Oleh :
Febby Febriyandi
YS
Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional
Pendahuluan
Beberapa waktu lalu saya menerima kiriman link situs berita online dari seorang sahabat dengan ditambah pertanyaan: “apakah
bisa?”. Membaca link tersebut membuat
saya penasaran dan segera mengunjungi laman dimaksud. Benar saja, pada tanggal
16 September 2021 sijorikepri.com menurunkan berita bertajuk “Bupati Lingga :
Produksi Tudung Manto Tanpa Izin Pemkab Lingga Bisa Dipidana”. Dalam link
berita itu Sijorikepri.com mengabarkan bahwa Pemkab Lingga telah menerima
penghargaan dari Kemenkumham berupa sertifikat kekayaan intelektual komunal,
salah satunya adalah tudung manto. Penghargaan tersebut diberikan kepada Pemkab
Lingga terkait perlindundungan Pengetahuan Tradisional. Dalam berita itu juga
disebutkan bahwa Kabupaten Lingga sepenuhnya memiliki hak cipta atas Tudung
Manto. Dalam berita tersebut Bupati Lingga menegaskan bahwa produksi tudung manto
oleh pihak lain merupakan tindakan pidana. Oleh karena itu Bupati Nizar
menginginkan pihak lain boleh turut mempromosikan tudung manto dengan terlebih
dahulu membuat perjanjian kerjasama yang saling menguntungkan dengan Pemkab
Lingga. Tidak hanya tudung manto, Pemkab Lingga telah memegang 109 hak cipta.
59 hak cipta pengetahuan tradisional, dan 50 hak cipta ekspresi budaya
tradisional.
Sebagai pembanding saya mencari berita terkait di
situs lainnya. Sijoritoday.com dan TribunBatam.id menerbitkan berita yang sama
pada tanggal 14 September 2021. Menariknya, saya justru menemukan
Transkepri.com menerbitkan berita yang sama tetapi jauh lebih awal yaitu pada 9
April 2021. Berita bertajuk “Mengenal Tudung Manto Asli Lingga dan Keberadaanya
Sudah Dipatenkan” ini memberikan informasi lebih rinci terkait pendaftaran Hak
Kekayaan Intelektual tudung manto. Transkepri.com menginformasikan bahwa tudung
manto didaftarkan sejak 22 Januari 2010 dengan nomor permohonan 000201000271.
Judul ciptaan Tudung Manto, dengan jenis ciptaan seni motif. Pemegang Hak Cipta
adalah Ibu Syarifah Faridah sebagai pencipta.
Berita tentang HKI tudung manto dan larangan memproduksinya
tanpa izin Pemkab Lingga membuat “kehebohan” di kalangan peminat kerajinan
tudung manto yang ada di luar Lingga. Sebagaimana diketahui, Dinas Kebudayaan
Provinsi Kepri pernah melaksanakan pelatihan pembuatan tudung manto di Kota
Tanjungpinang pada tahun 2018. Selain itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Batam juga membuat kegiatan pengembangan tudung manto di Kota Batam untuk
memperkenalkan tudung manto sebagai warisan budaya Melayu Kepulauan Riau. Berbagai
kegiatan ini kemudian mendorong lahirnya para perajin tudung manto di luar
wilayah Kabupaten Lingga. Dengan adanya penetapan tudung manto sebagai HKI
masyarakat Lingga, para perajin di luar wilayah Lingga khawatir tidak bisa lagi
membuat tudung manto. Kekhawatiran ini tentu saja sangat beralasan. Karena itu
saya kira menarik untuk mendiskusikan pertanyaan: apakah hak kekayaan
intelektual tudung manto, yang telah diakui sebagai warisan budaya masyarakat
Melayu Kepulauan Riau, dapat diberikan kepada salah satu kabupaten yang ada di
Provinsi Kepulauan Riau?. Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya kita harus
mengacu kepada UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, UU No. 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis, dan UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan
Kebudayaan, serta memahami kembali akar tradisi tudung manto dalam masyarakat
Melayu secara umum.
Tudung
Manto Sebagai Objek Hak Kekayaan Intelektual
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak
Cipta diatur pemberian hak cipta bagi ekspresi budaya tradisional. Pasal 38
ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan bahwa Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisonal
dipegang oleh negara. Saya menduga pasal inilah yang dijadikan dasar oleh Pemkab
Lingga dalam mengakui kepemilikan atas hak kekayaan intelektual tudung manto. Jika
demikian maka kita harus memastikan apakah benar Pemkab Lingga telah
mengantongi hak cipta tudung manto sebagai ekspresi budaya tradisional. Untuk
mengetahui hal ini yang dapat saya lakukan adalah mengunjungi Pusat Data
Nasional Kekayaan Intelektual Komunal Indonesia[1].
Di sana saya tidak menemukan data tentang tudung manto. Justru yang saya
temukan adalah : Sagu Lingga, Kue Intan Terambo, Cerita Asal Mula Kampung
Nerekeh, Tradisi Malam Tujuh Likur, Tepuk Tepung Tawar, Adat Perkawinan Melayu
Lingga, Maulud Nabi Muhammad SAW, Houl Jamak, Gasing Lingga, Silat Pengantin,
Ratib Saman, Berdah, Tradisi Talam Dua Muka, Sayriful Anam, Mandi Syafar,
Ambong Gila dan Cerita Patahnya Gunung Daik yang telah ditetapkan sebagai
Kekayaan Intelektual Komunal yang berasal dari Kepulauan Riau.
Tidak puas dengan temuan tersebut, saya kemudian menelusuri
pangkalan data kekayaan intelektual milik Kemenkumham[2]. Di
pangkalan data ini saya menemukan bahwa hak cipta yang telah ditetapkan
terhadap tudung manto bukanlah hak kekayaan intelektual komunal, tetapi hak
cipta untuk karya perorangan. Selain itu, hak cipta yang ditetapkan bukanlah
hak terhadap pengetahuan serta kemahiran membuat kain tudung dengan hiasan
tekat kelingkan, melainkan hak cipta terhadap bentuk motif tertentu yang
digunakan sebagai hiasan tudung manto. Ketika saya amati foto motif yang
ditampilkan dalam pangkalan data
tersebut saya melihat beberapa motif yaitu: bunga kaki bawah, bunga pojok,
bunga tabur, dan mutu. Namun tidak ada penjelasan motif mana yang hak ciptanya
diberikan kepada Ibu Sarifah Faridah sebagai pencipta. Apakah semua motif
tersebut atau salah satu saja. Yang sangat disayangkan, meskipun telah
disebutkan jenis ciptaan yang diberikan hak ciptanya adalah jenis motif, namun nama
hak cipta yang didaftarkan bukan menggunakan nama motif yang mendapatkan hak
cipta, tetapi menggunakan nama “Tudong Manto”. Saya menduga hal inilah yang
kemudian menyebabkan Pemkab Lingga berkesimpulan telah mendapatkan hak cipta
atas tudung manto.
Pendaftaran hak cipta atas satu motif hias tudung
manto sebagaimana yang telah dilakukan Ibu Syarifah Faridah tentu saja boleh
dilakukan karena merupakan amanat undang-undang untuk melindungi karya anak
bangsa. Hal serupa juga bisa dilakukan oleh para perajin tudung manto di Lingga
seperti Ibu Jamisah, Norhaizan, Emi dan Lina terhadap motif hias tudung manto
ciptaan mereka, baik secara individu maupun bersama-sama. Undang-Undang Hak
Cipta, pasal 38 Ayat (2) berbunyi negara wajib menginventarisasi, menjaga dan
memelihara ekspresi budaya tradisional. Namun demikian pemberian hak cipta
sebagai hak ekslusif terhadap ekspresi budaya tradisional kepada seseorang,
sekelompok orang atau bahkan terhadap pemerintah daerah perlu dilakukan dengan
sangat hati-hati, mengingat rumitnya persoalan kepemilikan warisan budaya milik
bersama ini.
Tudung
Manto Sebagai Warisan Budaya Bersama
Beragam kajian terhadap kain tudung manto menunjukkan
bahwa produk ini lahir dari interaksi orang-orang Melayu dengan berbagai bangsa
sejak zaman dahulu. Penggunaan kelingkan dalam tradisi pakaian orang-orang di
Semenanjung Melayu diperkirakan telah dimulai sejak abad ke-10 (Mohamed, 1995:
112). Namun tudung manto, atau yang dikenal di Semenanjung Melayu dengan nama
tudung kelingkan, bukanlah cipta reka orang Melayu sendiri. Rusli dan Norwani
(2015 : 627); Kamil Salem (2006) menyebut kemahiran menekat kain menggunakan
kelingkan diinspirasi dan dimodifikasi dari tradisi orang-orang Cina atau
India. Sedangkan menurut Johnstone, Siti Zainon dan Maxwell, teknik sulaman
pada tudung kelingkan ini berasal dari Turki Utsmaniyah. Ini dibuktikan dengan
kemiripan antara teknik sulaman tudung kelingkan dengan selendang Yemeni dan kain kerchief
yang digunakan sebagai aksesoris
pengantin perempuan di Anatolia Turki (Dalam Sarkawi dan Norhayati, 2016 :
47-50).
