Selamat Datang

Selamat membaca dan mengutip, jangan menjadi plagiat
Bagi pemilik tulisan harap kunjungi "surat untuk penulis"

Selasa, 15 April 2014

PENDIDIKAN SEKSUALITAS PADA REMAJA BANGKINANG KABUPATEN KAMPAR







Oleh : Febby Febriyandi. YS

Pendahuluan

Sebagai generasi penerus dari suatu masyarakat, remaja mempunyai hak dan kewajiban serta status dan peran yang harus dipatuhinya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Untuk dapat menjalankan kewajiban serta perannya di dalam keluarga dan masyarakat, para remaja telah dan akan terus mendapatkan serangkaian proses pendidikan di dalam lingkungan masyarakatnya. Proses pendidikan tersebut memiliki peran penting dalam suatu masyarakat karena bertujuan menanamkan nilai-nilai dan seperangkat pengetahuan yang memberikan kemampuan kepada individu-individu untuk memahami lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, serta menentukan tindakannya.
Dengan kata lain proses pendidikan sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Kebudayaan dan pendidikan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan karena saling mengikat. Kebudayaan itu hidup dan berkembang karena proses pendidikan, dan pendidikan itu sendiri terdapat dalam suatu konteks kebudayaan. Dalam arti tertentu proses pendidikan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses pembudayaan yang dinamis (Santoso, 1981 : 1-2).
Salah satu pengetahuan yang penting dan sekaligus sensitif untuk diberikan kepada remaja adalah pengetahuan mengenai persoalan seksualitas. Bagi masyarakat Indonesia umunya dan masyarakat Bangkinang khususnya, membincangkan persoalan seksualitas apalagi kepada para remaja merupakan suatu hal yang dianggap tabu, sehingga pendidikan seksualitas dianggap tidak perlu diberikan kepada para remaja. Faktanya anggapan demikian merupakan pendapat yang kurang tepat, karena bagaimanapun para remaja membutuhkan transfer pengetahuan seksualitas agar mampu bertindak sesuai dengan agama dan adat. Pendapat yang mengatakan pendidikan seksualitas tidak diperlukan muncul karena pemahaman yang salah terhadap kata seks dan pendidikan seksualitas. Seks dan seksualitas dianggap sama dan hanya diartikan sebagai hubungan kelamin, yang menurut adat terlarang untuk dibicarakan di depan umum. Sedangkan pendidikan seks atau pendidikan seksualitas sering diartikan sebagai pendidikan yang mengajarkan tata cara melakukan hubungan seksual.
Pemahaman demikian sesungguhnya salah kaprah. Seksualitas sebenarnya memiliki makna yang lebih luas dari kata seks yang berarti jenis kelamin. Seksualitas paling tidak menyangkut dimensi biologis, psokologis, sosial, perilaku dan kultural. Dilihat dari sisi biologis, seksualitas berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk di dalamnya bagaimana menjaga kesehatan, memfungsikan dengan optimal secara biologis, sebagai alat reproduksi, sebagai alat rekreasi dan sarana pemenuhan dorongan seksual. Dari dimensi psikologis, seksualitas berhubungan dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas dan peran jenis kelamin, serta perasaan terhadap seksualitas sendiri. Dimensi sosial menyorot kepada bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia, bagaimana lingkungan berpengaruh dalam pembentukan pandangan mengenai tindakan seksual. Dalam hal ini dipahami juga bahwa seksualitas dipengaruhi oleh agama, ekonomi, keluarga, dan aspek hukum. Dimensi perilaku menunjukkan bagaimana seksualitas itu diterjemahkan menjadi tindakan seksual, yaitu segala tindakan yang muncul berkaitan dengan dorongan seks. Dimensi kultural menunjukkan bagaimana tindakan seksual menjadi bagian dari budaya yang ada dalam masyarakat (Pratiwi, 2004 : 17-18).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa seks dan seksualitas tidak hanya merujuk kepada hubungan badan, tetapi menyangkut banyak hal yang berhubungan dengan jenis kelamin, termasuk norma yang mengatur tindakan seksual agar sesuai dengan ajaran agama dan budaya. Oleh karena itu maka pendidikan seksualitas bukanlah pendidikan yang bertujuan mengajarkan tata cara hubungan badan, melainkan sebuah proses dimana seorang individu dari masa kanak-kanak hingga masa tuanya mendapatkan pengetahuan mengenai organ seks, identitas seksual, aturan mengenai tindakan seksual serta berbagai nilai, norma seksualitas yang terdapat dalam masyarakat. Dengan pengertian seperti itu, penulis meyakini bahwa setiap masyarakat memiliki pola pendidikan seksualitas tersendiri yang sesuai dengan agama dan budaya mereka, meskipun proses transfer pengetahuan tersebut tidak dianggap sebagai sebuah pendidikan seksualitas melainkan sebuah pengajaran moral dan akhlak kepada generasi muda.
