Oleh : Febby Febriyandi.YS
Krinok
merupakan salah satu seni vokal tradisi yang dimiliki masyarakat Melayu di Kecamatan
Rantau Pandan Kabupaten Muara Bungo. Seniman krinok mengatakan krinok adalah kesenian
tertua yang telah ada sejak masa pra sejarah dan masih dapat dijumpai hingga
saat ini. Ja’far Rassuh menduga cikal bakal krinok sebagai sebuah seni suara
telah ada jauh sebelum masuknya agama Budha ke wilayah Jambi. Pada masa itu
seni vokal digunakan untuk
pembacaan mantra atau do’a tertentu, inilah yang
kemudian berkembang menjadi kesenian krinok.
Heri Suroso yang mengutip
R. Van Heine Geldern mencoba menelusuri sejarah krinok lebih jauh. Dalam
makalahnya[1]
disebutkan bahwa krinok berawal dari lagu pantun bersahutan yang dibawa oleh
suku-suku di Annam (wilayah Cina Selatan) saat mereka bermigrasi menuju
Kamboja, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Philipina. Di Indonesia
sebagian dari mereka berlabuh di Pulau Sumatera bagian tengah. Mereka kemudian
memperkenalkan budidaya bambu dan kesenian lagu pantun yang bersahutan. Kesenian
ini kemudian terus eksis dalam masyarakat Jambi dengan berbagai nama seperti : senandung jolo (di daerah Tanjung Muara
Bungo), Mantau (di daerah Pelepat
Muaro Bungo, Sarolangun dan Tebo), Doak
(di daerah Tebo), dan Krinok (di
daerah Rantau Pandan Muara Bungo). Keempat kesenian tersebut sangat mirip dan
hanya dibedakan oleh materi lagu serta pilihan nada.
Sebagai sebuah bentuk kesenian,
krinok pada awalnya merupakan seni vokal yang sangat sederhana. Krinok hanya berupa puisi lama yang dinyanyikan sedemikian rupa
dengan nada-nada tinggi dan tanpa alat musik.
Krinok belumlah menjadi suatu
seni pertunjukan seperti sekarang, melainkan
sebuah seni suara yang bersifat sangat personal
dan dipenuhi emosi. M Hasan mengatakan, pada awal keberadaannya krinok hanya
dilantunkan oleh kaum laki-laki saat mereka bekerja di ladang atau mencari kayu
di hutan. Krinok dapat dilantunkan sendiri atau juga berbalasan dengan pelantun
lain yang berjarak ratusan meter. Kesenian krinok generasi awal ini sempat
mendapat pertentangan dari kalangan ulama. Krinok dinilai kurang sesuai dengan
ajaran Islam karena lirik krinok pada umumnya berisi ratapan. Namun kesenian
ini tetap bertahan karena dianggap memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat. Krinok
pada masa ini memiliki tiga fungsi yaitu sebagai penghibur diri, untuk mengusir
binatang buas dan untuk menarik hati perempuan yang ingin dinikahi. Karena
fungsinya sebagai penghibur diri, maka tidak ada lirik krinok yang baku. Setiap
pelantun bebas menyuarakan isi hati mereka, entah senang ataupun duka.
Berbeda
dengan kaum laki-laki, kaum perempuan menghibur diri dengan memainkan alat
musik kelintang kayu disela-sela waktu istirahat saat bekerja di sawah. Kelintang
kayu ini adalah alat musik tunggal yang mampu menghasilkan nada yang harmonis. Kelintang
kayu dibuat sendiri oleh kaum perempuan di Rantau Pandan menggunakan beberapa
potong kayu dari pohon ngkring beluka
yang sudah dikeringkan. Setelah kering, kayu di belah dua dan dipotong menurut
nada yang ingin dihasilkan. Potongan kayu tersebut disusun di atas kotak kayu
persegi panjang dengan diberi alas dari ban bekas. Uniknya, kelintang kayu
hanya memiliki 6 potongan kayu sehingga hanya memiliki 6 nada. Pada masa dahulu
masyarakat Rantau Pandan belum mengenal notasi balok kelintang kayu sehingga
lebih mengandalkan naluri si pemain. Agar menghasilkan nada-nada yang indah
kelintang kayu dimainkan oleh dua orang pemain.
Pada
awalnya kelintang kayu dimainkan tanpa lagu, hanya alunan nada saja. Namun
dalam perkembangan selanjutnya seniman krinok di Rantau Pandan memadukan vokal
krinok dengan alunan nada kelintang kayu sehingga menghasilkan seni musik yang
lebih menarik. Pada fase ini krinok mulai dimainkan saat bekerja di sawah, baik
vokal solo maupun duet. Bahkan krinok dengan iringan kelintang kayu menjadi
hiburan wajib bagi muda-mudi yang ikut serta dalam kegiatan beselang (gotong royong) di sawah maupun
ladang.
