Selamat Datang

Selamat membaca dan mengutip, jangan menjadi plagiat
Bagi pemilik tulisan harap kunjungi "surat untuk penulis"

Selasa, 18 Oktober 2011

Ekspansi Budaya: Lepas Landas Kebudayaan Indonesia



Oleh: Sidiq Maulana Muda

“Annyong haseyo!”
Beberapa tahun terakhir, telinga dan mata saya menjadi akrab dengan kata
sapaan itu, yang kurang lebih berarti “Hai, apa kabar!” dalam bahasa Korea. Banyak
teman saya yang menggunakan kata itu sejak mereka menonton film-film drama Korea
yang diputar di televisi. Selain itu banyak juga tambahan kosakata baru seperti
“Kamsahamnida,” (terima kasih), “Sarang haeyo,” (I love you) dan sebagainya. Temanteman
saya (terutama yang perempuan) kerap sibuk membahas aktor-aktor drama Korea
yang katanya lucu dan ganteng, menghafal lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula
yang keranjingan membahas semua hal yang berbau Korea mulai dari masakan, pakaian,
bahasa, dan sebagainya.
Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses memasok produkproduk
budayanya di pasar global. Gelombang kebudayaan modern Korea atau yang
sering disebut Hallyu sejak tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan
kawasan lainnya. Di Indonesia sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan sejak tahun
2000-an ketika film-film Korea banyak diputar di televisi nasional dan mendapat
sambutan hangat dari para pemirsa. Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia
juga sudah diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu
saja Amerika. Maka berbagai respon pun bermunculan menanggapi terjangan budaya
asing di negeri kita.
Selama ini, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk waspada
terhadap globalisasi dan ekspansi budaya global. “Hati-hati terhadap bahaya
westernisasi!”, “Lindungi generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!”. Seruan
semacam itu pada dasarnya tidak salah, karena merupakan suatu usaha untuk
mempertahankan budaya dan identitas kita. Sosiolog Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa
ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup bangsa
pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya arsitektur, jenis makanan,
bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan. Ciri-ciri itu sangat relevan dengan negaranegara
dunia ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatung-katung dalam peta
kebudayaan global. Ya, kita sedang kalah. Tapi resistensi dan sikap-sikap defensif yang
cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka atau tidak
suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang berlebihan terhadap
ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior, yang
selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Maka strategi
bertahan yang paling tepat adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus
globalisasi itu sendiri.

