Pendahuluan
Kampar adalah sebuah kabupaten yang saat ini secara administrastif berada dalam wilayah Provinsi Riau. Kampar merupakan salah satu Kabupaten tertua di Provinsi Riau dan bahkan di Indonesia, yang dibentuk berkat perjuangan gigih dari tokoh masyarakat Kampar pada waktu itu. Saat ini telah banyak tulisan yang berusaha memberikan penjelasan mengenai proses perjalanan sejarah Kampar, mulai dari sejarah Kampar pada masa kerajaan, perjuangan melawan penjajahan dan juga proses terbentuknya kabupaten Kampar. Bahan-bahan bacaan yang ada sebenarnya cukup memadai untuk memberikan pemahaman sejarah Kabupaten Kampar kepada generasi muda, namun demikian masih ada bagian dari perjalanan Kampar yang belum terjelaskan dengan baik, khususnya mengenai proses perjalanan wilayah Kampar dari segi administratif dan proses pemindahan Ibu Kota Kabupaten Kampar dari Pekanbaru ke Bangkinang yang pada waktu itu mengalami beberapa kali kegagalan. Oleh karena itu tulisan ini berusaha menjelaskan secara ringkas proses terbentuknya Kabupaten Kampar hingga peresmian Bangkinang sebagai Ibu Kota Kabupaten Kampar.
Tulisan ini bersumber dari beberapa tulisan yang berisi informasi mengenai sejarah Kampar, terutama sebuah tulisan oleh Lukas Tandjung tentang sejarah kabupaten Kampar. Menariknya, dalam tulisan tersebut terdapat beberapa perbedaan mengenai tokoh, tempat serta tanggal kejadian peristiwa bersejarah di Kampar dengan yang terdapat dalam litertur lain. Namun menurut saya tulisan Lukas Tandjung ini cukup lengkap dan dirasa perlu mendapat perhatian, palagi mengingat kondisi cetakan asli tulisan tersebut sudah mulai rusak dan tidak ditemukan cetakan ulang.
Kampar Pada Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda menempatkan seorang Gubernur di Medan dengan wilayah kekuasaan meliputi Pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Secara administratif Belanda membagi wilayah Sumatera menjadi 10 Keresidenan (Residentie) yaitu : Aceh, Sumatera Timur, Tapanuli, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Lampung dan Belitung. Pada masa itu wilayah Kabupaten Kampar bukanlah sebuah Keresidenan tersendiri. Pembagian daerah admistratif di Kampar pada masa itu bukan seperti keadaan saat ini. Sebagian wilayah Kampar masuk dalam wilayah Keresidenan Sumatera Timur, sebagian masuk dalam wilayah Sumatera Barat dan sebagian masuk dalam Keresidenan Riau. Untuk tingkat pemerintahan yang lebih kecil, Wilayah Kampar masuk dalam empat kewedanaan (district) yaitu Kewedanaan Pelalawan, Kewedanaan Pasir Pengarayan, Kewedanaan Bangkinang dan Kewedanaan Pekanbaru.
Kewedanaan Pekanbaru pada masa itu merupakan bagian dari Onder Afdeling Siak sebagaimana termuat dalam surat perjanjian antara kerajaan Siak dengan pihak Belanda tanggal 25 Oktober 1890 dan disyahkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 27 April 1898. Kemudian dalam besluit Van Het Inlandsch Zelfbesturen Van Siak tanggal 25 Oktober 1919 Pekanbaru merupakan satu dari lima district yang ada di Siak. District Pekanbaru meliputi tiga Onder District yaitu Senapelan, Onder District Tapung Kanan dan Onder District Tapung Kiri. Kemudian District Pekanbaru berubah statusnya menjadi Ibu Kota Onder Afdeling Kampar Kiri pada tahun 1932 yang melingkupi wilayah Kampar Kiri, Senapelan, Gunung Sahilan, Singingi, Tapung Kiri dan Tapung Kanan.
