Selamat Datang

Selamat membaca dan mengutip, jangan menjadi plagiat
Bagi pemilik tulisan harap kunjungi "surat untuk penulis"

Minggu, 03 Oktober 2021

Tudung Manto dan Polemik Hak Kekayaan Intelektual *

 

Oleh :

Febby Febriyandi YS

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

 

 

Pendahuluan

Beberapa waktu lalu saya menerima kiriman link situs berita online dari seorang sahabat dengan ditambah pertanyaan: “apakah bisa?”. Membaca link tersebut membuat saya penasaran dan segera mengunjungi laman dimaksud. Benar saja, pada tanggal 16 September 2021 sijorikepri.com menurunkan berita bertajuk “Bupati Lingga : Produksi Tudung Manto Tanpa Izin Pemkab Lingga Bisa Dipidana”. Dalam link berita itu Sijorikepri.com mengabarkan bahwa Pemkab Lingga telah menerima penghargaan dari Kemenkumham berupa sertifikat kekayaan intelektual komunal, salah satunya adalah tudung manto. Penghargaan tersebut diberikan kepada Pemkab Lingga terkait perlindundungan Pengetahuan Tradisional. Dalam berita itu juga disebutkan bahwa Kabupaten Lingga sepenuhnya memiliki hak cipta atas Tudung Manto. Dalam berita tersebut Bupati Lingga menegaskan bahwa produksi tudung manto oleh pihak lain merupakan tindakan pidana. Oleh karena itu Bupati Nizar menginginkan pihak lain boleh turut mempromosikan tudung manto dengan terlebih dahulu membuat perjanjian kerjasama yang saling menguntungkan dengan Pemkab Lingga. Tidak hanya tudung manto, Pemkab Lingga telah memegang 109 hak cipta. 59 hak cipta pengetahuan tradisional, dan 50 hak cipta ekspresi budaya tradisional.

Sebagai pembanding saya mencari berita terkait di situs lainnya. Sijoritoday.com dan TribunBatam.id menerbitkan berita yang sama pada tanggal 14 September 2021. Menariknya, saya justru menemukan Transkepri.com menerbitkan berita yang sama tetapi jauh lebih awal yaitu pada 9 April 2021. Berita bertajuk “Mengenal Tudung Manto Asli Lingga dan Keberadaanya Sudah Dipatenkan” ini memberikan informasi lebih rinci terkait pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual tudung manto. Transkepri.com menginformasikan bahwa tudung manto didaftarkan sejak 22 Januari 2010 dengan nomor permohonan 000201000271. Judul ciptaan Tudung Manto, dengan jenis ciptaan seni motif. Pemegang Hak Cipta adalah Ibu Syarifah Faridah sebagai pencipta.

Berita tentang HKI tudung manto dan larangan memproduksinya tanpa izin Pemkab Lingga membuat “kehebohan” di kalangan peminat kerajinan tudung manto yang ada di luar Lingga. Sebagaimana diketahui, Dinas Kebudayaan Provinsi Kepri pernah melaksanakan pelatihan pembuatan tudung manto di Kota Tanjungpinang pada tahun 2018. Selain itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam juga membuat kegiatan pengembangan tudung manto di Kota Batam untuk memperkenalkan tudung manto sebagai warisan budaya Melayu Kepulauan Riau. Berbagai kegiatan ini kemudian mendorong lahirnya para perajin tudung manto di luar wilayah Kabupaten Lingga. Dengan adanya penetapan tudung manto sebagai HKI masyarakat Lingga, para perajin di luar wilayah Lingga khawatir tidak bisa lagi membuat tudung manto. Kekhawatiran ini tentu saja sangat beralasan. Karena itu saya kira menarik untuk mendiskusikan pertanyaan: apakah hak kekayaan intelektual tudung manto, yang telah diakui sebagai warisan budaya masyarakat Melayu Kepulauan Riau, dapat diberikan kepada salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Kepulauan Riau?. Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya kita harus mengacu kepada UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, UU No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, dan UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, serta memahami kembali akar tradisi tudung manto dalam masyarakat Melayu secara umum.