Pada masyarakat Bangkinang Kabupaten Kampar misalnya, terdapat pola pendidikan seksualitas yang sesuai dengan agama dan tradisi masyarakat disana, meskipun proses itu tidak dipandang sebagai suatu pendidikan seksualitas. Proses pendidikan dimaksud telah berlangsung sejak usia dini hingga usia dewasa dan disampaikan oleh sedikitnya 5 agen pendidikan mulai dari orang tua, teman sebaya, sekolah, media massa dan masyarakat di lingkungan tempat tinggal.
Berikut ini akan dipaparkan secara ringkas proses pendidikan seksualitas yang telah diterima para remaja di Bangkinang, khususnya yang diterima dari orang tua. Proses ini merupakan pendidikan yang penting bagi remaja karena melalui proses ini orang tua menanamkan nilai-nilai seksualitas ideal kepada anak mereka.

Proses Pendidikan Seksualitas
1.      Masa Kanak-kanak
Remaja sebagai anggota dalam sebuah keluarga mendapatkan pendidikan seksualitas untuk yang pertama kalinya dari lingkungan keluarga mereka. Sejak masa kanak-kanaknya para remaja di Bangkinang sudah mendapatkan berbagai pengetahuan seksualitas yang disesuaikan dengan usia mereka. Para orang tua memandang bahwa masa kanak-kanak adalah usia kurang dari 10 tahun. Masa ini merupakan suatu masa dimana seorang manusia masih memiliki keterbatasan untuk mengerti semua persoalan seksualitas. Tidak semua pengetahuan seksualitas dapat dimengerti oleh anak-anak, sehingga anak-anak perlu dibatasi dan dijauhkan dari pengetahuan seksualitas yang belum menjadi “makanan” mereka. Pengetahuan yang diperoleh pada masa kanak-kanak merupakan pengenalan awal mengenai penamaan alat kelamin, larangan bertelanjang, penjelasan mengenai pacaran dan adegan berciuman, larangan mempermainkan alat kelamin, penjelasan mengenai proses terciptanya manusia, serta penjelasan mengenai perbedaan bentuk fisik antara laki-laki dan perempuan.
Mengenai penamaan alat kelamin laki-laki maupun perempuan, para orang tua menggunakan kata-kata yang dianggap lebih ”halus”. Penggunaan kata-kata yang lebih halus ini berkenaan dengan upaya orang tua untuk menjauhkan anak mereka dari kata-kata yang dianggap tergolong sebagai porno wicara. Saat masih kanak-kanak para remaja telah mendapatkan penjelasan mengenai perlunya menutup alat kelamin dan dilarang untuk bertelanjang. Seorang anak dilarang untuk memperlihatkan alat kelaminnya kepada orang lain. Jika seorang anak tidak berpakaian, maka orang-orang disekelilingnya akan memberikan sanksi sosial yang terwujud dalam tindakan mentertawai atau mencemooh anak tersebut. Larangan ini didasarkan pada pandangan masyarakat Bangkinang bahwa alat kelamin merupakan organ tubuh yang paling pribadi, oleh karenanya tidak diperbolehkan untuk memperlihatkan alat kelamin, atau melihat alat kelamin orang lain.