Dalam perkembangan
selanjutnya, kesenian krinok tidak hanya diiringi dengan alat musik kelintang
kayu. Beberapa alat musik mulai dipadukan dengan krinok seperti gong, gendang
panjang serta biola. Keempat alat musik tersebut kemudian menjadi pakem bagi
musik pengiring krinok. Dengan alat musik yang lebih lengkap, kesenian krinok
semakin memikat para penggemarnya. Fase ini dapat dikatakan sebagai fase
penting dalam perkembangan krinok, karena dengan bertambahnya musik pengiring
krinok menjadi suatu kesenian yang lebih dinamis. Sedikitnya ada lima point
perkembangan yang terjadi pada fase ini selain pertambahan alat musik, yaitu :
Pertama, ruang pementasan krinok semakin luas. Krinok tidak hanya dimainkan
saat kegiatan beselang tetapi juga
menjadi hiburan pada pesta perkawinan. Kedua, seniman krinok mulai membentuk
sebuah kelompok seniman dengan anggota relatif tetap dan mulai menjadikan
krinok sebagai sumber penghasilan sampingan. Ketiga, Krinok mulai mengenal
lirik baku yang dikenal umum dan terpola dalam setiap pertunjukannya. Keempat,
seniman krinok mulai menggunakan kostum dan tatarias. Kostum pemain laki-laki
terdiri dari peci hitam, baju teluk belango beserta celana dan kain sarung
sebagai kain pinggang. Sedangkan kostum untuk pemain krinok perempuan adalah kerudung,
baju kurung panjang yang dipadukan dengan kain sarung. warna kostum disesuaikan
dengan selera pemain musik. Kelima hilangnya bentuk awal krinok sebagai seni
vokal yang bersifat ekspresif dan personal.
Krinok
yang telah dipadukan dengan iringan berbagai alat musik menjadi kesenian yang
semakin digemari terutama oleh muda-mudi. Krinok selalu dimainkan saat berselang, pada malam pesta pernikahan
dan pada kegiatan lainnya. Iringan musik krinok yang menarik memikat para
muda-mudi untuk menari secara bebas, saling berbalas pantun untuk mengungkapkan
perasaan yang sedang kasmaran. Sejak saat itu krinok dipadukan pula dengan tari
tauh yang merupakan tari pergaulan muda-mudi. Dan untuk semakin melengkapinya
ditambahkan pula berbagai pantun muda-mudi sebagai lirik krinok. Pada fase ini
kesenian krinok semakin lengkap dan menarik sebagai suatu seni pertunjukan,
sehingga ruang penampilan kesenian krinok semakin luas. Salah satu contoh lirik
krinok sebagai berikut :
Kalau adik menjahit tudung
Sayo menjahit lengan baju
Kalau adik menjadi burung
Sayo menjadi dahan kayu
Endak kemano mau kemano
Dari jepun ke bandar cino
Jangan marah abang betanyo
Yang baju hijau siapo namonyo
Mek ayu pande menyulam
Patah jarum kelingking luko
Kalau rindu tak ado bulan
Dalam bulan kito bejumpo
Kesenian krinok yang dikenal khalayak ramai hingga hari
ini adalah suatu bentuk kesenian yang memiliki lantunan vokal yang khas, iringan
musik serta gerak tari yang menarik. Kesenian ini tidak hanya menjadi konsumsi
masyarakat rantau pandan tetapi juga telah dipelajari oleh seniman musik dari
daerah lain seperti Sarolangun dan Kota Jambi. Sayangnya dengan sebaran yang
cukup luas ternyata tidak menjadikan krinok kebal dari ancaman kepunahan. Di
Rantau Pandan sendiri penampilan krinok semakin jarang yang disebabkan berbagai
faktor seperti : 1) Kegiatan beselang sebagai
ruang utama pementasan krinok sudah sangat jarang, karena masyarakat Rantau
Pandan semakin tergantung pada sistem upah dalam mengolah lahan pertanian. 2)
Kurangnya seniman krinok karena buntunya upaya regenerasi. 3) Krinok tidak
dapat diandalkan sebagai sumber mata pencaharian para seniman, sehingga banyak
seniman yang memilih pekerjaan lain, yang pada akhirnya semakin jauh dari
kesenian krinok. 4) Terdapatnya norma adat yang membatasi ruang pementasan
krinok. Krinok hanya boleh dimainkan di dalam kampung untuk suatu acara adat
seperti pesta perkawinan.
Saat ini
upaya pelestarian krinok telah dan sedang dilakukan oleh berbagai pihak,
seperti Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang, Dinas Kebudayaan dan
Priwisata Kab. Muara Bungo ataupun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Jambi. Kesenian krinok ditampilkan dalam berbagai even kesenian maupun sebagai hiburan
dalam kegiatan lain. Zulbahri mengatakan saat ini pihak pemerintah telah
memberikan kesempatan kepada kesenian daerah termasuk krinok untuk ditampilkan
dalam berbagai acara. Namun demikian, jika hanya mengharapkan kesempatan dari
pemerintah, kesenian tradisi seperti krinok akan sulit bertahan ditengah gempuran
berbagai kesenian modern. Oleh karena itu, upaya pelestarian krinok perlu
dilakukan dengan meningkatkan animo masyarakat akan kesenian tersebut. Sehingga
masyarakat mampu memberikan ruang ekspresi yang luas bagi eksistensi krinok.
Update 6/3/2013. Film Dokumenter Krinok Rantau Pandan, dapat dilihat di sini : http://www.youtube.com/watch?v=gZRsjDBfpIQ
Update 6/3/2013. Film Dokumenter Krinok Rantau Pandan, dapat dilihat di sini : http://www.youtube.com/watch?v=gZRsjDBfpIQ
Sumber :
1. Data Penelitian
2. Rassuh Ja’far (ed). Musik Tradisional.
Dinas Kebudayaan dan pariwisata Provinsi Jambi.
3. Raseuki Nyak Ina. Dkk. 2011. Krinok
Ciri Senandung Melayu Jambi. Pemerintah profinsi Jambi bekerja sama dengan
Dewan Kesenian Jambi.
[1] Heri Suroso. “Musik
Krinok”. Makalah dalam : Musik Tradisional. Dinas Kebudayaan dan Periwisata
Provinsi Jambi.