Pendahuluan
Sebagai generasi penerus dari suatu masyarakat, remaja
mempunyai hak dan kewajiban serta status dan peran yang harus dipatuhinya dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat. Untuk dapat menjalankan kewajiban serta
perannya di dalam keluarga dan masyarakat, para remaja telah dan akan terus
mendapatkan serangkaian proses pendidikan di dalam lingkungan masyarakatnya.
Proses pendidikan tersebut memiliki peran penting dalam suatu masyarakat karena
bertujuan menanamkan nilai-nilai dan seperangkat pengetahuan yang memberikan
kemampuan kepada individu-individu untuk memahami lingkungan alam dan
lingkungan sosialnya, serta menentukan tindakannya.
Dengan
kata lain proses pendidikan
sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan budaya yang dimiliki oleh
masyarakat. Kebudayaan
dan pendidikan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan karena saling
mengikat. Kebudayaan itu hidup dan berkembang karena proses pendidikan, dan
pendidikan itu sendiri terdapat dalam suatu konteks kebudayaan. Dalam arti
tertentu proses pendidikan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses
pembudayaan yang dinamis (Santoso, 1981 : 1-2).
Salah satu pengetahuan yang
penting dan sekaligus sensitif untuk diberikan kepada remaja adalah pengetahuan
mengenai persoalan seksualitas. Bagi
masyarakat Indonesia umunya dan masyarakat Bangkinang khususnya, membincangkan
persoalan seksualitas apalagi kepada para remaja merupakan suatu hal yang
dianggap tabu, sehingga pendidikan seksualitas dianggap tidak perlu diberikan
kepada para remaja. Faktanya anggapan demikian merupakan pendapat yang kurang
tepat, karena bagaimanapun para remaja membutuhkan transfer pengetahuan
seksualitas agar mampu bertindak sesuai dengan agama dan adat. Pendapat yang
mengatakan pendidikan seksualitas tidak diperlukan muncul karena pemahaman yang
salah terhadap kata seks
dan pendidikan seksualitas. Seks dan seksualitas dianggap
sama dan hanya diartikan sebagai hubungan kelamin, yang menurut adat terlarang
untuk dibicarakan di depan umum. Sedangkan
pendidikan seks atau pendidikan seksualitas sering diartikan sebagai pendidikan
yang mengajarkan tata cara melakukan hubungan seksual.
Pemahaman demikian
sesungguhnya salah kaprah. Seksualitas sebenarnya memiliki makna yang lebih luas dari kata seks yang
berarti jenis kelamin. Seksualitas paling tidak menyangkut dimensi biologis, psokologis, sosial,
perilaku dan kultural. Dilihat dari sisi biologis, seksualitas berkaitan dengan
organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk di dalamnya bagaimana menjaga
kesehatan, memfungsikan dengan optimal secara biologis, sebagai alat
reproduksi, sebagai alat rekreasi dan sarana pemenuhan dorongan seksual. Dari
dimensi psikologis, seksualitas berhubungan dengan bagaimana menjalankan fungsi
sebagai makhluk seksual, identitas dan peran jenis kelamin, serta perasaan terhadap
seksualitas sendiri. Dimensi sosial menyorot kepada bagaimana seksualitas
muncul dalam relasi antar manusia, bagaimana lingkungan berpengaruh dalam
pembentukan pandangan mengenai tindakan seksual. Dalam hal ini dipahami juga
bahwa seksualitas dipengaruhi oleh agama, ekonomi, keluarga, dan aspek hukum.
Dimensi perilaku menunjukkan bagaimana seksualitas itu diterjemahkan menjadi
tindakan seksual, yaitu segala tindakan yang muncul berkaitan dengan dorongan
seks. Dimensi kultural menunjukkan bagaimana tindakan seksual menjadi bagian
dari budaya yang ada dalam masyarakat (Pratiwi, 2004 : 17-18).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa seks dan seksualitas tidak hanya merujuk kepada hubungan
badan, tetapi menyangkut banyak hal yang berhubungan dengan jenis kelamin,
termasuk norma yang mengatur tindakan seksual agar sesuai dengan ajaran agama
dan budaya. Oleh karena itu maka pendidikan seksualitas bukanlah pendidikan
yang bertujuan mengajarkan tata cara hubungan badan, melainkan sebuah proses dimana seorang individu dari masa kanak-kanak hingga
masa tuanya mendapatkan pengetahuan mengenai organ seks, identitas seksual, aturan
mengenai tindakan seksual serta berbagai nilai, norma seksualitas yang terdapat
dalam masyarakat. Dengan pengertian seperti itu, penulis meyakini bahwa setiap
masyarakat memiliki pola pendidikan seksualitas tersendiri yang sesuai dengan
agama dan budaya mereka, meskipun proses transfer pengetahuan tersebut tidak
dianggap sebagai sebuah pendidikan seksualitas melainkan sebuah pengajaran
moral dan akhlak kepada generasi muda.
Pada masyarakat Bangkinang
Kabupaten Kampar misalnya, terdapat pola pendidikan seksualitas yang sesuai
dengan agama dan tradisi masyarakat disana, meskipun proses itu tidak dipandang
sebagai suatu pendidikan seksualitas. Proses pendidikan dimaksud telah
berlangsung sejak usia dini hingga usia dewasa dan disampaikan oleh sedikitnya
5 agen pendidikan mulai dari orang tua, teman sebaya, sekolah, media massa dan
masyarakat di lingkungan tempat tinggal.