Anak-anak juga dilarang untuk mempermainkan alat kelaminnya yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kebiasaan masturbasi pada usia remaja. Anak-anak yang suka memeganag alat kelaminnya dikatakan akan diganggu oleh hantu atau sosok mahkluk menyeramkan lainnya sehingga menderita suatu penyakit. Penjelasan seperti ini untuk sementara waktu bisa diterima oleh anak dan cukup efektif mencegah anak-anak bermain-main dengan alat kelaminnya. Akan tetapi ketika memasuki usia remaja awal penjelasan demikian tidak lagi dapat memenuhi rasa keingintahuan para remaja.
Para orang tua di Bangkinang mengakui sering menghadapi kesulitan untuk memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang terlontar dari anak-anak mereka berkenaan dengan proses penciptaan janin dan kelahiran manusia. Kesulitan ini disebabkan karena orang tua kesulitan mengkomunikasikan hal-hal yang mereka anggap belum bisa dipahami oleh anak mereka. Selain itu para orang tua mengakui bahwa pertanyaan dari mana datangnya seorang anak manusia merupakan salah satu pertanyaan yang sulit untuk dijelaskan .
Anak-anak juga telah mendapatkan penjelasan mengenai perbedaan bentuk fisik manusia. Orang tua mereka menjelaskan bahwa jenis kelamin dan bentuk tubuh merupakan bawaan sejak lahir yang diberikan oleh Allah swt (sesuatu yang bersifat given). Tuhan menciptakan manusia ada laki-laki dan ada perempuan. Orang tua juga menjelaskan perbedaan bentuk tubuh antara anak-anak dan orang dewasa sebagai sebuah hal yang alamiah. Anak-anak diberikan penjelasan bahwa semakin bertambah umur seseorang maka akan semakin bertambah besar tubuhnya dan mengalami berbagai perkembangan organ fisik.
  
2.      Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi untuk mencapai kematangan seksual pada saat dewasa. Oleh karenanya setiap orang tua mengharapkan para remaja memiliki berbagai pengetahuan dan kemampuan yang berfungsi untuk membentengi para remaja dari berbagai tindakan yang tidak dibenarkan dalam masyarakat. Beberapa pengetahuan yang diterima oleh remaja adalah aturan agama dalam perilaku seks, perkembangan organ seksual dan nilai tanggung jawab. Dalam upaya menanamkan nilai-nilai tersebut, sebagian besar orang tua bersikap keras dan tertutup. Hanya sebagian kecil orang tua yang menyampaikan dengan menunjukkan sikap keterbukaan tanpa perlu memarahi si anak.
Sebagai umat muslim para remaja mendapatkan penjelasan tentang aturan Islam yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang telah dewasa. Para remaja mendapatkan pengetahuan bahwa di dalam agama Islam sangat diharamkan perbuatan zina. Remaja diberi penjelasan bahwa tindakan seksual tanpa ikatan pernikahan merupakan perbuatan zina dan mendapat dosa dari Allah swt. Tindakan ini dikenal masyarakat Bangkinang dengan istilah bakalaha. Selain itu, para remaja juga mendapatkan penjelasan mengenai perilaku berpacaran. Sebagian orang tua melarang anak remaja mereka berpacaran karena berpacaran dianggap sebagai gerbang menuju pergaulan bebas. Menurut para orang tua, pelarangan ini dilakukan dengan mengontrol teman pergaulan dan selalu memperhatikan perilaku anak tersebut. Para remaja dibatasi untuk keluar rumah sehingga mereka tidak punya waktu untuk berpacaran. Sikap orang tua ini tenyata tidak menjadi halangan bagi para remaja untuk berpacaran. Meskipun orang tua melarang dan mengawasi anaknya, tetapi remaja tetap berpacaran dan merahasiakan hal tersebut dari orang tuanya. Para remaja tetap berpacaran dengan alasan mereka mampu menjauhkan diri dari hal-hal yang membuat malu keluarga