Merancang Gelombang Budaya Indonesia
Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat
fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat
(terutama Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri
budayanya seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan film-film Amerika di
seluruh dunia. Namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel
dan berubah-ubah, budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana
pun. Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya kelas-kelas yoga di New York dan
restoran sushi di Kuwait. Peran media massa dalam menyebarkan informasi menjadikan
proses ini makin cepat, dengan persinggungan antar budaya yang mengalir deras
melahirkan variasi kebudayaan yang sangat beragam. Saya memakai baju koko dan
celana jeans, duduk di kantin memesan sepiring nasi Hainan, sambil membaca komik
Doraemon, sesekali meng-update status facebook serta mendengarkan lagu ST12 yang
disetel ibu kantin. Terus terang saat ini saya tak mampu berbuat banyak selain berusaha
menikmatinya. Dalam situasi seperti ini, pilihannya hanya mempengaruhi dan
dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa kita tidak ikut
memberi pengaruh? Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius untuk terjun dalam
globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia.
Yang harus kita tentukan mula-mula ialah definisi kebudayaan kita sendiri. Apa itu
budaya Indonesia? Batik, angklung, wayang, mandau, tari saman, gotong royong,
paguyuban, nagari, apa pun itu, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi maupun
kontemporer, baik budaya kongkrit maupun abstrak. Sebelum mulai menyebarkan
budaya, kita perlu mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan
dengan masalah hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya. Budayawan
Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam budaya
yakni perilaku 'memiliki' sekaligus 'menyebarkan'. Paradoks ini kita temui tatkala terjadi
saling klaim atas suatu budaya seperti yang kita alami akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini
menjadi satu kesulitan tersendiri, karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap
luasnya penyebaran budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak milik kita dirampas.
Kebudayaan Indonesia pun nyatanya sangat banyak yang merupakan pengaruh
kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi dalam
festival budaya Indonesia? Saya juga tak ingin rakyat India mendemo kita karena
memainkan lakon-lakon Ramayana. Maka inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan
kita penting untuk dilakukan, namun dengan tetap meniscayakan asimilasi dan
akulturasi. Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada selayaknya dimaksimalkan.
Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya kita perlu
menggegas industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi,
maka kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya saing dan
kemampuan survivalnya, memberi imbas positif bagi kesejahteraan masyarakat serta
menjadi jalan menuju ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya
mendorong ekspansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar yang
besar, dan pasar dari industri budaya adalah orang-orang yang berminat terhadap
budaya tersebut. Maka kesuksesan industri budaya berbanding lurus dengan kesuksesan
ekspansi budaya. Setiap kali industri tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga
telah melakukan ekspansi budaya. Ada pun ekspansi budaya membutuhkan produkproduk
yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi ekspor yang mampu membawa
nama Indonesia ke seluruh dunia.
Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode penyebaran yang
tepat. Meski pun kita telah melakukan industrialisasi batik, namun permintaan batik di
luar negeri tidak akan serta merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu
dengan produk batik. Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya
kita kepada pasar luar negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah sulit.
Menurut Turner (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik di
mana keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat.
Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh media massa gencar
mengkampanyekannya. Begitu pula media massa hidup dengan cara mengekspos
budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Maka kita harus memprioritaskan terlebih
dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan komunikasi massa. Saya memilih
industri film sebagai langkah awal ekspansi budaya secara serius. Film yang saya maksud
meliputi film layar lebar dan sinetron di televisi. Format audio visual memungkinkan film
untuk menarik perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa.
Alur cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap maksud film dengan cara
yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan yang
tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda.
Film merupakan whole package karena mampu mengakomodasi unsur-unsur
budaya lain seperti bahasa, musik, pakaian, adat, kebiasaan, nilai-nilai dan lain
sebagainya. Misalnya suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat
Indonesia, para pemerannya berdialog dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan
Indonesia, memamerkan alam dan budaya Indonesia, dan sebagainya. Bagi negaranegara
yang sama sekali asing dengan Indonesia, film akan menjadi ajang perkenalan
sekaligus promosi budaya. Sedangkan perbedaan bahasa dapat diatasi dengan subtitle
dan dubbing. Tugas dari film-film ini adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negaranegara
tujuan, karena budaya pop menjanjikan suatu kelas fanatik yang sangat setia
yaitu fans. Selain sebagai konsumen utama produk-produk budaya kita, mereka lah yang
juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya kita di samping media massa
seperti televisi, majalah, dan internet. Saya ingin mengambil contoh, di kampus saya
terdapat sebuah klub yang membahas semua hal tentang Jepang. Mereka awalnya
adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Jepang seperti komik, anime, dan Jdorama.
Setiap bulan mereka mengadakan kegiatan membahas bagian tertentu dari
budaya Jepang seperti festivalnya, masakannya, permainannya, sampai hantunya. Dan
tentu saja mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk melakukan semua itu.
Maka potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar
produk budaya yang digandrunginya kemudian mengarahkannya pada produk lain.
Film sebagai perintis ekspansi memiliki efek domino yang besar karena
kesuksesannya akan membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya. Industri perfilman Indonesia yang tengah bangkit saat ini dapat diandalkan
untuk memimpin ekspansi budaya kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia
sukses di negara-negara tujuan, maka hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi
pemasaran produk-produk budaya lainnya. Pemerintah dituntut aktif untuk mengawal,
melindungi, serta menggunakan lobinya untuk memuluskan jalan bagi produk-produk
budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu menjangkau
kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hingga dunia Barat.
Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh perfilman telah berhasil
meraih pasar dan menumbuhkan minat terhadap budaya Indonesia di manca negara,
maka tugas berikutnya adalah memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah
infiltrasi menjadi suatu gelombang budaya Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produkproduk
budaya lainnya seperti musik, literatur, hingga fashion akan berperan penting
untuk menarik dan mengikat minat budaya itu lebih jauh dan lebih kokoh lagi. Jika
kelompok-kelompok fans telah terbentuk di manca negara, maka para selebriti Indonesia
akan meraih momentumnya untuk go international. Trend-trend yang berlaku di Indonesia
akan turut digandrungi pula di negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita.
Ini bisa diiringi pula dengan masuknya produk-produk lain seperti beragam manufaktur
yang membawa nama dan gaya hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju
hegemoni budaya Indonesia. Dan jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat budaya
Indonesia berkibar di mana-mana.