Kemahiran membuat kain tudung kelingkan serta tradisi
memakainya kemudian menyebar luas dalam wilayah bangsa Melayu. Saat ini
setidaknya masih terdapat para perajin tudung kelingkan di delapan tempat di
Indonesia dan Malaysia dengan penyebutan yang berbeda-beda. Di Malaysia perajin
kain tudung kelingkan masih terdapat di Sarawak dengan nama tudung keringkam,
di Selangor dengan nama selendang kelengkan, di Terengganu dengan nama
selendang terekam dan di Kelantan dengan nama selendang kelingkan. Di Indonesia
tudung kelingkan ini terdapat di Palembang dengan sebutan selendang Misfa. Di
Pontianak dan Ketapang dengan nama tudung kelengkang, dan di Lingga dengan nama
tudung manto (Dalam Febriyandi YS, 2018: 43). Delapan wilayah bangsa Melayu
yang saat ini masih terdapat perajin kain tudung kelingkan tentu saja tidak
dapat menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa kain tudung ini hanya dikenal di
delapan wilayah tersebut. Berbagai ahli menyebut bahwa pada zaman dahulu keberadaan
kain ini tersebar di hampir semua wilayah bangsa Melayu[3],
dengan pengembangan kreasi yang berbeda-beda. Eksistensi tudung kelingkan di
berbagai wilayah bangsa Melayu merupakan bukti bahwa kemahiran membuat kain
tudung kelingkan adalah warisan budaya bersama bangsa Melayu. Oleh karena itu
akan menjadi aneh jika hak cipta terhadap pengetahuan dan kemahiran membuatnya
dipegang oleh satu kabupaten tertentu, dan masyarakat Melayu yang lain harus
meminta izin jika ingin membuat kain tudung kelingkan ini.
Eksistensi perajin tudung manto di Lingga hingga hari
ini tentunya belum dapat menjadi dasar klaim bahwa, untuk wilayah Kepulauan
Riau, tradisi tudung kelingkan hanya terdapat di wilayah Lingga saja. Jika kita
menyusun argumen bahwa keberadaan kain tudung kelingkan di Lingga terkait
dengan posisi Daik sebagai pusat kerajaan pada masa lalu, maka di daerah lain
yang juga pernah menjadi pusat kerajaan Johor Riau Lingga, seperti halnya
Tanjungpinang, tentunya juga pernah berkembang kemahiran membuat kain tudung
kelingkan.
Salah seorang warga Pulau Penyengat yang menjadi
peserta pelatihan tudung manto tahun 2018 di Lembaga Adat Kota Tanjungpinang
mengatakan bahwa ibunya memiliki kain tudung manto peninggalan buyutnya yang
hidup pada masa kerajaan Lingga Riau masih berkuasa. Memori kolektif seperti
ini memberikan keterangan kepada kita bahwa kain tudung kelingkan ini juga menjadi
tradisi di daerah lain dalam wilayah kekuasaan kerajaan Riau-Lingga, dengan
Daik sebagai pusatnya. Oleh karena itu perlu sangat hati-hati dalam memberikan
hak cipta terhadap warisan budaya milik bersama ini. Sikap kehati-hatian ini
telah pula ditunjukkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada saat
menetapkan tudung manto sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada 20
Oktober 2015. Dalam penetapan tersebut tudung manto tidak ditegaskan sebagai
warisan budaya dari Lingga, tetapi dari wilayah Kepulauan Riau.
Peluang
Hak Cipta Tudung Manto Bagi Kabupaten Lingga
Sumbangsih masyarakat dan Pemerintah Daerah Lingga
terhadap pengembangan tradisi tudung kelingkan atau tudung manto sangat luar
biasa dan saya kira patut mendapatkan apresiasi, termasuk dalam bentuk
pemberian hak cipta. Namun perlu dipahami bahwa pemberian hak cipta harus
dilakukan dengan memperhatikan akar tradisi tudung manto itu sendiri. Sebagai
warisan budaya yang tersebar dalam wilayah yang sangat luas, tentu tidak tepat
jika hak cipta terhadap kemahiran membuat produk kain tudung kelingkan hanya
diberikan kepada Pemkab Lingga. Hal tersebut juga tidak sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam pasal 4
disebutkan bahwa pemajuan kebudayaan diantaranya bertujuan untuk memperkaya
keberagaman budaya, meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan melestarikan warisan budaya bangsa. Kemudian pasal 32
ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat, Daerah, dan /atau setiap orang
dapat melakukan pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan. Pasal ini dapat kita
tafsirkan sebagai jaminan bagi setiap orang untuk mendapatkan manfaat ekonomi
dari objek pemajuan kebudayaan yang dalam hal ini merupakan warisan budaya
bersama.
Pemerintah dan masyarakat Lingga masih bisa mendapatkan hak cipta dari berbagai
bentuk motif hias yang dimiliki oleh para perajin tudung manto di Lingga.
Selain itu, masyarakat Lingga juga masih bisa mendapatkan hak atas merek
“tudung manto” untuk menyebut produk kerajinan tudung kelingkan asal Lingga,
mengingat penamaan tudung manto kemungkinan merupakan khas daerah Lingga. Hal
ini merujuk kepada asal penamaan tudung manto dari kata mentok yaitu sebuah
kampung di Kelurahan Daik yang merupakan sentra perajin tudung manto pada masa
kerajaan Riau Lingga (Febriyandi YS, 2018 : 51). Pemberian hak cipta terhadap
motif ini akan mendorong perajin tudung manto di Lingga untuk mengembangkan
motif-motif baru dimasa yang akan datang. Sedangkan pemberian hak ekslusif
terhadap merek “Tudung Manto Lingga” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, akan memberikan
manfaat ekonomi kepada perajin tudung manto di Lingga.
Penutup
Kita dapat melihat upaya Pemkab Lingga untuk
mendapatkan hak kekayaan intelektual tudung manto didorong oleh keinginan
membangun identitas Lingga sebagai pemilik tradisi kain tudung manto serta
keinginan mendapatkan manfaat ekonomi dari perkembangan kerajinan tudung manto
kedepan. Namun perlu pula difikirkan bahwa kepopuleran yang saat ini berhasil
diraih oleh tudung manto justru ditopang oleh penerimaan masyarakat Kepulauan
Riau terhadap tudung manto. Sehingga tudung manto telah diterima sebagai
identitas Melayu Kepulauan Riau. Dari tahun 2010, 2017 dan 2018 saya melakukan
pembaharuan data terhadap kajian tudung manto, saya menemukan bahwa pasar
terbesar produk kerajinan tudung manto justru berasal dari luar Lingga.
Tingginya permintaan terhadap produk tudung manto dari luar Lingga ditopang
oleh wacana tudung manto sebagai identitas masyarakat Melayu Kepulauan Riau.
Saya khawatir dengan upaya penguasaan hak cipta tudung manto ini wacana
tersebut menjadi pudar, sehingga masyarakat di luar Lingga tidak lagi merasa
memiliki tradisi tudung manto, dan pada akhirnya kepopuleran kain tudung manto
akan kembali surut dan mengecil ke dala wilayah Lingga sendiri.
Saya sangat memahami ada kekhawatiran bagi masyarakat
dan Pemerintah Lingga, jika tudung manto diproduksi di luar Lingga maka
orang-orang dari luar Lingga tidak akan datang jauh-jauh ke Lingga untuk
memesan kain tudung manto. Justru disinilah perlunya upaya pengembangan produk
tudung manto oleh perajin di Lingga, sehingga tercipta produk tudung manto yang
benar-benar khas Lingga. Dalam hal ini tentu juga sangat diperlukan kerjasama
dan komunikasi antar Pemerintah Daerah dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau,
sehingga tradisi tudung manto ini dapat berkembang secara merata di semua
daerah.
Referensi
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan
Febriyandi
YS, Febby.2018. Tudung Manto: Transformasi Modal Kultural ke Modal Ekonomi dan
Simbolik Dalam Masyarakat Kelurahan Daik Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan
Riau. Tesis. Yogyakarta: Pasca Sarjana Antropologi, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Mohamed,
Maznah. 1995. “The Origins Of Weaving Centres In The MalayPeninsula”. Journal of the Malaysian Branch of The Royal
Asiatic Society, Vol.68, No.1 (268), pp. 91-118.
Rusli,
Rose Dahlina & Norwani Md. Nawawi. 2015. “Uniqueness of Malay Traditional
Embroidery : Kelingkan”. Proceeedings
of the 2nd International Colloquium of Art and Design Education Research
(i-CADER 2015).
Saleem,
Kamil. 2006. “The Sarawakiana Series, Tudung
Keringkam”. Kuching : Pustaka Negeri
Sarawak.
Sarkawi,
Suhana & Norhayati Ab. Rahman. 2014. “Selayah Keringkam dan Selayah manto :
Sulam Budaya Melayu Serawak (Malaysia) dan Melayu Daik (Indonesia)”. Makalah dalam Persidangan Kebangsaan
Kecemerlangan Melayu. Dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kecemerlangan Melayu,
UKML. Di Hotel Armada Petaling Jaya Malaysia, 2-3 Desember 2014.
[1] http://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/jenis/1/ekspresi-budaya-tradisional?prov_id=21&q=
[2] https://pdki-indonesia.dgip.go.id/detail/C00201000271?type=copyright&keyword=tudong.
[3] Lihat : Rusli dan Norwani (2015);
Kamil Salem (2006); Sarkawi dan Norhayati (2014 ; 2016).
* Artikel ini ditulis untuk siaran Radio Pandawa Tanjungpinang, Oktober 2021