tidak ada metodologi yang khusus. Para periset kualitatif dapat menggunakan semiotika, narasi, isi, diskursus, arsip, analisis fonemik, bahkan statistik. Di sisi yang lain, para periset kualitatif juga menggunakan pendekatan, metode dan teknik-teknik etnometodologi, fenemologi, hermeneutic, feminisme, rhizomatik, dekonstruksionisme, etnografi, wawancara, psikoanalisis, studi budaya, penelitian survai, dan pengamatan melibat (participant observation) (Agus Salim, 2006). Dengan demikian, tidak ada metode atau praktik tertentu yang dianggap unggul, dan tidak ada teknik yang serta merta dapat disingkirkan. Kalau dibandingkan dengan metodologi penelitian yang dikemukakan oleh Feyerabend (dalam Chalmers, 1982) mungkin akan mendekati ketepatan, karena menurutnya metodologi apa saja boleh dipakai asal dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.
Penggunaan dan arti metode penelitian kualitatif yang berbeda-beda ini menyulitkan diperolehnya kesepakatan diantara para peneliti mengenai definisi yang mendasar atasnya. Selanjutnya Agus Salim (2006) menyatakan bila suatu definisi harus dibuat bagi pendekatan kebudayaan , maka penelitian kualitatif adalah suatu bidang antardisiplin, lintas disiplin, bahkan kadang-kadang kawasan kontradisiplin.
Di sisi lain, penelitian kualitatif juga melintasi ilmu pengetahuan humaniora, sosial, dan fisika. Hal tersebut berarti penelitian kualitatif memiliki fokus terhadap banyak paradigma. Para praktisinya sangat peka terhadap nilai pendekatan multimetode. Mereka memiliki komitmen terhadap sudut pandang naturalistiuk dan pemahaman intepretatif atas pengalaman manusia. Pada saat yang sama, bidang ini bersifat politis dan dibentuk oleh beragam etika dan posisi politik.
Meskipun penelitian kualitatif bersifat multi metodologi, akan tetapi seperti halnya penelitian kuantitatif perlu mempertimbangkan validitas data. Perbandingan validitas penelitian secara paralel antara penelitian kualitatif dan kuantitatif adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Padanan Validitas antara Metode Kualitatif dan Kuantitatif
Kualitatif Kuantitatif
Credibility Berpadanan dengan Validitas internal
Transferability Berpadanan dengan Validitas eksternal
Dependability Berpadanan dengan Realibilitas/Keajegan
Confirmability Berpadanan dengan Obyektivitas
Sumber : Agus Salim, 2006
Menurut Denzin dan Lincoln (1994 dalam Agus Salim, 2006) secara umum penelitian kualitatif sebagai suatu proses dari berbagai langkah yang melibatkan peneliti, paradigma teoritis dan interpretatif, strategi penelitian, metode pengumpulan data dan analisis data empiris, maupun pengembangan interpretasi dan pemaparan.