Sebelum kedatangan Belanda, pelalawan merupakan sebuah Kerajaan yang berdaulat. Raja Pelalawan yang pertama kali mengikat perjanjian dengan Belanda adalah Tengkoe Said Aboebakar yang memerintah pada tahun 1872 – 1886. Tengkoe Said Aboebakar menandatangani perjanjian persahabatan antara Kerajaan Pelalawan dengan Belanda pada tanggal 4 Februari 1872. Tahun 1886 Tengkoe Said Aboebakar wafat dan digantikan oleh anaknya bernama Tengkoe Said Ali yang memerintah selama 6 tahun. Pada tahun 1892 Tengkoe Said Ali wafat digantikan pula oleh adiknya Tengkoe Said Hasyim II. Pengangkatan Tengkoe Said Hasyim II disyahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 3 Desember 1894. Tengkoe Said Hasyim II memerintah kerajaan Pelalawan hingga tahun 1930. Wilayah Kerajaan Pelalawan dijadikan Belanda sebagai daerah Swapraja yang membawahi 4 District yaitu Langgam, Pangkalan Kuras, Bunut dan Serapung.
Daerah Pasir Pengarayan dan Limo Koto termasuk wilayah terakhir yang dikuasai Belanda karena pada masa itu kedua daerah tersebut masih sulit dijangkau. Meskipun Belanda telah menggempur benteng Tuanku Tambusai di Dalu-dalu sejak tahun 1838, tetapi Belanda baru dapat menguasai Pasir Pengarayan atau Rokan Hulu secara resmi pada tahun 1901. Demikian juga halnya dengan daerah Limo Koto (Kuok, Salo, Bangkinang, Air Tiris dan Rumbio), Belanda baru dapat menguasai daerah ini pada tahun 1899 setelah berhasil menaklukkan perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Datuk Tabano sejak tahun 1895. Setelah menguasai kedua wilayah tersebut Belanda membuat daerah administratif. Pasir Pengarayan menjadi sebuah district yang wilayahnya melingkupi Rokan, Kunto Darussalam, Rambah, Tambusai dan Kepenuhan. District Pasir Pengarayan berada dalam wilayah Keresidenan Sumatera Timur. Sedangkan daerah Limo Koto menjadi sebuah district yang melingkupi daerah Kenegerian Batu Bersurat, Kuok, Salo, Bangkinang dan Air Tiris. District Bangkinang ini berada dibawah keresidenan Sumatera Barat.
Kampar Pada Masa Kekuasaan Jepang
Saat Jepang menguasai Nusantara, Pulau Sumatera di pimpin oleh Angkatan Darat Jepang yang berpusat di Bukittinggi, dan menjadikan Bukittinggi sebagai Ibu Kota Sumatera. Panglima Angkatan Darat Jepang ini sekaligus menjabat sebagai Saiko Sikikan yaitu Kepala Pemerintahan Sipil, dengan atasan langsungnya berada di Singapura. Keresidenan Riau diganti nama oleh Jepang menjadi Riau Syu dan Ibu Kotanya tidak lagi Tanjungpinang tetapi dipindahkan ke Pekanbaru. Pemindahan ini dikarenakan pihak Jepang menilai letak dan kondisi geografis Pekanbaru sangat strategis untuk kepentingan mereka. Riau Syu pada masa ini mencakup seluruh wilayah daratan Riau beserta pulau-pulau yang ada di pesisir yaitu : Pasir Pengarayan, Kampar Kiri, Indragiri, Kuantan, Gunung Sahilan, Siak dan Bengkalis. Wilayah Kepulauan Riau tidak menjadi bagian dari Riau Syu, tetapi menjadi kekuasaan angkatan laut Jepang yang berpusat di Singapura.
Pada awalnya Riau Syu dibagi menjadi tiga Bunsyu yaitu wilayah setingkat Kabupaten yang dikepalai oleh seorang Bunsyucho. Setiap Bunsu membawahi daerah lebih kecil yang disebut Gun. Setiap Gun dikepalai oleh seorang Guncho. Bunsu yang berada dalam wilayah Riau Syu adalah :
