Sebagai sebuah kerajaan, Gunung Sahilan memiliki aturan adat yang berlaku untuk upacara penobatan seorang Raja. Raja terakhir yang dinobatkan adalah yang mulia Tengku Sulung yang dinobatkan apda Tahun 1930. Tengku Sulung mendapatkan gelar Tengku yang Dipertuan Besar, dan menduduki tahta kerajaan serta menguasai seluruh wilayah rantau jajahan Kampar Kiri.
Untuk menobatkan seorang raja di Kerajaan Gunung Sahilan, harus dilaksanakan sebuah pesta besar dengan memotong beberapa ekor kerbau. Setiap khalifah yang ada di Kampar Kiri harus menyediakan satu ekor kerbau untuk pesta penobatan raja tersebut. Datuk Besar Khalifah Kampar Kiri tidak diwajibkan memberika satu ekor kerbau karena Datuk Besar Khalifah merupakan sipangkalan (pelaksana) upacara penobatan. Selain para khalifah, negeri-negeri yang baru diatur oleh kerajaan dan ditetapkan seorang penghulu sebagai pemimpin, wajib menyediakan satu ekor kerbau. Seperti contoh Negeri Sungai Pagar yang menyumbangkan satu ekor kerbau untuk penobatan yang mulia Tengku Sulung. Adapun persediaan beras, menurut aturan kerajaan disediakan oleh tiga kampung yaitu Mentulik, Si Jawi-jawi dan Simalinyang. Masing-masing kampung wajib menyediakan 300 gantang beras. Khusus untuk makanan Jamuan bagi raja yang sedang di nobatkan, harus disiapkan oleh Datuk majo Indo, Penghulu Negeri Lubuk Cimpur.
Segala kayu bakar untuk memasak, dan bumbu dapur menjadi tanggungjawab Negeri Longung dan Tanjung Pauh. Sedangkan para pekerja seperti tukang masak dan sebagainya dibebankan kepada rakyat Negeri gunung Sahilan. Demikianlah pembagian beban yang ditetapkan oleh adat agar upacara penobatan raja di Gunung Sahilan dapat dilaksanakan dengan mudah karena dilaksanakan secara bergotong royong.
Saat upacara penobata dilaksanakan, gelar raja yang nobat diumumkan oleh Datuk Gadang di Gunung Sahilan. Selain pembagian tanggungan bahan-bahan kebutuhan penobatan, adat penobata raja Gunung Sahilan juga mengatur pantangan atau larangan bagi laki-laki pembesar kerajaan dan pembesar negeri serta untuk rakyat biasa, yaitu :
- Dilarang memakai Petik destar mandi awan atau ikat destar kacung dua helai daun. Karena apda masa dahulu semua orang memakai destar belum ada yang memakai songkok.
- Dilarang memakai baju dua lapis
- Tidak memakai selempang
- Lalu lalang di depan istana raja tanpa keperluan yang penting (berlaku untuk rakyat biasa).
Sedangkan larangan untuk kaum perempuan adalah :
- Dialarang memakai tekuluk atau selendang yang berumbai
- Memakai gelang bertimbal (memakai gelang dikedua tangan).
- Dilarang memakai kain sarung tidak bermuka.
- Memakai kain berwarna kuning, termasuk dalam kehidupan sehari-hari
- Naik ke istana raja, kecuali famili raja dan atau memiliki keperluan yang mendesak.
Dalam adat kerajaan disebutkan, larangan memakai kain kuning memiliki hikmah sebagai berikut :
- Kain kuning merupakan kebesaran raja
- Untuk membedakan rakyat dengan raja.
Selain raja, ada dua orang yang oleh menggunakan bendera kuning, yaitu :
- Datuk Marajo Besar Khalifah Ludai, karena keturunan Datuk Marajo merupakan keturunan Rajo
- Datuk Senjayo di Mentulik. Walaupun Datuk bersangkutan bukan keturunan raja, namun beliau diberi izin oleh raja.
Dalam perhelatan tersebut, para penghulu di Kampar harus mengenakan pakain kebesaran penghulu, yaitu baju hitam, celana hitam, desatar hitam dan memakain selempang serta keris. Diluar acara nobat raja pakaian ini dipakai untuk : Menghadap Raja, menghadiri kerapatan adat, menghadiri acara adat, Hari Raya dan hari besar islam, raja atau keluarganya meninggal dunia. Untuk menghadap raja hendaklah menghadap sesuai adap, yaitu dengan menyusun jari tangan, berlutut dan menundukkan kepala. Jika berucap kepada raja, diwajibkan berucap dengan sopan, menggunakan patik.
Adat Nobat raja di Gunung Sahilan merupakan warisan nenek moyang masyarakat Gunung Sahilan. Sejak berakhirnya kekuasaan Raja terakhir yaitu Tengku Sulung, masyarakat Gunung Sahilan tidak pernah lagi melakukan upacara nobat, sehingga adat nobat raja menjadi pengetahua langka. selain itu, banyak aturan adat yang tidak dipatuhi karena tidak terdapat lagi kekuasaan raja yang memberikan sanksi. Beruntung pada tanggal 13 Agustus 1939, Tengku Haji Ibrahim menuliskan naskah mengenai adat kerajaan yang pernah berlaku di Gunung Sahilan. Tulisan beliau tersebut disusun oleh A. M. Muhammad Isa, dan di print beberapa bulan setelah itu. Sejak saat itu, aturan adat raja di gunung Sahilan hanya tinggal kenangan dalam lembar-lembar terlupakan.
Dear Sir; I am reasearcher kerajaan2 Indonesia and Iam interested in all the kerajaan2 of it.Now Imake an encycloipedia for 2016 of all the ca. 300 kerajaan2 of Indonesia. Maybe we can exchange info.I am espacially also interested in the stituation of the dynasties between 1946 and 2015. Thank you.
BalasHapusSalam hormat:
DP Tick gRMk
secr. Pusat Dokumentasi Kerajaan2 diI Indonesia "Pusaka"
http://kerajaan-indonesia.blogspot.com
kupang1960@gmail.com
facebook: Donald Tick