Selain mengenai perbuatan zina dan berpacaran, para remaja juga mendapatkan penjelasan mengenai kewajiban menutup aurat mereka masing-masing. Penekanan menutup aurat ini lebih ditekankan kepada remaja perempuan dari pada remaja laki-laki. Salah seorang remaja putri di Bangkinang mengatakan yang dimaksud aurat dalam agama Islam adalah bagian tubuh yang harus ditutupi karena menimbulkan syahwat bagi orang yang melihatnya. Pada laki-laki bagian tubuh yang menjadi aurat hanyalah bagian atas lutut hingga pusar. Sedangkan bagi perempuan hampir seluruh tubuh mereka adalah aurat, kecuali muka dan telapak tangan. Meskipun telah mendapatkan pengetahuan mengenai aurat sebagaimana dalam ajaran Islam, akan tetapi sebagian remaja putri memiliki interpretasi sendiri dengan mengatakan bahwa seorang perempuan dikatakan telah menutup aurat jika telah berpakaian sopan yaitu menutup bagian tubuh dari bagian dada hingga ke lutut.
Para remaja juga mendapatkan penjelasan mengenai kewajiban seorang muslim untuk selalu menjaga pandangan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak sopan. Orang tua menekankan bahwa setiap umat muslim harus menjaga penglihatan, tidak boleh melihat aurat orang yang bukan muhrimnya. Remaja dilarang untuk melihat (mengintip) orang lain yang sedang mandi. Remaja dilarang untuk melihat gambar telanjang atau photo yang “seronok”, adegan yang bersifat pornografi dan fulgar. Upaya ini dilakukan  oleh orang tua dengan memeriksa kamar tidur anaknya secara diam-diam, dan memeriksa telefon genggam anaknya. Segala tindakan yang dilarang kepada remaja merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan mendapatkan sanksi baik dari lingkungan keluarga maupun dari masyarakat lingkungan tempat tinggalnya.
Para remaja di Bangkinang merasa bahwa mereka perlu dan telah layak untuk mendapatkan penjelasan mengenai perkembangan organ seksual yang sedang mereka alami. Para remaja mengaku sering merasa kebingungan saat mereka berhadapan dengan berbagai persoalan yang enggan dijelaskan kepada mereka. Saat mencapai usia remaja, seorang anak laki-laki memiliki ketertarikan terhadap pembahasan mengenai alat kelamin, baik mengenai alat kelaminnya sendiri, maupun terhadap alat kelamin perempuan. Remaja laki-laki menyimpan pertanyaan mengenai perbedaan perkembangan organ seks yang dialaminya. Remaja laki-laki juga memiliki pertanyaan mengenai mimpi basah yang mereka alami untuk pertama kalinya. Beberapa remaja laki-laki di Bangkinang mengatakan bahwa mereka tidak mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai perkembangan organ seks dari orang tua. Menurut mereka orang tua tidak bersedia untuk memberikan penjelasan yang mereka butuhkan.
Menurut para remaja, orang tua selalu marah saat mereka bertanya mengenai alat kelamin. Hal ini menyebabkan mereka tidak berani bertanya kepada orang tua, meskipun mereka memiliki banyak pertanyaan mengenai persoalan seksualitas. Para remaja mengakui cenderung mencari informasi dari teman sebaya atau menguping pembicaraan orang dewasa di lingkungan tempat tinggalnya. Para remaja mengakui mendapatkan banyak informasi seputar seksualitas dari teman sebayanya. Para remaja memandang bahwa kebenaran mengenai informasi dari teman sebaya tidak perlu dipertanyakan kembali kepada orang tuanya, karena orang tua tidak akan berbicara jujur dan terbuka kepada mereka mengenai persoalan seksualitas. Para remaja menyadari bahwa di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat mereka tidak pernah diizinkan untuk membahas persoalan seks, karena hal tersebut merupakan suatu pantangan. Sikap orang tua yang sangat tertutup ini disebabkan oleh kebingungan dalam menyikapi perkembangan seksualitas anak mereka. Beberapa orang tua mengakui tidak memiliki pengetahuan mengenai perkembangan seksualitas remaja.