1. Pekanbaru Bun, yang meliputi empat Gun yaitu : Pasir Pengarayan, Pekanbaru, Siak dan Pelalawan
2. Indragiri Bun, yang meliputi tiga Gun yaitu : Taluk Kuantan, Rengat dan Tembilahan
3. Bengkalis Bun, yang meliputi tiga Gun yaitu : Bengkalis, Bagan siapiapi, dan Selat Panjang.
Dengan pembagian wilayah demikian, daerah Limo Koto tidak termasuk ke dalam Riau Syu, tetapi masih termasuk dalam wilayah Sumatera Barat (Payakumbuh). Karena secara geografis Limo Koto lebih dekat dengan Pekanbaru maka Jepang memasukkan daerah Limo Koto ke dalam wilayah Riau Syu dan menjadi Bangkinang Bun, sehingga terdapat empat Bunsu dalam wilayah Riau Syu. Bangkinang Bun meliputi dua Gun yaitu Pasir Pengarayan dan Bangkinang. Guncho (kepala Gun) yang terakhir menjabat di Pasir Pengarayan Gun adalah Datuk Wan Abdul Rahman, sedangkan Bangkinang Gun terakhir dikepalai oleh Jamaluddin Bagindo Besar.
Pada masa penjajahan Jepang, para pemuda Kampar banyak yang ditangkap untuk dipekerjakan secara paksa di Logas dan Pekanbaru. Mereka bekerja siang malam tanpa diberikan makanan yang memadai, sehingga banyak diantara mereka yang meninggal dunia dalam kerja paksa. Kekejaman Jepang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat pribumi Kampar, tetapi juga dirasakan oleh orang-orang Belanda dan Inggris yang menjadi tawanan Jepang. Para tawanan ini dikumpulkan di Stanum Bangkinang yang sekarang telah berubah menjadi tempat rekreasi. Para tawanan tersebut juga dipekerjakan secara paksa oleh Jepang dalam pembuatan jembatan di daerah Danau Bingkuang.
Kampar Pada Masa Awal Kemerdekaan
Kabinet Republik Indonesia yang pertama membagi wilayah nusantara ke dalam delapan daerah provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatera, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan. Pada waktu itu Gubernur Sumatera pertama dijabat oleh Teuku Mohammad Hassan. Untuk mempermudah jalannya pemerintahan di Sumatera, pada bulan April 1946 DPRS membagi Sumatera menjadi tiga Sub Provinsi. Setiap Sub Provinsi dikepalai oleh seorang Gubernur Muda. Tiba Sub Provinsi pada waktu itu adalah : Pertama, Sub Provinsi Sumatera Selatan yang membawahi Keresidenan Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, dan Palembang. Gubernur Muda Sub Provinsi Sumatera Selatan berkedudukan di Palembang. Kedua Sub Provinsi Sumatera Tengah membawahi Keresidenan Jambi, Riau dan Sumatera Barat, Gubernur Muda berkedudukan di Bukittinggi. Ketiga, Sub Provinsi Sumatera Utara yang membawahi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli, Gubernur Muda berkedudukan di Medan. Pada masa ini Kampar belum lagi menjadi sebuah Kabupaten. Secara administratif sebagian wilayah Kampar berada dalam Keresidenan Sumatera Barat dan Keresidenan Riau, karena pada tanggal 19 Desember 1945 Kewedanaan Bangkinang digabungkan ke dalam Kabupaten 50 Kota yang berpusat di Payakumbuh. Daerah Kampar Kiri, Tapung dan Pelalawan masuk kedalam wilayah Keresidenan Riau.
Pada tahun 1948, ketiga sub provinsi yang ada di Sumatera ditetapkan sebagai provinsi yaitu : Provinsi Sumatera Selatan Ibu Kota di Palembang, Provinsi Sumatera Tengah Ibu Kota di Bukittinggi dan Provinsi Sumatera Utara Ibu Kota di Medan. Pejabat Gubernur Sumatera Selatan adalah Dr. M Isa, Gubernur Sumatera Tengah adalah Mr. M Nasroen dan Gubernur Sumatera Utara adalah Mr. SM Amin. Gubernur Sumatera diangkat menjadi Ketua Komisariat Pemerintah Pusat Untuk Sementara yang berkedudukan di Bukittinggi. Komisariat ini bertugas mempersiapkan pembentukan daerah otonom. Komisariat ini membentuk panitia desentralisasi untuk mempersiapkan pembentukan daerah kabupaten di Sumatera. Pada tahun 1948 Komisariat ini mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh delegasi dari setiap daerah, yang juga dihadiri oleh delegasi dari Limo Koto Bangkinang dan Pekanbaru. Pada pertemuan tersebut para utusan dari Payakumbuh tetap menginginkan pembagian wilayah sebagaimana pada masa pemerintahan Belanda, dimana Bangkinang dan daerah sekitarnya menjadi bagian dari Kabupaten 50 Kota. Akan tetapi delegasi dari Pekanbaru menginginkan Bangkinang bergabung kedalam wilayah Riau seperti pada masa pemerintahan Jepang. Dalam kesempatan tersebut delegasi dari Bangkinang antara lain H.M Amin dan Malik Yahya mengajukan untuk bergabung dengan Keresidenan Riau dengan beberapa syarat antara lain :