Sejumlah PR
Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan yang dilematis. Sifat industri yang
cenderung berorientasi pasar dikhawatirkan justru akan menurunkan kualitas budaya,
karena menyerahkannya pada selera pasar yang belum tentu bermutu. Hal ini bisa kita
saksikan misalnya pada dunia sinetron kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang
sifatnya membodohi bahkan merusak seperti ini memang meresahkan. Oleh karena itu,
pemerintah harus campur tangan dengan mengontrol kualitas produk-produk budaya
sebagai bentuk tanggung jawab sosial budaya sekaligus strategi pencitraan Indonesia di
mata dunia. Produk-produk budaya yang berorientasi ekspor akan membawa misi budaya
kita ke seluruh dunia, sehingga patut diberi perhatian. Jangan sampai sinetron dan film-
Dokumentasi & Inventarisasi
Budaya
Penting untuk melindungi
kekayaan budaya Indonesia
Industrialisasi Budaya
Massifikasi produk-produk
budaya dan usaha meraih pangsa
pasar yang luas
Ekspansi Budaya
Menuju pasar luar negeri, usaha-usaha
menarik minat terhadap budaya Indonesia
Menuju Hegemoni Budaya
Ekspansi budaya yang berkelanjutan serta
mengokohkan pasar luar negeri; gelombang
budaya Indonesia di seluruh dunia
Film sebagai perintis pasar luar
negeri, menumbuhkan minat dan
adiksi budaya Indonesia
film sampah bisa lolos ekspor. Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas produk,
maka pemerintah pun wajib mengeluarkan kebijakan yang memudahkan sektor industri
budaya kita. Beban pajak yang tinggi yang selama ini dikenakan kepada produk dan
aktivitas kebudayaan harus dikurangi, atau pengalokasiannya ditujukan secara jelas bagi
perkembangan budaya itu sendiri. Selain itu, pemerintah juga dapat memberlakukan
subsidi silang dengan menggunakan pajak-pajak dari sektor budaya pop untuk
membiayai keberlangsungan higher culture. Kita semua sangat menanti dukungan dan
peran aktif pemerintah.
Kemudian ada hal-hal yang masih mengganjal bagi saya mengenai kebudayaan
kita ini. Sementara kita membicarakan ekspansi budaya, ada ketimpangan yang sangat
nyata dalam perkembangan kebudayaan kita selama beberapa dekade terakhir.
Kebijakan sentralisasi yang dulu diterapkan telah menjadikan Jakarta sebagai satusatunya
episentrum kebudayaan di Indonesia yang memberi pengaruh langsung ke
seluruh negeri. Katakan, apa itu film nasional? Apa itu artis nasional? Apa itu koran
nasional? Apa itu televisi nasional? Bohong, yang ada hanya lah film-film dan artis-artis
Jakarta. Koran-koran dan televisi-televisi Jakarta. Apa itu Monas? Monumen nasional?
Bohong, itu monumen yang ada di emblem Pemda DKI Jakarta.
Mungkin kita perlu mengingat kembali apa itu kebudayaan nasional. Dalam
penjelasan pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 diterangkan bahwa, Kebudayaan
bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia
seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan
bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan,
dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Para penyusun undang-undang ini sadar bahwa masyarakat kita sejak dulu telah
memiliki banyak puncak kebudayaan, bukan hanya satu. Konsep kebangsaan kita unik
karena memayungi ratusan suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang berbeda ke dalam
satu identitas baru yaitu Indonesia. Harus diakui, konsep kebangsaan kita memang
didefinisikan oleh penjajah. Itu menjelaskan mengapa masyarakat Riau harus berbeda
bangsa dengan masyarakat Johor meski mereka berbagi budaya yang sama di masa lalu.
Juga mengapa masyarakat Timor Timur dan Timor Barat harus berbeda bangsa meski
sesama anak Timor. Juga putra-putri Dayak, Papua, dan lainnya yang terbelah oleh batasbatas
teritorial yang dulu dibuat para penjajah dan kini diwariskan dalam bentuk negaranegara
bangsa (nation-states) modern seperti yang kita kenal saat ini.
Oleh karena itu, nasionalisme yang kita miliki sepatutnya dipahami secara bijak.
Bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa yang berbeda, yang dulu
memutuskan untuk bersatu karena kesamaan nasib di bawah penjajah yang sama. Dan
karena nasionalisme kita bertujuan memerdekakan seluruh negeri dari penjajahan, maka
sangat tidak pantas jika Republik Indonesia dijadikan alat penjajahan baru. Bentuk negara
kesatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk mematikan keragaman identitas bangsabangsa
yang kini bernaung dalam rumah Indonesia.
Era reformasi saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk
mematahkan dominasi pusat terhadap kebudayaan nasional. Dalam semangat
desentralisasi saat ini, saya sangat berhadap di masa depan nanti perkembangan
kebudayaan nasional kita akan berlangsung lebih adil. Kita butuh lebih banyak lagi pusatpusat
kebudayaan di seluruh Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Beberapa waktu lalu,
saya mendengar berita tentang peresmian Trans Studio di Makassar. Terlepas dari
sejumlah kritik mengenai efek-efek negatif yang ditimbulkannya, saya cukup salut karena
pembangunan pusat hiburan sebesar itu merupakan suatu bentuk keberanian untuk
berpaling dari Jakarta. Perkembangan kebudayaan nasional secara dinamis yang didorong
oleh desentralisasi akan menghadirkan wajah kebudayaan Indonesia yang lebih integratif
dan representatif. Dan apabila putra-putri Indonesia telah mampu untuk berdiri lebih
setara dari Sabang sampai Merauke, maka kita akan lebih mudah bersatu untuk
melebarkan sayap kebudayaan kita ke manca negara.
Referensi
Ibn Khaldun, Franz Rosenthal, N. J. Dawood (1967), The Muqaddimah: An Introduction To
History, Princeton University Press
http://www.nichibun.ac.jp/research/team_archive/archive20_e.html#e
Turner, Kathleen J (1984) Mass Media and Popular Culture, Chicago: Science Research
Associates

Tidak ada komentar:

Posting Komentar