Sedikit berbeda dengan remaja laki-laki, remaja perempuan lebih banyak mendapatkan pengetahuan mengenai organ seksualnya. Setiap remaja perempuan mendapatkan keterangan mengenai pertumbuhan payudara, menstruasi dan kehamilan yang berkaitan dengan keperawanan sebagai standar penilaian bagi perempuan “baik-baik”. Remaja perempuan mendapatkan pengetahuan mengenai pertumbuhan organ seksual dari Ibu dan saudara perempuannya. Penjelasan ini juga telah diperoleh saat masih kanak-kanak, dan dimantapkan saat mereka memasuki usia dewasa.
Mengenai menstruasi, remaja perempuan di Bangkinang diajarkan bahwa menstruasi merupakan gejala yang alamiah bagi setiap perempuan. Menstruasi terjadi karena terdapat darah kotor di dalam perut yang harus dikeluarkan setiap bulan. Remaja perempuan juga diajarkan etika membuang pembalut wanita yang telah dipakainya. Para remaja perempuan percaya bahwa pembalut wanita tidak boleh dibuang sembarangan, karena darah yang menempel pada pembalut harus dibersihkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan karena terdapat kepercayaan bahwa darah yang menempel pada pembalut bisa disalahgunakan untuk mencelakai si perempuan melalui perbuatan gaib.
Remaja perempuan juga mendapatkan pengetahuan mengenai kehamilan. Saat remaja, seorang perempuan diberi keterangan yang lebih memadai dan sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh orang tua. Remaja perempuan yang sudah menstruasi diberikan penjelasan bahwa dirinya sudah bisa hamil seperti layaknya perempuan yang sudah bersuami. Remaja permpuan juga mendapatkan penjelasan bahwa kehamilan disebabkan karena seorang perempuan tidur dengan seorang laki-laki. Oleh karena itu seorang perempuan harus menjaga sikap dan tingkah laku serta membatasi pergaulannya. Cara menjaga diri misalnya dengan menutup aurat, tidak meladeni laki-laki yang iseng, tidak bersendagurau yang berlebihan dengan laki-laki dan berdua-duan dengan laki-laki yang bukan muhrim.
Meskipun para remaja perempuan mendapatkan penjelasan mengenai kehamilan, tetapi remaja tidak mendapatkan pengetahuan bagaimana melakukan hubungan seks, dan berbagai upaya untuk mencegah kehamilan tersebut. Hal ini dikarenakan para orang tua merasa khawatir pengetahuan yang diberikan akan mendorong para remaja untuk mencoba pengetahuan yang telah diterima, sehingga pengetahuan yang diberikan kepada remaja akan menjadi sejata makan tuan bagi orang tua.
Penjelasan mengenai kehamilan sebelum menikah selalu dikaitkan dengan nilai keperawanan.  Remaja perempuan mendapatkan penjelasan bahwa seorang yang tidak perawan lagi dinilai sebagai perempuan yang tidak lagi memiliki harga diri, dan dicap sebagai perempuan “murahan”. Seorang perawan berarti tidak pernah bergaul secara bebas dengan laki-laki. Seorang perawan adalah sebuah benda yang berharga yang dimiliki oleh keluarganya. Bila seorang laki-laki ingin memiliki seorang gadis, maka dia harus memintanya secara baik-baik kepada orang tuanya melalui sebuah pernikahan.