1. Dibentuk sebuah Kabupaten yang bernama Kabupaten Kampar, dan beribukota di Bangkinang.
2. Segera dibuat jembatan di Rantau Berangin dan Danau Bingkuang untuk mempermudah akses dari Sumatera Barat ke Riau. Pembangunan ini juga sangat menguntungkan dearah Bangkinang karena menjadi jalur pelintasan.
3. Adat di Bangkinang jangan dirubah dijadikan adat Melayu.
Persyaratan yang diajukan oleh delegasi Bangkinang disanggupi oleh delegasi dari Pekanbaru yang dipimpin oleh Amat Suka, dan kemudian panitia desentralisasi membuat perjanjian antara kedua belah pihak. Pada tahun 1948 Komisariat Pemerintah Pusat menerbitkan surat keputusan no : 81/Kom/U Tanggal 30 November 1948 tentang pembentukan Kabupaten Kampar. Surat Keputusan tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1948. Sangat disayangkan pembentukan Kabupaten Kampar terpaksa ditunda karena pihak Belanda melancarkan agresi militer kedua.
Pembentukan Kabupaten Kampar baru dapat terwujud setelah pemulihan kedaulatan Republik Indonesia tahun 1949. Berdasarkan surat keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah No 10/GM/STG/49 tanggal 9 November 1949 Kabupaten Kampar resmi terbentuk dengan Ibu Kota Pekanbaru. Tanggal 1 Januari 1950 Dt. Wan Abdulrahman ditunjuk sebagai Bupati Kampar pertama. Kemudian tanggal 6 Februari 1950 diterbitkan Surat Keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah No 3/DC/STG/50 tentang Penetapan Kabupaten Kampar berhak mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan terbentuknya Kabupaten Kampar maka Keresidenan Riau membawahi empat kabupaten. Kabupaten Bengkalis meliputi daerah Bengkalis, Siak, Selatpanjang, Bagansiapiapi, Kuala Kampar, Bunut, dan Pangkalan Kuras. Kabupaten Indragiri meliputi daerah Rengat, Kuantan Hulu dan Hilir, Singingi, Tembilahan, Siberida, Kateman, Retih, Kuala Enok, Gaung Anak, dan Pasir Penyu. Kabupaten Kampar meliputi daerah Limo Koto, Pekanbaru, Pasir Pengarayan, Rokan, Kampar Kiri dan Langgam. Kabupaten Kepulauan Riau meliputi daerah Tanjungpinang, Tanjung Balai Karimun, Dabo Singkep hingga Pulau Tujuh.
Pemindahan Ibu Kota ke Bangkinang
Sejak tahun 1950 Kabupaten Kampar memang telah terbentuk secara resmi, akan tetapi masyarakat Limo Koto belum merasa permintaan mereka dikabulkan, karena Ibu Kota Kabupaten Kampar masih berada di Pekanbaru. Kekecewaan masyarakat Kampar semakin bertambah karena kehidupan masyarakat di Kampar sangat sulit dan bidang pembangunan serta pendidikan di Kampar masih tertinggal dibandingkan daerah Pekanbaru atau Bukittinggi.