Tudung Manto Sebagai Objek Hak Kekayaan Intelektual

Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta diatur pemberian hak cipta bagi ekspresi budaya tradisional. Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan bahwa  Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisonal dipegang oleh negara. Saya menduga pasal inilah yang dijadikan dasar oleh Pemkab Lingga dalam mengakui kepemilikan atas hak kekayaan intelektual tudung manto. Jika demikian maka kita harus memastikan apakah benar Pemkab Lingga telah mengantongi hak cipta tudung manto sebagai ekspresi budaya tradisional. Untuk mengetahui hal ini yang dapat saya lakukan adalah mengunjungi Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal Indonesia[1]. Di sana saya tidak menemukan data tentang tudung manto. Justru yang saya temukan adalah : Sagu Lingga, Kue Intan Terambo, Cerita Asal Mula Kampung Nerekeh, Tradisi Malam Tujuh Likur, Tepuk Tepung Tawar, Adat Perkawinan Melayu Lingga, Maulud Nabi Muhammad SAW, Houl Jamak, Gasing Lingga, Silat Pengantin, Ratib Saman, Berdah, Tradisi Talam Dua Muka, Sayriful Anam, Mandi Syafar, Ambong Gila dan Cerita Patahnya Gunung Daik yang telah ditetapkan sebagai Kekayaan Intelektual Komunal yang berasal dari Kepulauan Riau.

Tidak puas dengan temuan tersebut, saya kemudian menelusuri pangkalan data kekayaan intelektual milik Kemenkumham[2]. Di pangkalan data ini saya menemukan bahwa hak cipta yang telah ditetapkan terhadap tudung manto bukanlah hak kekayaan intelektual komunal, tetapi hak cipta untuk karya perorangan. Selain itu, hak cipta yang ditetapkan bukanlah hak terhadap pengetahuan serta kemahiran membuat kain tudung dengan hiasan tekat kelingkan, melainkan hak cipta terhadap bentuk motif tertentu yang digunakan sebagai hiasan tudung manto. Ketika saya amati foto motif yang ditampilkan  dalam pangkalan data tersebut saya melihat beberapa motif yaitu: bunga kaki bawah, bunga pojok, bunga tabur, dan mutu. Namun tidak ada penjelasan motif mana yang hak ciptanya diberikan kepada Ibu Sarifah Faridah sebagai pencipta. Apakah semua motif tersebut atau salah satu saja. Yang sangat disayangkan, meskipun telah disebutkan jenis ciptaan yang diberikan hak ciptanya adalah jenis motif, namun nama hak cipta yang didaftarkan bukan menggunakan nama motif yang mendapatkan hak cipta, tetapi menggunakan nama “Tudong Manto”. Saya menduga hal inilah yang kemudian menyebabkan Pemkab Lingga berkesimpulan telah mendapatkan hak cipta atas tudung manto.

Pendaftaran hak cipta atas satu motif hias tudung manto sebagaimana yang telah dilakukan Ibu Syarifah Faridah tentu saja boleh dilakukan karena merupakan amanat undang-undang untuk melindungi karya anak bangsa. Hal serupa juga bisa dilakukan oleh para perajin tudung manto di Lingga seperti Ibu Jamisah, Norhaizan, Emi dan Lina terhadap motif hias tudung manto ciptaan mereka, baik secara individu maupun bersama-sama. Undang-Undang Hak Cipta, pasal 38 Ayat (2) berbunyi negara wajib menginventarisasi, menjaga dan memelihara ekspresi budaya tradisional. Namun demikian pemberian hak cipta sebagai hak ekslusif terhadap ekspresi budaya tradisional kepada seseorang, sekelompok orang atau bahkan terhadap pemerintah daerah perlu dilakukan dengan sangat hati-hati, mengingat rumitnya persoalan kepemilikan warisan budaya milik bersama ini.

Tudung Manto Sebagai Warisan Budaya Bersama

Beragam kajian terhadap kain tudung manto menunjukkan bahwa produk ini lahir dari interaksi orang-orang Melayu dengan berbagai bangsa sejak zaman dahulu. Penggunaan kelingkan dalam tradisi pakaian orang-orang di Semenanjung Melayu diperkirakan telah dimulai sejak abad ke-10 (Mohamed, 1995: 112). Namun tudung manto, atau yang dikenal di Semenanjung Melayu dengan nama tudung kelingkan, bukanlah cipta reka orang Melayu sendiri. Rusli dan Norwani (2015 : 627); Kamil Salem (2006) menyebut kemahiran menekat kain menggunakan kelingkan diinspirasi dan dimodifikasi dari tradisi orang-orang Cina atau India. Sedangkan menurut Johnstone, Siti Zainon dan Maxwell, teknik sulaman pada tudung kelingkan ini berasal dari Turki Utsmaniyah. Ini dibuktikan dengan kemiripan antara teknik sulaman tudung kelingkan dengan selendang Yemeni  dan kain kerchief  yang digunakan sebagai aksesoris pengantin perempuan di Anatolia Turki (Dalam Sarkawi dan Norhayati, 2016 : 47-50).