Berkenaan dengan perilaku seks para remaja diarahkan untuk memiliki kemandirian dan rasa tanggung jawab. Beberapa orang tua mengatakan bahwa seorang remaja harus dididik untuk memiliki rasa tanggung jawab. Penanaman nilai ini sangat penting bagi seorang remaja. Membiasakan remaja untuk bertanggungjawab atas segala perbuatannya mutlak diperlukan. Dengan penekanan bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas perbutannya, remaja akan memiliki kesadaran dan tidak berani melakukan hal-hal yang dilarang dalam lingkungan masyarakatnya, karena pelanggaran berarti harus mendapatkan sanksi. Dengan penanaman nilai-nilai tanggungjawab terhadap Tuhan, diri pribadi, orang tua serta lingkungan masyarakat, remaja akan mampu menjaga dirinya dari segala bentuk pergaulan bebas. Setiap remaja yang menjaga nilai-nilai tanggungjawab diyakini akan mampu mengambil tindakan yang tepat dalam perilaku seksnya.

Pandangan Remaja Terhadap Pendidikan Seksualitas Dari Orang Tua
            Menurut para remaja, penyampaian pengetahuan seksualitas yang dilakukan oleh orang tua merupakan sebuah komunikasi satu arah. Orang tua selalu menegaskan bahwa segala perkataan orang tua adalah hal yang benar dan harus diterima oleh si anak sebagai suatu kebenaran pula. Orang tua selalu menekankan nilai ideal yang dipahami sebagai sebuah kebenaran, dan tidak mau tahu dengan realitas tindakan seksual yang terjadi di lingkungan kehidupan remaja. Para remaja juga mengatakan bahwa orang tua tidak mau tahu dengan kebingungan yang dirasakan remaja yang diakibatkan oleh beragamnya pengetahuan mengenai seksualitas yang diperoleh remaja dari berbagai pihak. Para remaja juga merasakan bahwa pengetahuan yang diberikan oleh orang tua adalah pengetahuan yang bersifat umum, kurang jelas dan terkadang tidak sesuai dengan pengetahuan yang dibutuhkan oleh remaja.
            Sikap orang tua seperti itu mendukung berubahnya nilai seksualitas dalam diri para remaja. Meskipun sejak kecil hingga masa remaja telah ditanamkan nilai-nilai ideal tetapi ternyata nilai tersebut tidak cukup kuat untuk membendung keingintahuan para remaja. Hal ini dikarenakan sikap orang tua yang sangat tertutup, membuat remaja bersikap berbeda dari yang diharapkan orang tua mereka. Para remaja akhirnya mencari sumber pengetahuan lain yang dirasa mampu menjawab semua rasa ingin tahu mereka, tanpa memperdulikan apakah pengetahuan tersebut sesuai atau tidak dengan agama dan budaya mereka.

Kesimpulan
            Dari pemaparan mengenai proses pendidikan seksualitas dari masa kanak-kanak hingga remaja dilingkungan keluarga tampak bahwa pengetahuan seksualitas yang diterima para remaja masih minim dan terbatas pada penekanan nilai agama dan budaya. Pendidikan seksualitas dari orang tua dipandang para remaja minim pengetahuan mengenai organ seksual dan prilaku seksual. Kurangnya pengetahuan dari orang tua mendorong remaja mencari pengetahuan seksualitas dari teman sebaya dan media massa yang pada akhirnya justru mendorong para remaja melakukan tindakan seksual yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan budaya, seperti perilaku seksual diluar pernikahan, tindakan perkosaan dan homo seksual.  
Dalam kasus pendidikan seksual remaja di Kota Bangkinang Kabupaten Kampar terlihat bahwa kesenjangan pengetahuan seksualitas remaja disebabkan oleh keengganan orang tua menyampaikan pengetahuan seksualitas kepada para remaja. Jika kita melihat pada banyaknya kasus pelanggaran dan penyimpangan perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja, maka sudah sepantasnya para orang tua menjadi agen utama dalam pendidikan seksualitas kepada para remaja. Agar para remaja memperoleh pengetahuan seksualitas yang sesuai dengan perkembangan organ seksual remaja dan sesuai dengan ajaran agama dan budaya, sehingga para remaja tidak terjerumus dalam penyimpangan perilaku seksual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar