Selamat Datang

Selamat membaca dan mengutip, jangan menjadi plagiat
Bagi pemilik tulisan harap kunjungi "surat untuk penulis"

Rabu, 11 April 2012

Pandangan Materialisme Historis Karl Marx


Pengantar 
Konsep filsafat yang ditawarkan oleh Karl Marx mempunyai dampak yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sejarah pemikiran modern, kebudayaan, seni, bahkan filsafat. Begitu banyak hal yang ia tawarkan mulai dari pemikirannya tentang alienasi, filsafat pekerjaan, materialism historis, hingga komunisme. Seperti kita ketahui bersama, lewat tulisan tulisannya, Marx sebenarnya menolak usaha usaha yang bersifat moralis belaka. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba menggali lebih dalam mengenai konsep materialism historis. Pandangan materialism historis adalah pandangan tentang factor factor pokok yang menentukan perkembangan sejarah. Pandangan ini bersamaan dengan teorinya tentang revolusi merupakan bagian dari konsep Marx yang paling berpengaruh dan tetap merupakan inti dari segala macam Marxisme. Pandangan materialism sejarah banyak dipahami salah, baik oleh kaum marxis sendiri maupun oleh lawan lawan mereka. Kata yang paling menyesatkan ialah kata materialis. Karena itu Marxisme sering disebut sebagai salah satu bentuk materialism. Padahal di seluruh karya Marx hamper tidak ditemukan uraian apapun tentang materialism, yaitu sebagai anggapan bahwa realita terakhir alam semesta ialah materi. Alam semseta tidak pernah dipersoalkan oleh Marx. Marx hanya bicara tentang perkembangan masyarakat, dan dalam hubungan ini materialis hanya berarti bahwa kegiatan atau pekerjaan jasmaniah atau produksi adalah kegiatan dasar manusia dan bukan pemikirannya.[1] 

Pandangan Materialisme Sejarah 
“Materialisme” dalam Marx berarti bahwa kegiatan dasar manusia adalah kerja sosial. Di sini dia menerima pengandaian Feuerbach bahwa kenyataan akhir adalah obyek indrawi, dan dalam Marx objek indrawi itu harus dipahami sebagai kerja atau produksi. Istilah “sejarah” mengacu pada Hegel yang pengandaian-pengandaiannya tentang sejarah diterima oleh Marx. Tetapi, sejarah di sini bukan menyangkut perwujudan diri Roh, melainkan perjuangan kelas-kelas untuk mewujudkan dirinya mencapai kebebasan/emansipasi. Sosialisme Marx berdasarkan pada penelitian syarat-syarat obyektif perkembangan masyarakat. Marx menolak pendasaran sosialisme pada pertimbangan-pertimbangan moral. Menurutnya sosialisme terwujud bila syarat-syarat obyektif penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi terpenuhi dan keadaan tersebut harus diciptakan. Hukum dasar perkembangan masyarakat ialah bahwa produksi kebutuhan-kebutuhan material manusia menentukan bentuk masyarakat dan pengembangannya. Fakta sederhana itu ialah bahwa manusia pertama-tama harus makan, minum, bertempat tinggal, dan berpakaian. Setelah itu baru mereka melakukan kegiatan politik, ilmu pengetahuan, seni, agama, dan seterusnya. Jadi, produksi nafkah hidup material bersifat langsung. Dengan demikian tingkat perkembangan ekonomis sebuah masyarakat atau jaman menjadi dasar dari bentuk-bentuk kenegaraan, pandangan-pandangan hukum, seni, dan bahkan perkembangan pandangan-pandangan religius orang-orang yang bersangkutan. “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka”. Pemikiran ini tidak bertolak dari apa yang dikatakan orang, tidak dari bayangan dan cita-cita orang, juga tidak dari yang dipikirkan orang, melainkan dari manusia yang nyata dan aktif. Dari proses hidup nyata merekalah perkembangan refleks-refleks serta gema-gema ideologis tentang proses hidup itu dijelaskan. Keadaan sosial menyangkut produksi masyarakat, pekerjaan masyarakat. Manusia ditentukan oleh produksi mereka: apa yang mereka produksi dan cara mereka berproduksi. Pandangan ini disebut materialis. Disebut materialis karena sejarah manusia dianggap ditentukan oleh syarat-syarat produksi material. Jadi Marx memakai kata materialisme bukan dalam arti filosofis, yakni sebagai pandangan/kepercayaan bahwa seluruh realitas adalah materi, melainkan ia ingin menunjuk pada faktor-faktor yang menentukan sejarah. Faktor-faktor tersebut bukanlah pikiran melainkan keadaan material manusia dan keadaan material adalah produksi kebutuhan material manusia. Cara manusia menghasilkan apa yang dibutuhkan untuk hidup itulah yang disebut keadaan manusia dan cara itulah yang menentukan kesadaran manusia. Cara manusia berpikir ditentukan oleh cara ia bekerja. Jadi, untuk memahami sejarah dan arah perubahannya, manusia tidak perlu memperhatikan apa yang dipikirkan oleh manusia, melainkan bagaimana ia bekerja dan bagaimana ia berproduksi. Kualitas hidup ditentukan oleh kedudukannya dalam masyarakat dan keanggotaan dalam kelas sosial tertentu sangat menentukan cara seseorang memandang dunia. Maka kesadaran dan cita-cita manusia ditentukan oleh kedudukannya dalam kelas sosial. Demikian juga cara berproduksi menentukan adanya kelas-kelas sosial; keanggotaan menentukan kepentingan orang, dan kepentingan menentukan apa yang dicita-citakan. Maka, hidup rohani masyarakat, kesadarannya, agamanya, moralitasnya, nilai-nilai budaya, dan seterusnya bersifat sekunder. Sekunder karena hanya mengungkapkan keadaan primer, struktur kelas masyarakat, dan pola produksi. Sejarah tidak ditentukan oleh pikiran manusia, melainkan oleh cara ia menjalankan produksinya. Maka, perubahan masyarakat tidak dapat dihasilkan oleh perubahan pikiran, melainkan oleh perubahan dalam cara produksi[2]. 

Basis dan Bangunan Atas 
Cara produksi kehidupan material mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual pada umumnya. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, sebaliknya, keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka. Marx membagi lingkup kehidupan manusia dalam dua bagian besar, yang satu adalah “dasar nyata” atau “basis”, dan yang lain adalah “bangunan atas”. Dasar atau basis itu adalah bidang “produksi kehidupan material”, sedangkan bangunan atas adalah “proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual”. Kehidupan bangunan atas ditentukan oleh kehidupan dalam basis. 

 Basis/Materi (Ekonomi) - Unterbau 
 Basis ditentukan 2 faktor: (1) tenaga-tenaga produktif, dan (2) hubungan-hubungan produksi. Tenaga2 produktif adalah kekuatan-kekuatan yang dipakai untuk mengerjalan dan mengubah alam. Unsur-unsur tenaga produktif adalah alat-alat kerja, manusia dengan kecakapannya, dan pengalaman-pengalaman dalam produksi. Hubungan2 produksi adalah hubungan kerjasama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Hubungan ini adalah strukur pengorganisasian sosial produksi. Misalnya, pemilik modal dan pekerja. Dan karena struktur kelas pada hakekatnya ditentukan oleh sistem hak milik, maka hubungan2 produksi itu sama juga dengan hubungan hak milik. Struktur kelas dalam masyarakat bukan sesuatu yang kebetulan, melainkan ditentukan oleh tuntutan efisiensi produksi, atau oleh tingkat perkembangan tenaga2 produksi. Maka yang pertama menentukan hubungan2 produksi atau struktur kelas suatu masyarakat adalah tenaga2 produktif. Hubungan2 itu tidak tergantung pada kemauan orang, melainkan pada tuntutan objektif produksi. 

Bangunan Atas/Superstruktur (Kesadaran) - Überbau 
Terdiri dari 2 unsur: (1) tatanan institusional dan (2) tatanan kesadaran kolektif (bangunan atas ideologis). Tatanan institusional adalah semacam lembaga yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat di luar bidang produksi, seperti organisasi sebuah pasar, sistem pendidikan, sistem kesehatan masyarakat, sistem lalu lintas, dan terutama sistem hukum dan negara Tatanan kesadaran kolektif memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna, dan orientasi spiritual kepada usaha manusia, termasuk mengenai pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas masyarakat, nilai2 budaya, seni, dsb. Marx bertolak dari pengandaian bahwa institusi-institusi, agama, moralitas, dan sebagainya ditentukan oleh struktur kelas dalam masyarakat. Menurutnya, negara selalu mendukung kelas-kelas atas, dan agama serta sistem nilai lainnya memberikan legitimasi kepada kekuasaan kelas2 atas itu. Hubungan2 produksi dalam basis selalu berupa struktur2 kekuasaan, tepatnya struktur kekuasaan ekonomis. Hal itu ditandai kenyataan bahwa bidang produksi dikuasai oleh para pemilik. Maka teori tentang basis/bangunan bawah dan bangunan atas berarti bahwa struktur2 kekuasaan politis dan ideologis ditentukan oleh struktur hubungan hak milik, atau oleh struktur kekuasaan di bidang ekonomi. Yang menguasai bidang ekonomi, pada mumnya para pemilik, juga menguasai Negara, sehingga kekuasaan Negara selalu mendukung kepentingan mereka. Begitu pula kepercayaan-kepercayaan dan sistem-sistem nilai berfungsi memberi legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas. Dalam arti ini struktur kekuasaan politis dan spiritual dalam masyarakat selalu mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas atas terhadap kelas-kelas bawah dalam bidang ekonomi. 

Teori Kelas - Perubahan sosial masyarakat 
Marx tidak pernah menguraikan teori kelasnya. Mirip dengan filsafat pekerjaan, teori kelas bukanlah sebuah teori eksplisit, melainkan suatu pemikiran yang melatarbelakangi uraian Marx tentang hukum perkembangan sejarah, tentang kapitalisme, dan tentang sosialisme. Marx tidak pernah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “kelas”. Mengikuti definisi termasyur Lenin, kelas sosial dianggap sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Bagi Marx, kelas sosial merupakan gejals khas pasca-feodal. Menurutnya sebuah kelas baru bisa dianggap kelas dalam arti sebenarnya apabila dia bukan hanya secara objektif merupakan golongan sosial dengan kepentingan tersendiri, melainkan juga menyadari diri sebagai kelas atau sebagai golongan khusus dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya. 

Kelas Atas dan Kelas Bawah 
Menurut Karl Marx pelaku-pelaku utama perubahan sosial bukanlah individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Menurutnya, akan terlihat bahwa dalam dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Sebenarnya bukan 2 kelas yang diajukan Marx, melainkan 3 kelas, yaitu kaum buruh (mereka yang hidup dari upah), kaum pemilik modal (hidup dari laba), dan para tuan tanah (hidup dari rente tanah). Tetapi dalam analisis keterasingan para tuan tanah tidak dibicarakan dan pada akhir kapitalisme para tuan tanah akan menjadi sama dengan para pemilik modal. Berangkat dari analisis keterasingan. Keterasingan dalam pekerjaan terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan jatuh dalam 2 kelas sosial yang berlawanan, yaitu kelas buruh dan kelas majikan. Kelas buruh melakukan pekerjaan dengan menjual tenaga kerja kepada kelas pemilik karena tidak memiliki tempat dan sarana kerja, sedang kelas majikan adalah para pemilik alat-alat kerja: pabrik, mesin, dst. Jadi, dalam sistem produksi kapitalis 2 kelas tersebut saling berhadapan, meski keduanya juga saling membutuhkan. Buruh dapat bekerja bila pemilik membuka tempat kerja baginya dan majikan beruntung apabila ada buruh yang mengerjakan alat-alat kerjanya. Tetapi saling ketergantungan itu tidak seimbang. Buruh tidak dapat hidup kalau tidak bekerja, sebaliknya, meskipun si pemilik tidak menjalankan alat-alat kerjanya, mereka msih bisa bertahan lebih lama. Mereka dapat hidup dari modal yang dikumpulkannya. Dengan demikian kelas pemilik ialah kelas yang kuat dan para pekerja adalah kelas yang lemah. Dan hubungan antara kedua kelas tersebut pada hakikatnya merupakan hubungan penghisapan atau eksploitasi. Hubungan antara kelas atas dan kelas bawah juga merupakan hubungan kekuasaan: yang satu berkuasa atas yang lain - kelas atas berkuasa atas kelas bawah. Pertentangan antara kedua kelas bukan karena buruh iri atau para majikan egois, melainkan karena kepentingan dua kelas itu secara objektif berlawanan satu sama lain. Bagi Marx, setiap kelas sosial bertindak sesuai dengan kepentingannya dan kepentingannya itu ditentukan oleh situasi yang objektif. Di sini majikan mengusahakan laba sebanyak mungkin, dan sebaliknya buruh ingin upah sebanyak-banyaknya. Ada beberapa unsur yang harus diperhatikan: (1) tampak betapa besar peran struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas di mana pertentangan antara buruh dan majikan bersifat objektif, (2) karena kepentingan yang secara objektif bertentangan, maka keduanya mengambil sikap dasar yang berbeda: kelas pemilik/kelas atas bersikap konservatif dan kelas buruh/bawah bersikap progresif dan revolusioner, (3) bagi Marx, setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi. Itulah sebabnya mengapa Marxisme menentang semua usaha untuk memperdamaikan kelas-kelas yang saling bertentangan karena hal itu sama sekali tidak mungkin. 

Ajaran nilai-lebih dan Kehancuran Kapitalisme 
Fetisime Komoditas 
Di dalam sistem kapitalis terdapat sesuatu yang “gaib”. Kegaiban komoditas itu terletak pada kenyataan bahwa barang-barang yang berlainan dapat dinilai dengan harga yang sama. Misalnya, sebuah televisi sama harganya dengan seekor kambing, atau sama dengan lima puluh buku, dst. Sepertinya ada sesuatu yang tidak tampak yang “melampaui” perbedaan yang nampak secara inderawi, yaitu nilainya sebagai komoditas. Maka, nilai komoditas itu menjadi semacam kenyataan supra-empiris yang disebutnya “fetish“. Lalu darimana nilai lebih dari komoditas itu berasal? Jumlah kerja yang dilakukan pekerja berubah menjadi nilai tukar produknya. Harga komoditas itu adalah “endapan kerja”. Menurut Marx, hukum ekonomi kapitalis adalah ekuivalensi. Jadi, harga bahan baku + harga tenaga kerja = harga komoditas. Lalu, darimana pemilik modal mendapat keuntungan? Marx menunjukkan bahwa nilai lebih ini diperoleh karena pekerja bekerja melampaui waktu yang wajar. Kelebihan waktu itu adalah kerja tanpa upah. Jadi, keuntungan itu diperolah dari kerja tanpa upah itu. Di sini, Marx menemukan sifat eksploitatif dari kapitalisme, karena, menurutnya, proses akumulasi modal adalah proses perampasan tenaga lebih kaum buruh yang tidak dibayar dan menjadi keuntungan kaum kapitalis. Ajaran kehancuran kapitalisme adalah ajaran yang sangat deterministis. Di kemudian hari ajaran itu disebut ekonomisme, yaitu ajaran bahwa perkembngan sejarah ditentukan hukum-hukum ekonomi yang bersifat niscaya. Menurut analisis Marx, proses eksploitasi kaum buruh melalui nilai lebih akan menghasilkan krisis-krisis yang niscaya. Krisis disebabkan oleh kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan besar menelan perusahaan kecil, sampai akhirnya jumlah kaum kapitalis menjadi semakin mengecil dan pemiskinan massa semakin meningkat. Cepat atau lambat, namun niscaya, pertumbuhan kapitalisme itu secara otomatis akan menumbuhkan kesadaran revolusioner dari pihak massa yang dipermiskin dan dieksploitasi. Pengangguran bertambah, inflasi membumbung, produksi tak terjual, dst., dan sistem kapitalis akan menghancurkan dirinya sendiri. Itulah saat munculnya masyarakat sosialis, yaitu masyarakat tanpa kelas yang dalam bayangan Marx muncul bagaikan matahari, bersifat otomatis[3]. 

Evaluasi terhadap Materialisme Historis 
Pandangan materialism historis merupakan dasar klaim Karl Marx bahwa sosialismenya adalah ilmiah. Marx merasa telah menghilangkan segala kesewenangan dan unsure kebetulan sebagai factor penentu sejarah, karena ia menghilangkan kebebasan kehendak manusia sebagai factor perubahan masyarakat yang relevan. Semuanya akhirnya ditentukan oleh suatu factor objektif, yaitu tenaga tenaga produktif. Diantara tenaga tenaga produktif, unsure alat kerja adalah yang paling pertama. Dan pemakaian alat kerja ditentukan oleh bentuknya yang objektif, bukan oleh kehendak orang lain. Begitu pula penyempurnaan dan pengembangan alat alat kerja baru bukan karena selera orang, melainkan karena tekanan objektif kebutuhan untuk mempermudah usaha untuk menjamin kebutuhan hidup. Tenaga tenaga produktif itu menentukan hubungan hubungan produksi dan hubungan hubungan itu menentukan pelembagaan politis masyarakat serta struktur legitimasi ideologis. Dengan demikian perkembangan sejarah sampai sekarang dapat dijelaskan secara ilmiah dan pasti, dan arah perkembangan masyarakat di masa depan dapat dikalkulasi berdasarkan analisis system ekonomi yang terdapat pada saat sekarang. Karena itu, tidak salahlah mereka yang menganggap teori inti Marx sebagai deterministic: kebebasan manusia tidak memainkan peranan, sejarah ditentukan oleh factor factor ekonomis objektif.[4] Meskipun Marx adalah seorang pemikir yang penting, ia mendekati banyak soal secara berat sebelah, hanya dalam perspektif social ekonomis. Yang positif dalam pemikiran Marx ialah bahwa ia telah membuka kedok dari banyak system nilai yang disebut suci dan sopan, dan yang memang sama sekali tidak suci dan sopan. Marx membersihkan masyarakat dan gereja gereja dari banyak hal yang diberi cap “kehendak Tuhan”, tetapi yang sebetulnya hanya bersifat ketidakadilan yang sama sekali tidak dikehendaki Tuhan. Marx member arah yang lebih praktis terhadap filsafat, dan banyak tuntutan dari “manifesto komunis” yang dalam abad yang lalu masih kelihatan mustahil, sekarang sudah diterima secara umum sebagai hak hak asasi manusia di banyak Negara.[5] 

Daftar Pustaka 
Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986 Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. 
Magnis-Suseno, Frans. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. 
Magnis-Suseno, Frans. Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme. Jakarta: Diktat Kuliah Marxisme dan Komunisme, 1977.
 ________________________________________ 
[1] Frans Magnis-Suseno, Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme, (Jakarta: Diktat kuliah Marxisme dan Komunisme STF DRIYARKARA, 1977) hlm. 24 - 25.
[2] Frans Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) hlm. 135-147. 
[3] F. Budi Hardiman. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 242-244. 
[4] Franz Magnis-Suseno. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 151-152
 [5] Harry Hamersma. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986, hlm. 73-74. 
Essay ini di copy paste dari : http://filsafat.kompasiana.com/2011/06/07