Disain Penelitian Kualitatif
Berbeda dengan penelitian konvensional yang bersifat kuantitatif, dalam penelitian kualitatif, disain penelitian tidak ditentukan sebelumnya. Meskipun begitu, menurut Bogdan &Biklen, 1982 dalam Arief Furchan, 1996) fungsi disain tetap sama yaitu digunakan dalam penelitian untuk menunjukkan rencana penelitian tentang bagaimana melangkah maju. Lincoln dan Guba (1985) mengidentifikasi unsur-unsur atau elemen-elemen disain naturalistik sebagai berikut:
Penentuan fokus penelitian (initial focus for inquiry)
Penentuan fokus penelitian dilakukan dengan memilih fokus atau pokok permasalahan yang dipilih untuk diteliti, dan bagaimana memfokuskannya: masalah mula-mula sangat umum, kemudian mendapatkan fokus yang ditujukan kepada hal-hal yang spesifik. Namun, fokus itu masih dapat berubah. Fokus sangat penting sebab tidak ada penelitian tanpa fokus, sedangkan sifat fokus tergantung dari jenis penelitian yang dilaksanakan. Misalnya, untuk penelitian fokusnya adalah masalah, untuk evaluasi fokusnya adalah evaluan, dan untuk analisis kebijakan fokusnya adalah pilihan kebijakan.
Penyesuaian paradigma dengan fokus penelitian.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat muncul dalam penyusunan disain, diantaranya: (a) Apakah fenomena terwakili oleh konstruksi yang ganda dan kompleks (a multiciplicity of complex social contructions)?; (b) sampai di mana tingkatan interaksi antara peneliti-fenomena dan sampai di mana tingkatan ketidakpastian interaksi tersebut yang dihadapkan kepada peneliti ?; (c)sampai di mana tingkatan ketergantungan konteks?; (d) apakah beralasan (reasonable) untuk menyatakan hubungan kausal yang konvensional pada unsur-unsur fenomena yang diamati ataukah hubungan antar gejala itu bersifat mutual simultaneous shipping?; (e) sampai di mana kemungkinan nilai-nilai merupakan hal yang krusial pada hasil (context and time-bound atau context and time-free generalization)?
Penyesuaian paradigma penelitian dengan teori substantif yang dipilih
Kesesuaian acuan teori yang digunakan (kalau ada) dengan sifat sosial yang diacu sangat penting dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif apabila temuan-temuan dapat memunculkan teori dari bawah (grounded), maka penelitian tersebut dapat dilanjutkan. Teori yang muncul dari bawah ini hendaknya ajeg dengan paradigma metode yang menghasilkan teori tersebut.
Penentuan di mana dan dari siapa data akan dikumpulkan
Dalam penelitian kualitatif tidak ada pengertian populasi, samp[ling juga berbeda tafsirannya dengan metode lainnya. Dalam kualitatif, sampling merupakan pilihan peneliti tentang aspek apa, dari peristiwa pa, dan siapa yang dijadikan focus pada saat dan situasi tertentu.Oleh karena itu dilakukan terus menerus sepanjang penelitian. Artinya, tujuan sampling adalah untuk mencakup sebanyak mungkin informasi yang bersifat holistic kontekstual. Dengan kata lain, sampling tidak harus representatif terhadap populasi (penelitian kuantitatif), melainkan representative terhadap informasi holistik. Dalam merencanakan sampling dipertimbangkan langkah-langkah berikut; (a)menyiapkan identifikasi unsure-unsur awal; (b)menyiapkan munculnya sample secara teratur dan purposif; (c)menyiapkan penghalusan atau pemfokusan sample secara terus-menerus; dan (d) menyiapkan penghentian sampling. Sebagai catatan bahwa rencana-rencana tersebut hanya bersifat sementara, sebab tidak ada satupun langkah yang dapat dikembangkan secara sempurna sebelum dimulainya penelitian di lapangan.
Penentuan fase-fase penelitian secara berurutan
Dalam penelitian ditentukan tahap-tahap penelitian, dan bagaimana beranjaknya dari tahap satu ke tahap yang lain dalam proses yang berbentuk siklus. Tahapan-tahapan tersebut memiliki tiga fase pokok: Pertama. Tahap orientasi dengan mendapatkan informasi tentang apa yang penting untuk ditemukan, atau orientasi dan peninjauan. Kedua, tahap eksplorasi dengan menemukan sesuatu secara eksplorasi terfokus, dan ketiga, tahap member check dengan mengecek temuan menurut prosedur yang tepat dan memperoleh laporan akhir.
Penentuan instrumentasi.
Instrumen penelitian tidak bersifat eksternal, melainkan bersifat internal yaitu peneliti sendiri sebagai instrument (human instrument). Bentuk-bentuk lain instrument boleh dipergunakan jika ada. Untuk semua penelitian naturalistic, evaluasi atau analisis kebijakan sangat bermanfaat apabila instrument manusia diorganisasi dalam satu tim, dengan keuntungan-keuntungan dalam hal peran, perspektif nilai, disiplin, strategi, metodologi, cek internal dan saling mendukung.
Perencanaan pengumpulan data
Instrumen manusia yang beroperasi dalam situasi yang tidak ditentukan, di mana peneliti memasuki lapangan yang terbuka, sehingga tidak mengetahui apa yang tidak diketahui. Untuk itu maka peneliti haruslah mengandalkan teknik-teknik kualitatif, seperti wawancara, observasi, pengukuran, dokumen, rekaman, dan indikasi non-verbal. Dalam rekaman data terbagi pada dua dimensi, yaitu fidelitas dan struktur. Fidelitas mengacu pada kemampuan peneliti untuk menunjukkan bukti secara nyata dari lapangan(fidelitas tinggi, misalnya rekaman video atau audio, sedangkan fidelitas kurang, misalnya catatan lapangan). Sedangkan dimensi struktur meliputi terstrukturnya wawancara dan observasi.
Perencanaan prosedur analisis
Analisis data dilakukan sepanjang penelitian dan dilakukan secara terus-menerus dari awal sampai akhir penelitian. Pengamatan tidak mungkin tanpa analisis untuk mengembangkan hipotesis dan teori berdasarkan data yang diperoleh. Analisis data merupakan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkip-transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya. Analisis data melibatkan pengerjaan pengorganisasian, pemecahan dan sintesis data serta pencarian pola-pola, pengungkapan hal-hal yang penting dan penentuanapa yang dilaporkan. Karena banyaknya model analisis yang diajukan oleh para pakar, maka peneliti hendaknya memilih salah satu modfel yang dianjurkan oleh para pakar tersebut.
Perencanaan logistik.
Perencanaan perlengkapan (logistik) dalam penelitian kualitatif dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu: (a)mempertimbangkan kebutuhan logistic awal secara keseluruhan sebelum pelaksanaan proyek; (b)logistik untuk kunjungan lapangan sebelum, berada di lapangan; (c) logistik untuk sewaktu di lapangan; (d) logistik untuk kegiatan-kegiatan setelah kunjungan lapangan; dan (e) perencanaan logistik untuk mengakhiri dan menutup kegiatan.
Rencana untuk pemeriksaan keabsahan data
Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi empat teknik. Pertama, kredibilitas (credibility)yaitu criteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Untuk hasil penelitian yang kredibel, terdapat tujuh teknik yang diajukan yaitu: perpanjangan kehadiran peneliti/pengamat (prolonged engagement), pengamatan terus-menerus (persistent observation), triangulasi (triangulation), diskusi teman sejawat (peer debriefing), analisis kasus negative (negative case analysis), pengecekan atas kecukupan referensial (referencial adequacy checks), dan pengecekan anggota(member checking).
Kedua, transferabilitas (transferability). Kriteria ini digunakan untuk memenuhi criteria bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu dapat ditransfer ke subyek lain yang memiliki tipologi yang sama.
Ketiga, dependabilitas (dependability). Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek: apakah si peneliti sudah cukup hati-hati, apakah membuat kesalahan dalam mengkonseptualisasikan rencana penelitiannya, pengumpulan data, dan pengintepretasiannya. Teknik terbaik yang digunakan adalah dependability audit dengan meminta dependent dan independent auditor untuk mereview aktifitas peneliti.
Keempat, konfirmabilita (confirmability). Merupakan kriteria untuk menilai mutu tidaknya hasil penelitian. Jika dependabilitas digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh oleh peneliti, maka konfirmabilitas untuk menilai kualitas hasil penelitian, dengan tekanan pertanyaan apakah data dan informasi serta interpretasi dan lainnya didukung oleh materi yang ada dalam audit trail.
Dari berbagai uraian yang dikemukakan di atas penelitian merupakan sebuah proses yang memerlukan perhatian yang benar-benar serius seandainya ingin diperoleh hasil penelitian yang berkualitas. Perhatian Tabel 4 berikut, yang menggambarkan ringkasan penelitian kualitatif sebagai suatu proses
Tabel 5. Peneltian Kualitatif sebagai Proses