Pada tahun 1956 Pemerintah Republik Indonesia meresmikan pembentukan daerah kabupaten di setiap provinsi. Berdasarkan Undang-undang no 12 tahun 1956 Provinsi Sumatera Tengah dibagi dalam 14 daerah Kabupaten yaitu : Merangin, Batanghari, Indragiri, Bengkalis, Kepulauan Riau, Kampar, 50 Kota, Agam, Padang Pariaman, Pasaman, Pesisir Selatan, Sawah Lunto, Tanah Datar dan Solok. Dalam pasal 1 ayat 9 undang-undang no 12 tahun 1956 disebutkan bahwa dibentuk Kabupaten Kampar dengan batas wilayah sebagaimana disebutkan pada pasal 1 surat ketetapan Gubernur Militer Sumatera Tengah nomor 10/GM/STG/49 tanggal 9 November 1949. Dalam pasal 2 ayat 9 disebutkan bahwa Kabupaten Kampar berkedudukan di Bangkinang.
Masyarakat Kampar menyambut baik UU no 12 tahun 1956 tersebut. Kalangan ninik mamak, alim ulama dan tokoh masyarakat mendesak pemerintah untuk segera memindahkan Ibu Kota Kabupaten Kampar ke Bangkinang. Bahkan sejak terbitnya SK Gubernur Militer Sumatera Tengah tahun 1949 segenap tokoh masyarakat Bangkinang telah membuat keputusan bersama tanggal 21 Oktober 1955 yang berisi bahwa ninik mamak di Limo Koto sepakat menyediakan tanah ulayat mereka seluas 17,5 Km2. Surat tersebut ditandatangani oleh 12 orang datuk yaitu Datuk Bandaro Sati, Datuk Pandak, Datuk Mudo, Datuk Tuo, Datuk Patih, Datuk Majo Besar, Datuk Bandaro Mudo, Datuk Sinaro, Datuk Paduko Ulak, Datuk Datuk Manjo Besar Piliang, Datuk Laksamano dan Datuk Manjolak. A. Muin Datuk Rangkayo Maharajo yang ketika itu menjabat sebagai Bupati Kampar menindaklanjuti desakan masyarakat Kampar tersebut dengan membentuk Panitia Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Kampar yang tertuang dalam surat No UP 18/1957 tanggal 17 Juli 1957. Sangat disayangkan usaha pemindahan tersebut belum membuahkan hasil karena kondisi pemerintahan yang tidak kondusif.
Pada tanggal 21 Maret 1958 Bupati Kampar A. Muin Datuk Rangkayo Maharajo diberhentikan dari jabatannya karena yang bersangkutan lari ke hutan, dan untuk sementara tugas Bupati dilaksanakan oleh Syamsuddin Hasan. Pada tanggal 3 September 1958 Datuk Abdul Rahman diangkat sebagai Bupati. Datuk Abdul Rahman hanya menjabat selama 13 bulan, dan digantikan oleh pejabat sementara Datuk Johan Arifin pada tanggal 1 Oktober 1959. Pada tanggal 2 Januari 1960 Gubernur Riau melantik Datuk Harunsyah sebagai Bupati Kampar.
Datuk Harunsyah dengan semangat baru berusaha sekuat tenaga memindahkan Ibu Kota Kabupaten Kampar dari Pekanbaru ke Bangkinang. Beliau menemui Gubernur Riau Kaharuddin Nasution untuk membicarakan dana pemindahan Ibu Kota Kampar ke Bangkinang. Pada masa itu dana pemerintah masih sangat terbatas, sehingga Bupati Kampar hanya mendapatkan bantuan dana sejumlah dua juta rupiah. Dengan dana itu Datuk Harunsyah membangun rumah dinas Kepala Daerah beserta pegawainya di Bangkinang. Datuk Harunsyah berusaha memindahkan pemerintahan secara bertahap, akan tetapi sebagian besar jawatan menolak untuk pindah ke Bangkinang dengan alasan masih sulitnya perhubungan dan kurangnya ketersediaan barang kebutuhan pokok. Hingga tahun 1965 pemindahan Ibu Kota Kampar belum juga terlaksana dengan sepenuhnya. Sebagian jawatan/dinas yang sudah berkantor di Bangkinang kembali pindah ke Pekanbaru. Hingga pada akhirnya Datuk Harunsyah memasuki usia pensiun pada tahun 1965, niatnya untuk memindahkan Ibu Kota Kampar belum juga terlaksana.
