Selamat Datang

Selamat membaca dan mengutip, jangan menjadi plagiat
Bagi pemilik tulisan harap kunjungi "surat untuk penulis"

Selasa, 23 Agustus 2011

Dideng Dayang Ayu : Cerita Rakyat Rantau Pandan, Bungo-Jambi.


Oleh : Febby Febriyandi. YS

Cerita Dideng Dayang Ayu merupakan cerita rakyat dari daerah Rantau Pandan Muaro Bungo. Cerita ini disampaikan dengan cara bersyair sambil menabuh kelintang. Dalam kesempatan tertentu cerita ini juga dikemas dengan dengan gerak tari sehingga terwujud sebagai suatu pertunjukan seni yang menarik.
Cerita Dideng Dang Ayu bermula dari kisah seorang raja yang bergelar Raja Pasak kancing. Baginda memiliki seorang putera dan seorang puteri. Suatu ketika permaisuri raja meninggal dunia, raja pasak kancing begitu bersedih dan pergi entah kemana sehingga kerajaan menjadi kacau tak terurus. Begitu pula nasib putera-puteri baginda yang bagai menjadi yatim piatu. Pembesar istana dan dubalang kerajaan sudah tidak peduli dengan keadaan raja dan anak-anaknya, dan akhirnya terjadi pemindahan kekuasaan yang bukan pada haknya. Tahta kerajaan dipegang oleh orang yang bukan keturunan baginda raja pasak kancing.
Putera baginda merasa tidak tahan lagi tinggal di dalam istana, maka pamitlah ia kepada adinda puteri untuk merantau mengadu nasib ke negeri orang. Tidak ada kata yang dapat melukiskan kepiluan hati sang adik mengiringi kepergian kakanda tercinta, namun puteri pun tidak kuasa menahan kakanda hidup penuh tekanan dalam istana. sebelum berpisah, kedua kakak beradik membuat janji bila keduanya mempunyai keturunan, maka keturunan mereka akan mengikat tali perkawinan.
Sang kakak merantau ke negeri Pusat Jalo dan kemudian diangkat sebagai raja di sana. Dari perkawinannya dengan seorang puteri lahirlah seorang putera yang diberi nama Dang Bujang. Sementara adik perempuannya yang menetap di Pasak Kancing telah pula melahirkan seorang puteri dan diberi nama Dayang Ayu.
Garis kehidupan kedua anak tersebut sungguh jauh berbeda. Dang Bujang Hidup sebagai anak raja, sedangkan Dayang Ayu hidup dalam kemiskinan. Meskipun Dayang Ayu hanya seorang gadis miskin, namun ia memiliki kecantikan luar biasa, bagaikan puteri yang turun dari kayangan. Saat menginjak dewasa Dang Bujang dinobatkan sebagai putera mahkota. Acara penobatan sangat meriah, sebuah pesta besar diadakan untuk mengundang pangeran dan puteri dari kerajaan tetangga. Teringat akan janjinya, Raja Pusat Jalo mengundang Dayang Ayu beserta ibunya. Raja berniat sekaligus mengumumkan pertunangan antara Dang Bujang dan Dayang Ayu.
Tanpa pakaian kebesaran, tanpa iring-iringan datanglah Dayang Ayu dan ibunya. Karena penampilan yang tidak menyerupai kaum bangsawan, hulubalang menghadang di gerbang kerajaan, mereka mengira Dayang Ayu dan ibunya hanyalah pengemis yang meminta sedikit belas kasih kepada raja. Peristiwa itu menarik perhatian undangan pesta. Mereka keluar istana dan langsung terlena melihat kecantikan Dayang Ayu. Dang Bujang yang kala itu sedang berjoget dengan seorang puteri merasa terhina dengan kejadian itu, dan tanpa bertanya siapa gerangan yang datang, Dang Bujang langsung mengusir Dayang Ayu dan ibunya dengan hinaan yang sangat menusuk hati. Dengan hati yang pedih dan kecewa pulanglah Dayang Ayu beserta ibunya kembali ke Pasak Kancing. Betapa murkanya Raja Pusat Jalo mendengar perlakuan Dang Bujang kepada Puteri Dayang Ayu dan ibunya. Raja langsung bertitah kepada Dang Bujang “Kejar mereka dan kau tidak aku izinkan kembali ke istana tanpa membawa Dayang Ayu”.
Dalam perjalanan Keputus-asaannya, Dayang Ayu tidak kembali ke Pasak Kancing, karena ibunya wafat dalam perjalanan menuju Pasak Kancing. Dayang Ayu memutuskan untuk merambah hutan belantara seorang diri hanya bertemankan binatang liar yang ikut mengiringi. Seekor burung Punai menyarankan agar Dayang Ayu pegi ke Bukit Sekedu, dan si Punai juga menyuruh dua ekor kera untuk menemui Dewa Tua penguasa Bukit Sekedu yang bernama nenek Rabiyah. Kepada nenek Rabiyah Dayang Ayu menumpahkan semua kesedihan hatinya. Tercengang nenek Rabiyah mendengar kepedihan dan keputusasaan Dayang Ayu, yang melantunkan syair :
Ngan mendaki bukit sekedu (saya mendaki bukit sekedu)
Ngan menurun di pasi merang (turun di pasir merang)
Ngan menangih betudung baju (saya menangis bertudung baju)
Mengenang badanlah bejalan surang (teringat berjalan seorang diri)