Fase Uraian
Periset sebagai subjek penelitian
yang multi kultural Penelitian bersifat historis dan penelitian tradisi , konsep dari diri dan semuanya, tergantung pada etika dan politik penelitian
Paradigma teoritis dan interpretatif Positivisme, post-positivisme, konstruktivisme, feminisme, model etnik, model Marxis, cultural studies
Strategi penelitian Desain studi, studi kasus, etnografi, observasi partisipasi, fenomenologi, grounded theory, metode biografi, metode histories, penelitian tindakan, dan penelitian klinis
Metode pengumpulan data dan analisis data empiris Interviu, observasi, artefak, dokumen dan rekaman, metode visual, metode pengalaman pribadi, analisis dengan bantuan program computer, dan analisis tekstual
Pengembangan interpretasi dan pemaparan Kritereia dan kesepakatan, seni dan politik penafsiran, penafsiran tulisan, strategi analisis, tradisi evaluasi, dan penelitian terapan

Pengunaan Metode Kualitatif dalam Ekonomi

Kalau diperhatikan karya-karya klasik dalam bidang ekonomi, misalnya buku karangan Adam Smith , Wealth of Nations (1976) yang ditulis tahun 1776, maka sebagian besar narasinya berisi analisis secara kualitatif. Demikian pula, buku klasik lainnya, karya Karl Marx, Das Kapital, berisi uraian secara mendalam penggunaan berbagai disiplin ilmu untuk menggambarkan keadaan masyarakat pada waktu itu.
Penggunaan alat analisis kuantitatif begitu demikian menonjol setelah munculnya aliran Neo-Klasik, yang dalam analisisnya menekankan sudut optimasi dalam kegiatan ekonomi. Walaupun dominasi penggunaan alat dan metode penelitian kuantitatif begitu menonjol, bukan berarti dalam karya ilmiah ilmu ekonomi semuanya memakai itu. Misalnya, aliran ekonomi kelembagaan awal dalam analisis ekonomi menggunakan pendekatan tidak murni, akan tetapi dibantu disiplin ilmu lainnya. Myrdal (1954) dalam karya awalnya menulis betapa pentingnya elemen politik dalam pengembangan teori ekonomi. Karya monumental Myrdal lainnya (1972) yang mengantarkannya memperoleh hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 1974 menerangkan kegagalan pembangunan di Asia karena terlalu mengadopsi model ekonomi Neo-Klasik dan kurang memperhatikan factor-faktor non ekonomi, seperti keadaaan politik, social, budaya dan hukum. Demikian pula, Weber (dalam Taufik Abdullah, editor, 1979) kuranglah dikenal oleh mahasiswa ekonomi, meskipun hasil karyanya cukup terkenal. Menurutnya, kemajuan di dunia Barat dengan kapitalismenya, disebabkan karena factor agama yang dianut oleh pengikutnya, khususnya agama Protestan dengan aliran Calvinisme.
Celakanya, meskipun Myrdal memperoleh hadiah Nobel Ekonomi akan tetapi dalam banyak buku sejarah pemikiran ekonomi tidaklah diperbincangkan, karena beliau lebih dijuluki sebagai seorang sosiolog.


Penutup
Metode penelitian kualitatif sebagai salah satu pilihan yang dapat dipakai para mahasiswa Fakultas Ekonomi maupun para peneliti ekonomi, di samping netode penelitian kuantitatif yang sudah biasa dipakai. Pendalaman terhadap metode penelitian kualitatif harus disesuaikan dengan bidang kajian yang digemari, seperti kalau ingin mempelajari organisasi, bisa baca buku karangan Symon dan Catherine Cassell(1998). Jika ingin mempelajari akuntansi harus merujuk metode penelitian kualitatif untuk akuntansi dan untuk ilmu ekonomi dan studi pembangunan juga pernah dilakukan, misalnya oleh Mubyarto, et al (1984).
Sekiranya para peneliti ingin menggabungkan penelitian kualitatif dan kualitatif berbagai pedoman penelitian bisa dirujuk. Misalnya Brannen (1997) maupun Lili Rasjidi (1991).