Setelah Datuk Harunsyah pensiun, jabatan Bupati diemban oleh Tengku Mohammad yang dilantik pada tanggal 4 November 1965. Tengku Mohammad adalah seorang pegawai tinggi ketataprajaan pada kantor Gubernur Riau yang ditugaskan untuk mempersiapkan calon Bupati Kampar. Pada waktu itu Komandan KODAM III mencalonkan Letkol Soebrantas yang menjabat sebagai Kepala Staf Pepelrada Riau untuk menjadi Bupati Kampar, dengan pertimbangan bahwa Letkol Soebrantas pernah berjuang di Kampar dan cukup mengenal daerah Kampar. Letkol Soebrantas bukanlah calon tunggal karena masih terdapat tiga calon lainnya yaitu : Mansyur Abdul Jabar, Tengku Mahmud Anzam dan Mayor Paimin yang dicalonkan oleh Danrem 031 Wirabima. Pimpinan KODAM III tidak menyetujui pencalonan Mayor Paimin karena diketahui beliau adalah anggota PKI. Proses pencalonan pejabat Bupati Kampar memakan waktu cukup lama dengan empat kali pencalonan. Pada pencalonan keempat terdapat tiga calon yaitu Letkol R Soebrantas, Haji Ahmad Natar Nasution, dan Rusydi Bahar. Dengan berbagai pertimbangan terpilihlah Letkol R Soebrantas. Pada tanggal 8 April 1967 terbitlah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri no 7/3/47/468 tentang pengangkatan Letkol R Soebrantas sebagai Bupati Kampar. Pada waktu hendak dilantik R Soebrantas meminta kepada Gubernur Riau agar pelantikan dilaksanakan di Bangkinang. Pada awalnya Gubernur Arifin Ahmad merasa keberatan karena di Bangkinang tidak terdapat prasarana yang memadai. R Soebrantas tetap bersikukuh ingin dilantik di Bangkinang, sebagai bukti bahwa beliau bersungguh-sungguh ingin memindahkan Ibu Kota Kampar ke Bangkinang. Maka pada tanggal 18 Mei 1967, di rumah Dinas Bupati Kampar Jl. Prof. M Yamin SH, Gubernur Riau Arifin Ahmad melantik R Soebrantas sebagai Bupati Kampar.
Tanggal 25 Mei 1967 Bupati Kampar mengadakan rapat dengan seluruh stafnya dengan agenda Ibu Kota Kampar akan dipindahkan pada tanggal 5 Juni 1967. Pada tanggal 1 Juni 1967 R Soebrantas membuat Surat Keputusan No : 034/3/B/1967 tentang pemindahan pemerintahan Kabupaten Kampar dari Pekanbaru ke Bangkinang. Surat Keputusan itu antara lain berbunyi :
Pasal 1 : Terhitung tanggal 5 Juni 1967 Pemerintah Kabupaten Kampar sudah berdomisili di Bangkinang, mulai 6 Juni 1967 dan seterusnya kegiatan pemerintahan digerakkan dari Bangkinang.
Pasal 2 : Seluruh Jawatan, Instansi, Kantor di lingkungan Kabupaten Kampar termasuk seluruh pegawainya wajib mensukseskan pemindahan Pemerintahan dari Pekanbaru ke Bangkinang.
Pasal 3 : Pelaksanaan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada pasal 2, dilaksanakan secara bertahap yaitu : Tahap I, Pemerintahan Daerah Kabupaten Kampar. Tahap II, Dinas-dinas otonom. Tahap III, Instansi lainnya tingkat Kabupaten Kampar. Pemindahan ini diperkirakan selesai paling lambat 1 tahun sejak dikeluarkannya surat keputusan ini.
Pasal 4 : Untuk menjaga ketertiban pemindahan tersebut dikoordinir oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar.
Pasal 5 : Untuk mengawasi serta mensukseskan jalannya pemindahan pemerintahan, dibentuk suatu tim yang terdiri dari : Abd. Rahman R. Mansyur (sebagai ketua), Anwar Hamid, Indus, dan Z.Dt Patih (sebagai anggota). Tim tersebut langsung bertanggungjawab kepada Bupati Kampar.
Pasal 6 : Untuk menyediakan ruangan bagi tempat bekerja serta perumahan yang layak bagi para pegawai, ditempuh cara memanfaatkan ruangan kantor Pemerintah Daerah Kab. Kampar yang masih tersedia dan meminjam kamar/ruangan dari rumah-rumah penduduk untuk tempat kediaman.