Serai serumpun di tengah laman (serai serumpun di tengah halaman)
Anaklah punai mengunjur kaki (anak punai mengunjur kaki)
Tinggallah dusun tinggallah laman (tinggallah desa dan halaman)
Tinggal sereto tepian mandi (tinggal juga tepian mandi)
Berbagai nasehat dari nenek Rabiyah tidak mampu menyurutkan kehendak Dayang Ayu untuk menyatu dengan alam, atas bimbingan nenek Rabiyah Dayang Ayu menuju telaga larangan. Di telaga itu Dayang Ayu bergabung dengan delapan puteri yang sedang mandi bergembira ria. Dayang Ayu kemudian langsung memasuki telaga diringi warna indah pelangi.
Sementara itu, Dang Bujang telah menempuh perjalanan yang berat. Setelah melewati banyak lembah dan bukit sampailah ia di puncak Bukit Sekedu. Sesuai dengan isyarat hewan liar di hutan itu, Dang Bujang juga menemui nenek Rabiyah. Nenek Rabiyah cukup mengerti akan maksud Dang Bujang, maka disuruhnya Dang Bujang ke telaga larangan agar dapat bertemu dengan Dayang Ayu, tunangannya.
Gemercikair terjun di hulu telaga itu menyembunyikan kehadiran Dang Bujang di sana. Dang Bujang bingung mendapati Sembilan orang puteri yang sedang mandi di telaga itu. Selain mereka memiliki kecantikan yang sama, Dang Bujang tidak mengenali wajah Dayang Ayu yang dicarinya. Dang Bujang masih saja bingung dengan perasaan tidak menentu hingga kesembilan puteri itu kembali ke angkasa. Dang Bujang kembali menemui nenek Rabiyah. Nenek mengatakan kepada Dang Bujang bahwa puteri yang terakhir turun ke telaga, dialah Dayang Ayu.
Keesokan harinya berbekal pancing pemberian nenek Rabiyah, Dang Bujang menanti di telaga. Sambil mengucapkan mantra yang diajarkan nenek Rabiyah, Dang Bujang mengambil salah satu selendang bidadari yang terletak di sebuah batu. Tidak satupun dari bidadari itu yang menyadari perbuatan Dang Bujang. Betapa terkejut dan sedihnya hati Dang Ayu ketika mengetahui selendangnya hilang. Puteri yang lain telah terbang ke angkasa, sedangkan Dayang Ayu tinggal sendiri di telaga itu. Dayang Ayu bertembah kecewa saat mengetahui selendangnya berada di tangan Dang Bujang, namun ia tidak punya pilihan selain mengikuti Dang Bujang ke istana Pusat Jalo.
Beberapa hari tiba di istana Pusat Jalo baginda raja langsung mengadakan pesta pernikahan Dang Bujang dengan Dayang Ayu. Pesta diselenggarakan dengan sangat meriah, selamatujuh malam perhelatan akbar digelar, namun tidak bisa menghapus kesedihan puteri Dayang Ayu. Gundah gulana selalu mewarnai wajah ayu sang puteri, kabahagiaan dunia tidak mampu menghapus kerinduannya akan kesenangan di alam dewa-dewi.
Banyak tabib telah diperintahkan untuk mengobati Dayang Ayu yang semakin hari kian kurus. Puncak kerinduan untuk kembali ke kayangan tiba pada saat Dayang Ayu telah melahirkan seorang putera. Belum habis masa nifasnya, dengan tubuh yang lunglai Dayang Ayu berdiri dianjungan istana. rasa sedih yang dibungkus kerinduan mendalam telah menghantarkan doa Dayang Ayu ke singgasana penguasa alam. Perlahan tubuh Dayang Ayu terangkat melayang melewati jendela anjungan istana. Rasa kasih dan sayang terpancar dari mata Dayang Ayu saat ia mendengar tangisan sang buah hati. Sang puteri tidak sepenuhnya menjelman menjadi dewi, tetapi ia berubah menjadi elang dan terbang tinggi ke angkasa. Isak kepedihan hati dan kasih sayangnya kepad anak yang ditinggalkan terdengar sangat pedih. Sejak saat itu apabila masyarakat Rantau Pandan mendengar pekikan elang di siang hari, mereka selalu bercerita bahwa pekikan itu adalah suara Dayang Ayu yang ingin menyusui anaknya. Tamat……