Menurut Capra tradisi-tradisi mistik yang terdapat dalam setiap agama dan halqah-halqah mistikal itu bisa juga ditemukan pada banyak ajaran filsafat Barat. Paralel-paralel fisika modern tidak hanya muncul pada dalam Veda Hinduisme, dalam I Ching, atau dalam sutra-sutra Budha, tetapi juga dalam fragmen-fragmen Heraclitus, dalam sufisme Ibnu Arabi, atau dalam ajaran-ajaran Don Juan, Sang Penyair.

Daftar Pustaka
Agus Salim 2006.Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana

Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Terj, Nuktaf Arfawie Kurde, Imam Safe’I dan Noorhaidi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Imron Arifin. 1996. Penelitian Kualitatif dalam ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan. Editor. Malang: Kalimasahada

Lili Rasjidi. 1991. Manajemen Riset Antardisiplin, editor. Bandung: Rosda

Lincoln, Yvonna S & Egon G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. California: Sage

Lexy J. Moleong. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya

Mubyarto, Loekman Sutrisno dan Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi Ekonomi dan Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: Rajawali.

Symon, Gillian & Catherine Cassell.1998. Qualitative Methods and Analysis in Organizational Research. A Practical Guide. New Delhi: Sage

Weber, Max.1960. Sekte-sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme dalam Taufik Abdullah, editor. 1979. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Myrdal, Gunnar. 1969. The political Element in the Development of Economic Theory. New York: Simon and Schuster.
Smith, Adam. 1976. An Inquiry into tThe Wealth of Nations. Chicago: The University of Chicago.
Capra, Fritjof. 2001. Tao of Physics.Menyingkap Paralisme Fisika Modern dan Mistisisme Timur. Terjemahan Pipit Maizer.Yogyakarta: Jalasutra.
Capra, Fritjof. 2000 Titik Balik Peradaban Sains, masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Terjemahan M. Thoyibi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.

DUNIA INI BUKAN MONOPOLI LAKI-LAKI






Oleh : Tommy Nuga *)

CATATAN AWAL

Dunia ini penuh dengan dominasi kaum laki-laki. Benarkah demikian? Lalu bagaimana dengan kaum perempuan; apakah mereka merupakan bagian masyarakat yang terbuang, kelas masyarakat tanpa eksistensi dan tidak mempunyai arti dan makna seiring kehadiran manusia di jagat ini? Argumentasinya tidak. Sebab kehadiran kaum perempuan telah memberikan warna tersendiri bagi dinamika kehidupan itu sendiri kendati sumbangsih mereka lebih sering diklaim tidak sedashyat dengan apa yang telah diraih kaum laki-laki. Barangkali absurd untuk menilai kenyataan tersebut apabila kacata mata yang kita pakai adalah produk modern. Namun kesaksian sejarah tidak bisa diabaikan. Dalam masa modern masih ada pihak atau pun perlakuan yang menempatkan kaum perempuan hanya sekadar sebagai pelengkap kalau enggan disebut sebagai masyarakat kelas dua. Sesungguhnya pernyataan awal di atas merupakan potret yang mewakili realitas bagaimana kaum perempuan pernah ditindas, dibatasi hak-haknya dalam ranah apapun. Juga merupakan cuatan nurani yang keluar dari hegemoni kekuasaan yang melegalkan diskriminasi gender terhadap perempuan. Berabad-abad lamanya perempuan hidup tatanan patriarki yang sungguh tidak berpihak pada asas egaliter sehingga  aktivitas yang dilakukan lebih bernuasa pelayan dalam segala aspek; memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga,  mengasuh anak, dan melayani suami sedangkan perkara-perkara yang ada di luar rumah tangga merupakan wilayah tabu.
Reliatas penindasan yang dipraktekan secara sistemik tersebut mengilhami bebrapa tokoh perempuan untuk mewujudkan gerakan pembebasan yang kemudian diistilahkan dengan feminisme. Feminisme merupakan suatu gerakan emansipasi wanita dan gerakan ini bukanlah sesuatu hal baru di dunia. Gerakan yang dimunculkan oleh Marry Wallstonecraff, seorang wanita yang telah berhasil mendobrak dunia lewat bukunya The Right of Woman pada tahun 1972 dengan lantang menyuarakan tentang perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan wanita. Gaung feminisme inipun disambut hangat di beberapa kalangan di dunia Barat.
Feminisme berkenaan dengan pembebasan perempuan daripada penindasan oleh kaum lelaki. Dalam istilah yang mudah, feminisme merupakan kepercayaan kepada kesamaan sosial, politik, dan ekonomi antara kedua-dua jantina, serta kepada sebuah gerakan yang dikendalikan berdasarkan keyakinan bahawa jantina harus tidak merupakan faktor penentu yang membentuk identiti sosial atau hak-hak sosiopolitik dan ekonomi seseorang. Sebahagian besar ahli-ahli gerakan kewanitaan khususnya bimbang akan apa yang dianggapnya sebagai ketaksamaan sosial, politik, dan ekonomi antara kedua-dua jantina yang memihak kepada kaum lelaki sehingga menjejaskan kepentingan kaum perempuan; sesetengah mereka memperdebatkan bahawa identiti-identiti berdasarkan jantina, seperti "lelaki" dan "perempuan", merupakan ciptaan masyarakat. Di bawah tekanan berterusan untuk mengikut norma-norma kelelakian, ahli-ahli gerakan kewanitaan tidak bersetuju antara satu sama lain tentang persoalan-persoalan punca ketaksamaan, bagaimana kesamaan harus dicapai, serta takat jantina dan identiti berdasarkan jantina yang harus dipersoalkan dan dikritik.

Feminisme sebagai Filsafat Politik


Dalam konteks tertentu, masalah feminisme selalu hadir, khususnya selama perempuan tetap tersubordinasi. Feminisme sendiri menentang proses subordinasi tersebut. Terkadang perlawanannya bersifat kolektif dan dengan penuh kesadaran. Namun, kerap pula perlawanannya bersifat sendiri-sendiri dan dengan setengah kesadaran. Perempuan hanya dilihat perannya secara sosial melalui kemalangan, kecanduan obat dan alkohol bahkan kasus kegilaan. Bagaimanapun dalam kurun waktu dua sampai tiga ratus tahun terakhir ini, hal itu telah menumbuhkan gerakan feminis yang nyata dan tersebar luas dan mencoba melakukan perlawanan dengan cara yang terorganisir menentang penindasan terhadap perempuan.

Pertama kali suara feminisme terdengar di daratan Inggris pada abad ke-17. Dua ratus tahun kemudian, lebih banyak suara mulai bicara secara berkelompok. Selanjutnya, terdengar pula di Perancis dan Amerika Serikat. Feminisme yang terorganisir muncul saat transformasi ekonomi-politik kapitalisme terjadi, yaitu ketika industri mulai berkembang di Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat yang mengadopsi sistem politik demokrasi perwakilan. Perubahan ekonomi dan politik secara drastis ini merubah situasi perempuan dan cara merasakan situasi tersebut. Kebanyakan perubahan ini merupakan hasil transformasi signifikan ekonomi dan politik keluarga.

Awal periode modern, proses produksi diorganisir melalui rumah tangga. Dan, kalangan keluarga bangsawan masih memiliki pengaruh politik yang penting meskipun sistem feodal telah digantikan oleh negara yang tersentralisir. Dalam keanggotaan keluarga, perempuan terjamin statusnya baik dalam proses produksi maupun pemerintahan. Meskipun demikian, status itu lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan kalangan bangsawan sangat menikmati kekuasaan politiknya melalui pengaruhnya terhadap keluarga mereka. Dan, perempuan yang telah menikah yang bukan dari kalangan bangsawan memiliki kekuasaan dalam bidang ekonomi di keluarganya karena proses produksi dikelola melalui rumah tangga.

Era praindustri, sebagian besar perempuan terintegrasi secara solid dalam sistem kerja produktif yang diperlakukan untuk kelangsungan hidup keluarganya. Masa ini, perawatan anak dan segala sesuatu yang kita kenal dengan pekejaan domestik hanya sebagian dari waktu kerja perempuan. Sebagai tambahan tugas domestik ini, sebagian besar perempuan memberi kontribusi penting untuk proses produksi pangan melalui beternak unggas dan lebah; membuat susu, menanam sayuran; mereka bertanggung jawab atas proses dan pengawetan pangan; memintal kapas dan wol lalu menjahit atau merajutnya menjadi pakaian; membuat sabun dan lilin, mengakumulasikan pengetahuan obat-obatan dan memproduksi ramuan tumbuh-tumbuhan yang manjur. Kontribusi penting perempuan bagi kelangsungan hidup masyarakat sangat jelas sehingga tidak ada alasan untuk mempertanyakan kembali tempat perempuan dalam masyarakat sebagai kenyataan alamiah.

Dampak industrialisasi, bersamaan dengan tumbuhnya negara demokrasi, meruntuhkan dan merombak total hubungan tradisional yang telah terumuskan oleh masyarakat praindustri. Industrialisasi mentransformasi keluarga dan mengacaukan posisi tradisional perempuan. Perempuan dari kelas yang lebih tinggi kehilangan kekuatan politiknya dengan kemunduran posisi keluarga aristokratis dan tumbuhnya negara demokrasi. Demikian pula perempuan dari kelas yang lebih rendah. Industrialisasi telah memindahkan kerja tradsional perempuan di rumah tangga ke pabrik. Sekalipun, banyak perempuan bekerja di pabrik khususnya awal periode industrialisasi. Kerja tradisional yang dimaksudkan ialah kontrol perempuan dikurangi pada industri vital seperti pengolahan makanan, tekstil, dan garmen. Penurunan kontribusi perempuan dalam rumah tangga kemudian meningkatkan ketergantungan mereka pada suami dan melemahkan kekuatannya berhadapan dengan suaminya.

Pada saat yang sama, perubahan ekonomi dan politik mengarah pada pembatasan status ekonomi dan politik perempuan. Hal itu memberikan janji tentang status baru perempuan. Salah satunya, tidak menyebutkan soal keanggotaan keluarga. Misalnya, pabrik dengan sistem upah dan kesempatan kerja dibuka untuk perempuan. Hal ini awal kemerdekaan ekonomi di luar rumah tangga yang terpisah dari suami. Demikian juga, idealisme demokrasi baru yaitu kesetaraan dan otonomi individu yang menyediakan dasar bagi perubahan anggapan tradisional tentang subordinasi perempuan oleh laki-laki. Hal yang bertentangan dari pembangunan ekonomi dan politik ialah bahwa posisi perempuan dalam masyarakat tak lagi sebagai kenyataan alamiah. Malah, perempuan, sebagaimana dimaksudkan kalangan Marxis dengan istilah "persoalan perempuan". Persoalan tersebut menunjukkan tempat perempuan dalam masyarakat industri yang baru dan banyak jawaban diajukan oleh kalangan feminisme yang terorganisir tentang itu.

Dalam dua atau tiga abad keberadaannya, feminisme yang terorganisir tak lagi bicara dengan suara tunggal. Sebagaimana feminisme awal muncul sebagai respon terhadap perubahan kondisi masyarakat Inggris abad ke-17, maka perubahan lingkungan sejak itu mendorong tampilnya tuntutan kalangan feminis. Misalnya, soal hak pilih dan keluarga berencana merupakan sasaran kampanye mereka. Sebagian besar kebangunan feminisme muncul akhir 1960-an dengan gerakan pembebasan perempuan. Gerakan ini melampaui semua gelombang feminisme sebelumnya, dalam memperluas konsentrasi dan kedalaman kritikannya. Gerakan itu lebih umum daripada gerakan feminis sebelumnya, yakni dengan sajian analisis yang multidimensi tentang penindasan terhadap perempuan dan melimpahnya pandangan mengenai pembebasan perempuan.

"Feminisme" berasal dari bahasa Perancis. Di Amerika Serikat, feminisme dikenal sebagai "gerakan perempuan" abad ke-19. Dalam arti, berbagai jenis kelompok yang semua tujuannya sejalan ataupun tidak, mengarah pada "kemajuan" posisi perempuan. Ketika istilah "feminisme" diperkenalkan ke Amerika Serikat awal abad ke-20, hal itu hanya merujuk pada kelompok khusus kegiatan yaitu advokasi hak asasi perempuan. Kelompok yang menegaskan keunikan perempuan, pengalaman misterius dari keibuan dan kemurnian khas perempuan. Ehrenreich dan Inggris menyebut trend dalam gerakan perempuan ini sebagai "romantisme seksual". Lawannya ialah kecenderungan dominan "rasionalisme seksual". Berseberangan dengan feminis romantis, maka feminis rasionalis seksual berpendapat bahwa subordinasi perempuan tak rasional bukan karena perempuan lebih lemah daripada laki-laki, melainkan menyangkut persamaan dasar antara perempuan dan laki-laki. Dalam konteks kini, makna "feminnisme" abad ke-19 telah menghilang. Sekarang, feminisme umumnya mengacu pada semua usaha yang mencoba, tidak peduli latar belakang nya, untuk mengakhiri subordinasi. Feminisme ini penggunaannya ditentang oleh beberapa aktivis seperti Linda Gordon. Oleh karena, kaum feminis menuntut agar usaha itu menyentuh tiap aspek kehidupan. Istilah feminisme membawa perubahan emosional yang kuat. Dalam beberapa hal, ada makna yang merendahkan namun ada yang menghargai. Pada gilirannya, beberapa orang menyangkal istilah "feminis" terhadap mereka yang menuntut dan yang memberikan kesetujuan pada pihak yang menerimanya. Teori mereka masih merupakan konsep keadilan. Dapat dikatakan bahwa teori feminis belum cukup kuat jika masih bersifat konseptual.

Gerakan pembebasan perempuan menjadi ragam pokok feminisme masyarakat Barat kontemporer. Beraneka nama gerakan demikian mencerminkan konteks politik asal kemunculannya dan kata-kunci yang membedakannya dari bentuk feminisme awal. Feminisme awal menggunakan bahasa "hak" dan "kesetaraan", namun feminisme akhir 1960-an menggunakan istilah "penindasan" dan "kebebasan". Istilah itu menjadi kata kunci untuk kalangan aktivis politik. Dalam perkembangan gerakan pembebasan (pembebasan kulit hitam, gay, pembebasan dunia ketiga, dsb.) tak terhitung nilainya bahwa feminisme itu menyatakan dirinya sebagai "gerakan pembebasan perempuan". Perubahan dalam bahasa merefleksikan suatu perkembangan pemikiran yang bermakna di dalam perspektif politik feminisme kontemporer.

Asal-usul istilah "penindasan" yaitu dari bahasa Latin yang artinya, "menekan atas" atau "menekan melawan". Maksudnya, seseorang yang ditekan mengalami pembatasan atas kemerdekaannya. Tidak semua pembatasan atas kemerdekaan individu bersifat penindasan. Seseorang tidak ditindas oleh fenomena alam yang sederhana, seperti kekuatan daya tarik bumi, salju, dan kekeringan. Malah, penindasan merupakan hasil perantaraan manusia. Secara manusiawi, itu memungkinkan pembatasan kemerdekaan terhadap seseorang.

Tidak semua sifat yang membatasi kebebasan seseorang adalah penindasan. Penindasan harus bersifat tidak adil. Andaikata anda berada di sebuah kapal bersama sembilan orang lainnya, hanya ada enam porsi makanan, lalu makanan tersebut dibagi secara demokratis untuk kesepuluh orang yang ada dengan bagian yang sama, dan anda tidak dapat makan makanan satu porsi penuh. Maka, anda tidak dapat mengatakan bahwa hal ini sebagai bentuk pembatasan kemerdekaan anda atau bentuk penindasan. Sepanjang anda menerima pembagian itu secara adil. Oleh karenanya, penindasan adalah ketiakadilan yang membatasi kemerdekaan individu atau kelompok.

Pembebasan ada hubungannya dengan penindasan. Pembebasan mewujudkan pembatasan atas penindasan. Jelas dari rumusan itu bahwa ada hubungan konseptual antara penindasan dan pembebasan. Di atas satu telapak tangan dan idealisme politik tradisional dari kemerdekaan dan keadilan pada sisi lainnya. Berbicara tentang penindasan dan pembebasan, tidaklah sederhana untuk memperkenalkan istilah baru kepada gagasan lama. Ketika konsep penindasan dan pembebasan dihubungkan secara konseptual pada dataran filosofis yang umum seperti kemerdekaan, keadilan dan kesetaraan yang tidak bisa direduksi tanpa kehilangan konsepnya. Pembicaraan tentang penindasan dan pembebasan tidak hanya memperkenalkan terminologi politik baru, namun sebuah perspektif baru dalam dunia politik. Sebuah perspektif menyaratkan kedinamisan daripada statis di masyarakat dan dipengaruhi oleh ide Marxis dari perlawanan kelas. Penindasan adalah beban pembatasan; yang menganjurkan bahwa masalah itu bukan hasil dari ketidakberuntungan, ketidaktahuan atau prasangka tapi lebih karena sebuah kelompok yang secara aktif mensubordinasi kelompok lain demi kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, berbicara masalah penindasan seperti komitmen para feminis menyangkut pandangan dunia yang mencakup sedikitnya dua kelompok dengan kepentingan yang berlawanan, antara penindas dan yang ditindas. Ada pandangan dunia yang menjelaskan bahwa perlahan-lahan pandangan dominan terhadap pembebasan bukan seperti yang dicapai oleh debat tradisional. Bahkan, kelompok menjadi hasil dari perlawanan politik.

Proses pelawanan lebih dari akhir penindasan yang mengadvokasi kebebasan dan karakterisasi yang lengkap dari tujuan akhir. Hal itu melemahkan usaha untuk merencanakan utopia, dengan menyusun konsep apa yang akan dibebaskan haruslah menjadi revisi yang terus-menerus. Pengetahuan alami manusia termasuk sifat manusia makin berkembang. Kita memperoleh lebih banyak pengetahuan menuju kemungkinan akan kebajikan manusia dan mempelajari bagaimana manusia bisa meraih itu melalui peningkatan kendali terhadap diri kita dan dunia. Kekeringan bukanlah kutukan Tuhan, melainkan hasil kegagalan untuk memperhitungkan konservasi air secara tepat. Penyakit dan kekurangan gizi tak lagi sesuatu yang tak bisa dihindari, melainkan hasil dari kebijakan sosial. Konsekuensinya, pembatasan yang dipandang sebagai kenyataan alami ditransformasi kedalam praktik penindasan. Secara bersamaan, wilayah kemungkinan kebebasan manusia diperluas. Pada prinsipnya, kebebasan bukanlah pencapaian akhir suatu keadaan melainkan proses eliminasi bentuk-bentuk penindasan yang muncul secara terus-menerus.

Kebebasan Perempuan dan Filosofi Politik


Perspektif baru ini tidak berdiri sendiri, namun kesinambungan antara proyek feminis tradisional dan kontemporer. Dalam melihat kebebasan, kaum feminis kontemporer mengambil alih kepentingan pendahulunya dalam hal kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Perhatian terhadap filsafat politik artinya bahwa kalangan feminis tak dapat menghindari kontroversi filosofis yang umumnya menyelimuti penafsiran yang tepat atas konsep tersebut. Rupanya, ketidaksetujuan yang berkepanjangan terhadap apa yang seharusnya dilihat sebagai kebebasan, keadilan, dan kesetaraan telah mengarah pada karakter konsep ini sebagai "permainan esensi". Banyak filsafat politik dipandang sebagai seri usaha yang berkelanjutan untuk mempertahankan konsep alternatif tentang kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Dalam perkembangannya, penafsiran idealisme mendesak perempuan menutut kebebasan dalam wilayah filsafat politik.

Hal itu ada akibat pelatihan. Dan lainnya sebagai sebuah usaha untuk me-"legitimasi" filsafat feminisme. Kalangan akademisi filsafat mencoba mendiskusikan isu feminis melalui istilah dan konsep yang lama dan umum. Secara berlawanan, diskusi di tingkat akar rumput kaum feminis non-akademisi berputar di sekitar masalah penindasan. Istilah ini telah melahirkan pertanyaan filosofis terkait dengan konsep penindasan dan kebebasan. Pertanyaannya: apakah sifat utama penindasan khusus terhadap perempuan itu? Apakah sifat penindasan itu berbeda-beda untuk masing-masing kelompok perempuan? Dapatkah perempuan sebagai individu menghapuskan penindasan itu? Jika perempuan yang ditindas, maka siapa yang menindasnya? Dapatkah pihak yang menindas tidak dikenal dan intensional? Dapatkah penindas mengalami penindasan? Dapatkan individu anggota kelompok penindas menahan diri untuk tidak menindas perempuan selama dia masih berada dalam kelompoknya? Untuk tiap pertanyaan tersebut kaum feminis kontemporer telah menyediakan jawaban yang meyakinkan.

Filsuf politik feminisme menggunakan kategori tradisional dan non-tradisional dalam menggambarkan dan mengevaluasi pengalaman perempuan. Dalam kasus ini, mereka sering melahirkan isu yang mungkin kelihatan asing bagi filsafat politik yang terbaru. Misalnya, mereka menanyakan tentang konsep cinta, persahabatan, dan seksualitas. Mereka membayangkan apa arti demokratisasi dalam pekerjaan rumah tangga dan perawatan anak. Bahkan, mereka menentang pandangan yang telah mengakar tentang kealamian hubungan seksual dan melahirkan anak. Tuntutan dan slogan mereka tidak akrab dan non-politis. Tuntutan atas "kendali terhadap tubuhnya", " penolakan menjadi obyek seks" dan "hak reproduksi". Mereka menyatakan bahwa "diri pribadi adalah politis".

Dengan fokus ini, teori-teori feminis menggali kemungkinan memasukkan kategori politik di wilayah keberadaan manusia yang sampai kini dipertimbangkan. Oleh karena itu, refleksi kaum feminis terhadap kesetaraan perempuan tidak hanya mempertimbangkan kesetaraan kesempatan dan perlakuan istimewa untuk perempuan di berbagai lapangan, namun ganjaran yang setara untuk kehidupan keibuan atau bahkan yang disebut sebagai ibu bayi tabung. Dalam pekembangan isu ini, kaum feminis kontemporer memberi arah bagi filsafat politik. Lebih sederhana, hal ini menyediakan jawaban baru atas persoalan klasik. Mereka berusaha menunjukkan bahwa masalahnya telah dipahami sendiri secara sempit. Dalam proses itu, kembali pada pemasalahan klasik atau masalah baru, feminisme kontemporer menyediakan ujian untuk memenuhi keberadaan teori-teori politik karena teori politik tradisional terlihat tidak memadai. Maka dimulai dengan cara alternatif mengonsep kembali realitas masyarakat dan kemungkinan politik. Dengan mencoba memperluas wilayah tradisional filsafat politik, maka feminisme kontemporer menantang keduanya baik keberadaan teori-teori politik maupun konsep filsafat politik itu sendiri.

Kaum feminis kontemporer menaruh perhatian tertentu sehingga membedakannya dari kalangan non-feminis dan feminis awal. Perhatian ini mengandung makna bahwa terdapat "pembagian kerja" sehingga segelintir feminis menjawabnya dengan perlawanan politik dan yang lain dengan cara lain pula. Sebagian feminis bekerja dalam wilayah perhatian yang umum dan lainnya aktif di kelompok kiri atau pengorganisasian massa. Beberapa di gerakan kulit hitam dan lesbian. Berbagai pekerjaaan dan pengalaman hidup kaum feminis kontemporer menghasilkan aneka persepsi tentang realitas sosial dan penindasan perempuan. Keanekaragaman ini merupakan sumber kekuatan bagi gerakan pembebasan perempuan. Gelombang awal feminisme kadang dilihat melalui refleksi atas pengalaman perempuan kulit putih dari kalangan menengah ke atas. Perempuan kulit putih kelas menengah itu ditonjolkan secara kuat dalam gerakan perempuan kontemporer. Namun, perspektif ini ditantang oleh pandangan yang mencerminkan pengalaman yang sangat berbeda dari perempuan kulit berwarna, perempuan kelas pekerja, dan sebagainya. Pengalaman yang sangat kaya dan beraneka ragam di kaum feminis kontemporer memberikan pandangan segar atas masalah penindasan terhadap perempuan dan menyajikan perspektif dan pernilaian baru bagi gerakan pembebasan perempuan.

Tidak selalu jelas, bagaimana pandangan dan perspektif baru itu seharusnya diterjemahkan kedalam teori femnis. Berpijak atas lokasi sosial yang berbeda, beberapa feminis mengalami aspek tertentu dari penindasan terhadap perempuan secara kritis, sementara yang lain dipengaruhi lebih cepat oleh aspek lainnya. Perbedaan persepsi atas penindasan itu sering dikembangkan melalui analisa sistematis yang dinilai berbeda satu sama lain. Misalnya, beberapa feminis yakin mendeklarasikan bahwa secara nyata perempuan ditindas oleh laki-laki. Yang lainnya, sedikit posisinya yang jelas. Mereka ditindas oleh laki-laki. Namun, penindasan khusus perempuan merupakan hasil dari sistem kapitalis. Meskipun mereka menggunakan istilah penindasan secara popular dan berusaha memutus hubungan munculnya pemikiran radikal, namun mereka berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki ditindas oleh "sistem peran seks". Jelas bahwa feminisme kontemporer mencakup berbagai teori yang berkaitan dengan penindasan dan pembebaan perempuan.

Keyakinan kita tentang sifat manusia mempengaruhi cara kita mengonsep realitas masyarakat. Sehingga, cara kita memahami dan mempelajari realitas tersebut memperngaruhi pandangan kita tentang sifat manusia. Konsekuensinya, teori feminisme dipandang lebih baik sebagai jaringan tuntutan yang normatif, konseptual, empirik dan metodologis daripada sebagai sistem yang deduktif. Sebagai jaringan, terkadang disebut sebagai paradigma atau cara menyeluruh memahami realita dikaitkan oleh kondisi sejarah tertentu dan mencerminkan kebutuhan material kelompok masyarakat tertentu. (HG)
*) Penulis adalah Anggota KMK St.Paulus  Universitas Dr.Soetomo Surabaya
 Mahasiswa Semester VIII