Pasal 7 : Peminjaman ruangan dari rumah penduduk dilakukan secara cuma-cuma untuk jangka waktu tertentu, dengan melalui Pemerintah Kecamatan dan Ninik mamak setempat.
Pasal 8 : Pengangkutan alat-alat inventaris kantor serta para pegawai dari seluruh Jawatan dan Instansi dipindahkan dari Pekanbaru ke Bangkinang dengan kendaraan dinas Pemkab Kampar serta kendaraan lain yang diusahakan peminjamannya dari Gubernur Riau dan Organda Riau secara cuma-cuma. (Seterusnya hingga pasal 16).
Tepat pada tanggal 5 Juni 1967 pukul 14.00 wib, dilaksanakan upacara bendera yang dihadiri oleh seluruh pegawai Kab Kampar, tokoh masyarakat dan Bangkinang. Upacara bendera tersebut merupakan peresmian Bangkinang sebagai Ibu Kota Kabupaten Kampar.
Penutup
Kampar telah melalui proses panjang dan melelahkan sehingga menjadi sebuah Kabupaten seperti saat sekarang ini. Diawali sebagai daerah kesatuan yang berdasarkan hukum adat, menjadi beberapa daerah Kewedanaan pada masa Belanda dan Jepang, dan menjadi Kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri sejak tahun 1950. Setelah menjadi Kabupaten, pejabat yang berwenang masih dihadapkan pada perjuangan berat untuk memindahkan Ibu Kota Kampar dari Pekanbaru ke Bangkinang. Begitu banyak hambatan yang harus dihadapi mulai dari ketiadaan anggaran, akses jalan yang masih sulit, kondisi Bangkinang yang masih tertinggal ditambah lagi keengganan para pegawai untuk pindah ke Bangkinang. Kepindahan tersebut telah diusahakan oleh beberapa orang Bupati tetapi selalu gagal, hingga akhirnya berhasil direalisasikan oleh Bupati Kampar Letkol R. Soebrantas tanggal 5 Juni 1967. Sejak saat itu Kampar terus melaksanakan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Perjalanan sejarah ini sangat penting bagi upaya menumbuhkan semangat cinta tanah air dalam diri generasi muda Kampar. Selain itu, catatan sejarah Kabupaten Kampar juga berperan besar dalam pemantapan identitas budaya masyarakat Kampar. Saat ini berbagai pihak menyebut orang Kampar sebagai orang Melayu Kampar. Upaya ini sepertinya lebih politis dari pada kultural, karena secara kultural orang Kampar memiliki banyak kesamaan dengan Minangkabau dari pada Melayu, sedangkan Minangkabau tidak disebut sebagai etnis Melayu. Dalam tulisan Lukas Tandjung disebutkan bahwa pada saat menyatakan kesediaan bergabung dengan Keresidenan Riau, delegasi Limo Koto telah menyajukan persyaratan agar budaya Kampar tidak dirubah. Permintaan tersebut menunjukkan bahwa para tokoh pendiri Kabupaten Kampar ingin jati diri Kampar tetap dipertahankan. Dengan kata lain, catatan sejarah tersebut bermaksud mengatakan bahwa Kampar adalah Kampar, bukan Minangkabau bukan pula Melayu.
Sumber Tulisan
Amin, HM. 1988.“Sejarah Perjuangan Rakyat Kampar” (manuskrip). Bangkinang.
Nasuwitra, Andrico. 2013. “Sejarah Singkat Kampar”. http://pustaka-kampar.com/index.php?option=com_content&view=article&id=223&Itemid=194. Diakses pada tanggal 23 September 2013.
Tandjung, Lukas. (n.d) Kabupaten Kampar Memperoleh Anugerah Parasamya Purnakarya Nugraha Pelita II. PT Bukit Agung.
Tim Penelusuran Sejarah Kampar. 2011. Sejarah Kampar.Bangkinang : Dinas Pariwisata da Kebudayaan Kabupaten Kampar.
asslamualaikum wr wb pak,,, awak nak atanyo,,, ketika rombongan pdri sampai di bangkinang, siapo yang jadi wedana tahun 1948 pak,,?
BalasHapusSaya belum jumpa literatur soal wedana th 1948, pak
Hapus