Selasa, 16 Agustus 2011

Undang-Undang Nan Dua Puluh daerah Bungo (catatan Penelitian)


Oleh : Febby Febriyandi. YS

Masyarakat Melayu Bungo memiliki undang-undang adat yang disebut undang-undang nan dua puluh. Undang-undang ini berlaku mengikat, tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga. Berbeda dengan undang-undang Pidana maupun Perdata yang diakui oleh negara, undang-undang nan dua puluh tidak mencantumkan sanksi dalam sebuah kitab. Sanksi terhadap pelanggaran undang-undang nan dua puluh diatur dalam bagian lain, yaitu diatur dalam lembago adat yang berdasarkan hukum mungkin dan patut.

Undang-Undang nan dua puluh terbagi dalam dua bagian yaitu undang-undang nan delapan dan undang-undang nan dua belas. Undang-undang nan delapan merupakan aturan untuk perbuatan yang digolongkan kedalam tindak kejahatan pidana, sedangkan undang-undang nan dua belas lebih sebagai aturan hidup sehari-hari. Undang-undang nan delapan terdiri dari :
1. Tikam-bunuh,
Tikam adalah perbuatan menikam seseorang baik secara sengaja ataupun tidak sengaja yang menyebabkan orang tersebut terluka. Dalam ungkapan adat disebutkan kok darah lah terpecik ke Bumi, kok daging lah terkuak. Bunuh adalah perbuatan sengaja atau tidak yang menyebabkan meninggalnya orang lain. Ungkapan adat berbunyi : kok bangkai lah teguling, kok mati lah tebuju.

2. Upeh-racun
Upeh adalah perbuatan menganiaya orang lain dengan cara memberikan makanan atau minuman, sehingga menyebabkan orang tersebut menderita penyakit parah dan menahun.
Racun adalah perbuatan menganiaya orang lain dengan memberi makan atau minum yang telah diberi racun sehingga menyebabkan kematian. Dalam ungkapan adat disebutkan : upeh nan menyesak, racun dan betabung.

3. Samun-sakai
Samun ialah perbuatan mengambil barang orang lain dengan paksa dan disertai dengan penganiayaan. Sedangkan sakai adalah perbuatan mengambil harta benda milik orang lain dengan cara mencuri baik siang maupun malam hari. Dalam ungkapan adat disebutkan :
Jenjang tertegak dibelakang rumah
Terbebak dinding
Terateh lantai
Tergulung atap
Terpekik pingkau orang banyak

4. Sumbang-salah
Sumbang ialah suatu perbuatan atau sikap yang dianggap jelek, janggal, tidak pantas dalam pandangan masyarakat. Dalam ungkapan adat disebutkan : sumbang kato,sumbang mato, sumbang tegak, sumbang duduk, sumbang perbuatan. Salah adalah perbuatan yang tergolong kedalam induk kesalahan menurut adat, disertai dengan bukti yang dapat diperiksa. Ungkapan adat menyebutkan :
Salah di rajo,mati
Salah laki-laki dengan isteri orangmati jugo hukumnyo
Salah bujang dengan gadis
Kaki salah langkah, tangan salah jangkau, tunjuk terdorong
Salah hutang tadahno.

5. Dago-dagi
Dago adalah perbuatan menentang ketentuan adat, atau merencanakan suatu kejahatan untuk memfitnah serta mencemarkan nama baik pimpinan adat. Sedangkan dagi adalah membuat kejahatan yang menghebohkan negeri, menentang pemimpin sehingga terjadi kekacauan.

6. Siar-bakar
Siar adalah perbuatan sengaja membakar ladang atau rumah tetapi tidak sampai habis, sedangkan bakar adalah perbuatan membakar rumah atau ladang sampai habis
7. Melesit-menerangko
Melasit adalah mengugurkan anak dalam kandungan, sedangkan menerangko adalah sengaja membuat keributan di dalam kampung sehingga orang lain teraniaya

8. Lembuk-lembai
Umbuk adalah merayu orang lain sehingga terjebak melakukan suatu kejahatan atau perbuatan yang buruk. Lembai adalah mengulur-ulur waktu yang menyebabkan datangnya bahaya, sehingga orang lain menjadi teraniaya.

Undang-undang nan delapan masing-masing berpasang-pasangan sehingga menjadi enam belas undang-undang. Enam belas undang-undang tersebut terbagi pula ke dalam dua bagian yaitu delapan diatas yang disebut undang-undang semato-mato, dan delapan di bawah yang disebut ikuk undang kepalo peseko.
Dalam undang-undang nan delapan juga disebutkan sanksi kepada siap saja yang melanggar hukum adat. Sanksi yang diberikan disesuaikan dengan pelanggaran, makin besar kesalahan semakin berat sanksi yang dikenakan. Pelanggaran seperti menikam bumi (inces antara anak laki-laki dengan ibu), mencarak telur (inces antara anak perempuan dengan ayah), menyunting bungo setangkai (berbuat mesum dengan saudara ipar), atau mandi dipancuran gading (berbuat mesum dengan isteri orang), secara adat dikenakan sanksi seekor kerbau, beras seratus gantang, kain putih enam belas kayu, dilengkapi dengan seasam segaram, selemak semanis (bumbu dapur). Kejahatan lain seperti lebam balu, dikenakan sanksi tepung tawar. Luko tekuak, dikenakan sanksi seekor kambing, beras dua puluh gantang, kain empat kayu, selemak semanis seasam segaram. Luko garis, dikenakan sanksi seekor ayam, beras segantang, dan nasi putih kuah kuning. Mati bangun, dikenakan sanksi kerbau seekor, beras seratus gantang, kain delapan kayu dilengkapi bumbu dapur.

Undang-undang nan dua belas terdiri dari :
1. Undang Tebing serto tepian
2. Undang Rumah serta tengganai
3. Undang Luhak serto penghulu
4. Undang Kampung serto tuo
5. Undang Negri serto batin
6. Undang Rantau serta jenang
7. Undang Alam serto rajo
8. Undang Tanah, air serto hutan
9. Undang Ternak serto tanaman
10. Undang dagang serto utang piutang
11. Undang ambik serto tunggu tagih
12. Undang semendo menyemendo serto perkawinan.

Dalam adat masyarakat Bungo, undang-undang anan duo puluh terbagi dalam tiga tinggakatan (berjenjang naik bertanggo turun) yaitu : 1). Dua puluh di ateh namanya peseko, dan menjadi hak dari Batin serta Penghulu untuk menjaga agar tidak ada yang melanggar adat. 2). Dua puluh di tengah namanya lembago, wewenang dan hak ninik mamak untuk mengasuh dan menjaganya. 3). Dua puluh di bawah namanya tepung-tawa, wewenang dan hak tengganai untuk menyelesaikan sengketa.

Menurut informan, undang-undang nan dua puluh ini merupakan aturan pemakain adat dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana ungkapan adat mengatakan :
Rumah nan betengganai
Kampung nan betuo
Luhak dan bepenghulu
Negeri nan bebatin
Rantau nan bejenang
Alam nan berajo
Hutan lepeh rimbo tenang
Umo bekandang siang, ternak bekandang malam
Kerimbo berbungo kayu
Keayik berbungo pasir
Ketambang berbungo meh
Kesawah berbungo padi

Undang-undang nan duo belas menyangkut segala kehidupan bermasyarakat, oleh karena itu sangat sulit untuk dirincikan satu persatu. Sebagai contoh undang-undang ke limo tentang negeri serto Batin. Dalam undang-undang ini diatur bahwa setiap negeri harus dipimpin oleh seorang Batin, pepatah adat menyebutkan
negeri nan bebatin
batin nan pusat jalo tumpuan ikan
batin naik negeri berutang
batin nan rindang dek adat, rimbun dek peseko.
Oleh karena itu, seseorang yang duduk sebagai pemimpin adat atau anggora majelis adat, harus benar-benar menguasai seluk beluk undang-undang nan dua puluh. Jika pemimpin adat tidak menguasai, keputusan yang dibuatnya akan bertolak belakang dengan hukum adat.