Kemahiran membuat kain tudung kelingkan serta tradisi memakainya kemudian menyebar luas dalam wilayah bangsa Melayu. Saat ini setidaknya masih terdapat para perajin tudung kelingkan di delapan tempat di Indonesia dan Malaysia dengan penyebutan yang berbeda-beda. Di Malaysia perajin kain tudung kelingkan masih terdapat di Sarawak dengan nama tudung keringkam, di Selangor dengan nama selendang kelengkan, di Terengganu dengan nama selendang terekam dan di Kelantan dengan nama selendang kelingkan. Di Indonesia tudung kelingkan ini terdapat di Palembang dengan sebutan selendang Misfa. Di Pontianak dan Ketapang dengan nama tudung kelengkang, dan di Lingga dengan nama tudung manto (Dalam Febriyandi YS, 2018: 43). Delapan wilayah bangsa Melayu yang saat ini masih terdapat perajin kain tudung kelingkan tentu saja tidak dapat menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa kain tudung ini hanya dikenal di delapan wilayah tersebut. Berbagai ahli menyebut bahwa pada zaman dahulu keberadaan kain ini tersebar di hampir semua wilayah bangsa Melayu[3], dengan pengembangan kreasi yang berbeda-beda. Eksistensi tudung kelingkan di berbagai wilayah bangsa Melayu merupakan bukti bahwa kemahiran membuat kain tudung kelingkan adalah warisan budaya bersama bangsa Melayu. Oleh karena itu akan menjadi aneh jika hak cipta terhadap pengetahuan dan kemahiran membuatnya dipegang oleh satu kabupaten tertentu, dan masyarakat Melayu yang lain harus meminta izin jika ingin membuat kain tudung kelingkan ini.

Eksistensi perajin tudung manto di Lingga hingga hari ini tentunya belum dapat menjadi dasar klaim bahwa, untuk wilayah Kepulauan Riau, tradisi tudung kelingkan hanya terdapat di wilayah Lingga saja. Jika kita menyusun argumen bahwa keberadaan kain tudung kelingkan di Lingga terkait dengan posisi Daik sebagai pusat kerajaan pada masa lalu, maka di daerah lain yang juga pernah menjadi pusat kerajaan Johor Riau Lingga, seperti halnya Tanjungpinang, tentunya juga pernah berkembang kemahiran membuat kain tudung kelingkan.

Salah seorang warga Pulau Penyengat yang menjadi peserta pelatihan tudung manto tahun 2018 di Lembaga Adat Kota Tanjungpinang mengatakan bahwa ibunya memiliki kain tudung manto peninggalan buyutnya yang hidup pada masa kerajaan Lingga Riau masih berkuasa. Memori kolektif seperti ini memberikan keterangan kepada kita bahwa kain tudung kelingkan ini juga menjadi tradisi di daerah lain dalam wilayah kekuasaan kerajaan Riau-Lingga, dengan Daik sebagai pusatnya. Oleh karena itu perlu sangat hati-hati dalam memberikan hak cipta terhadap warisan budaya milik bersama ini. Sikap kehati-hatian ini telah pula ditunjukkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada saat menetapkan tudung manto sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada 20 Oktober 2015. Dalam penetapan tersebut tudung manto tidak ditegaskan sebagai warisan budaya dari Lingga, tetapi dari wilayah Kepulauan Riau.

Peluang Hak Cipta Tudung Manto Bagi Kabupaten Lingga

Sumbangsih masyarakat dan Pemerintah Daerah Lingga terhadap pengembangan tradisi tudung kelingkan atau tudung manto sangat luar biasa dan saya kira patut mendapatkan apresiasi, termasuk dalam bentuk pemberian hak cipta. Namun perlu dipahami bahwa pemberian hak cipta harus dilakukan dengan memperhatikan akar tradisi tudung manto itu sendiri. Sebagai warisan budaya yang tersebar dalam wilayah yang sangat luas, tentu tidak tepat jika hak cipta terhadap kemahiran membuat produk kain tudung kelingkan hanya diberikan kepada Pemkab Lingga. Hal tersebut juga tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa pemajuan kebudayaan diantaranya bertujuan untuk memperkaya keberagaman budaya,  meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melestarikan warisan budaya bangsa. Kemudian pasal 32 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat, Daerah, dan /atau setiap orang dapat melakukan pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan. Pasal ini dapat kita tafsirkan sebagai jaminan bagi setiap orang untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari objek pemajuan kebudayaan yang dalam hal ini merupakan warisan budaya bersama.

Pemerintah dan masyarakat Lingga masih  bisa mendapatkan hak cipta dari berbagai bentuk motif hias yang dimiliki oleh para perajin tudung manto di Lingga. Selain itu, masyarakat Lingga juga masih bisa mendapatkan hak atas merek “tudung manto” untuk menyebut produk kerajinan tudung kelingkan asal Lingga, mengingat penamaan tudung manto kemungkinan merupakan khas daerah Lingga. Hal ini merujuk kepada asal penamaan tudung manto dari kata mentok yaitu sebuah kampung di Kelurahan Daik yang merupakan sentra perajin tudung manto pada masa kerajaan Riau Lingga (Febriyandi YS, 2018 : 51). Pemberian hak cipta terhadap motif ini akan mendorong perajin tudung manto di Lingga untuk mengembangkan motif-motif baru dimasa yang akan datang. Sedangkan pemberian hak ekslusif terhadap merek “Tudung Manto Lingga” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, akan memberikan manfaat ekonomi kepada perajin tudung manto di Lingga.

Penutup

Kita dapat melihat upaya Pemkab Lingga untuk mendapatkan hak kekayaan intelektual tudung manto didorong oleh keinginan membangun identitas Lingga sebagai pemilik tradisi kain tudung manto serta keinginan mendapatkan manfaat ekonomi dari perkembangan kerajinan tudung manto kedepan. Namun perlu pula difikirkan bahwa kepopuleran yang saat ini berhasil diraih oleh tudung manto justru ditopang oleh penerimaan masyarakat Kepulauan Riau terhadap tudung manto. Sehingga tudung manto telah diterima sebagai identitas Melayu Kepulauan Riau. Dari tahun 2010, 2017 dan 2018 saya melakukan pembaharuan data terhadap kajian tudung manto, saya menemukan bahwa pasar terbesar produk kerajinan tudung manto justru berasal dari luar Lingga. Tingginya permintaan terhadap produk tudung manto dari luar Lingga ditopang oleh wacana tudung manto sebagai identitas masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Saya khawatir dengan upaya penguasaan hak cipta tudung manto ini wacana tersebut menjadi pudar, sehingga masyarakat di luar Lingga tidak lagi merasa memiliki tradisi tudung manto, dan pada akhirnya kepopuleran kain tudung manto akan kembali surut dan mengecil ke dala wilayah Lingga sendiri.

Saya sangat memahami ada kekhawatiran bagi masyarakat dan Pemerintah Lingga, jika tudung manto diproduksi di luar Lingga maka orang-orang dari luar Lingga tidak akan datang jauh-jauh ke Lingga untuk memesan kain tudung manto. Justru disinilah perlunya upaya pengembangan produk tudung manto oleh perajin di Lingga, sehingga tercipta produk tudung manto yang benar-benar khas Lingga. Dalam hal ini tentu juga sangat diperlukan kerjasama dan komunikasi antar Pemerintah Daerah dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau, sehingga tradisi tudung manto ini dapat berkembang secara merata di semua daerah.

 

 

Referensi

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan

 

Febriyandi YS, Febby.2018. Tudung Manto: Transformasi Modal Kultural ke Modal Ekonomi dan Simbolik Dalam Masyarakat Kelurahan Daik Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau. Tesis. Yogyakarta: Pasca Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Mohamed, Maznah. 1995. “The Origins Of Weaving Centres In The MalayPeninsula”. Journal of the Malaysian Branch of The Royal Asiatic Society, Vol.68, No.1 (268), pp. 91-118.

Rusli, Rose Dahlina & Norwani Md. Nawawi. 2015. “Uniqueness of Malay Traditional Embroidery : Kelingkan”. Proceeedings of the 2nd International Colloquium of Art and Design Education Research (i-CADER 2015).

Saleem, Kamil. 2006. “The Sarawakiana Series, Tudung Keringkam”.  Kuching : Pustaka Negeri Sarawak.

Sarkawi, Suhana & Norhayati Ab. Rahman. 2014. “Selayah Keringkam dan Selayah manto : Sulam Budaya Melayu Serawak (Malaysia) dan Melayu Daik (Indonesia)”. Makalah dalam Persidangan Kebangsaan Kecemerlangan Melayu. Dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kecemerlangan Melayu, UKML. Di Hotel Armada Petaling Jaya Malaysia, 2-3 Desember 2014.

____________________. 2016. “Jejak Sulaman Kelingkan Di Malaysia dan Indonesia”. Jurnal Pengajian Melayu, Jilid 27. 2016.


[1] http://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/jenis/1/ekspresi-budaya-tradisional?prov_id=21&q=

[2] https://pdki-indonesia.dgip.go.id/detail/C00201000271?type=copyright&keyword=tudong.

[3] Lihat : Rusli dan Norwani (2015); Kamil Salem (2006); Sarkawi dan Norhayati (2014 ; 2016).


* Artikel ini ditulis untuk siaran Radio Pandawa Tanjungpinang, Oktober 2021