Berikut ini akan dipaparkan
secara ringkas proses pendidikan seksualitas yang telah diterima para remaja di
Bangkinang, khususnya yang diterima dari orang tua. Proses
ini merupakan pendidikan yang penting bagi remaja karena melalui proses ini
orang tua menanamkan nilai-nilai seksualitas ideal kepada anak mereka.
Proses Pendidikan Seksualitas
1.
Masa
Kanak-kanak
Remaja sebagai anggota dalam sebuah keluarga mendapatkan
pendidikan seksualitas untuk yang pertama kalinya dari lingkungan keluarga
mereka.
Sejak masa kanak-kanaknya para remaja di Bangkinang sudah mendapatkan berbagai
pengetahuan seksualitas yang disesuaikan dengan usia mereka. Para orang tua
memandang bahwa masa kanak-kanak adalah usia kurang dari 10 tahun. Masa ini
merupakan suatu masa dimana seorang manusia masih memiliki keterbatasan untuk
mengerti semua persoalan seksualitas. Tidak semua pengetahuan seksualitas dapat
dimengerti oleh anak-anak, sehingga anak-anak perlu dibatasi dan dijauhkan dari
pengetahuan seksualitas yang belum menjadi “makanan” mereka. Pengetahuan yang diperoleh pada masa
kanak-kanak merupakan pengenalan
awal mengenai penamaan alat kelamin, larangan bertelanjang, penjelasan mengenai
pacaran dan adegan berciuman, larangan mempermainkan alat kelamin, penjelasan
mengenai proses terciptanya manusia, serta penjelasan
mengenai perbedaan bentuk
fisik
antara laki-laki dan perempuan.
Mengenai penamaan alat kelamin laki-laki maupun
perempuan, para orang tua menggunakan kata-kata yang dianggap lebih ”halus”.
Penggunaan kata-kata yang lebih halus ini berkenaan dengan upaya orang tua
untuk menjauhkan anak mereka dari kata-kata yang dianggap tergolong sebagai
porno wicara. Saat masih kanak-kanak para remaja telah mendapatkan penjelasan mengenai
perlunya menutup alat kelamin dan dilarang untuk bertelanjang. Seorang anak
dilarang untuk memperlihatkan alat kelaminnya kepada orang lain. Jika seorang anak
tidak berpakaian, maka orang-orang disekelilingnya akan memberikan sanksi
sosial yang terwujud dalam tindakan mentertawai atau mencemooh anak tersebut.
Larangan ini didasarkan pada pandangan masyarakat Bangkinang bahwa alat kelamin
merupakan organ tubuh yang paling pribadi, oleh karenanya tidak diperbolehkan
untuk memperlihatkan alat kelamin, atau melihat alat kelamin orang lain.
Anak-anak juga dilarang untuk mempermainkan alat
kelaminnya yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kebiasaan masturbasi pada usia remaja. Anak-anak yang suka memeganag alat
kelaminnya dikatakan akan diganggu oleh hantu atau sosok mahkluk menyeramkan
lainnya sehingga menderita suatu penyakit.
Penjelasan seperti ini untuk sementara waktu bisa diterima oleh anak dan cukup
efektif mencegah anak-anak bermain-main dengan alat kelaminnya.
Akan tetapi ketika memasuki usia remaja awal penjelasan
demikian tidak lagi dapat memenuhi rasa keingintahuan para remaja.
Para
orang tua di Bangkinang mengakui
sering menghadapi kesulitan untuk memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan
yang terlontar dari anak-anak mereka berkenaan dengan proses penciptaan janin dan kelahiran manusia.
Kesulitan ini disebabkan karena orang tua kesulitan
mengkomunikasikan hal-hal yang mereka anggap belum bisa dipahami oleh anak
mereka. Selain itu para orang tua mengakui bahwa pertanyaan dari mana datangnya
seorang anak manusia merupakan salah satu pertanyaan yang sulit untuk
dijelaskan .
Anak-anak
juga telah mendapatkan penjelasan mengenai perbedaan bentuk fisik manusia.
Orang tua mereka menjelaskan bahwa jenis kelamin dan bentuk tubuh merupakan
bawaan sejak lahir yang diberikan oleh
Allah swt
(sesuatu yang bersifat given). Tuhan
menciptakan manusia ada laki-laki dan ada perempuan. Orang tua juga menjelaskan
perbedaan bentuk tubuh antara anak-anak dan orang dewasa sebagai sebuah hal
yang alamiah. Anak-anak diberikan penjelasan bahwa semakin bertambah umur
seseorang maka akan semakin bertambah besar tubuhnya dan mengalami berbagai
perkembangan organ fisik.
2.
Masa
Remaja
Masa
remaja merupakan masa transisi untuk mencapai kematangan seksual pada saat
dewasa. Oleh karenanya setiap orang tua mengharapkan para remaja memiliki
berbagai pengetahuan dan kemampuan yang berfungsi untuk membentengi para remaja
dari berbagai tindakan yang tidak dibenarkan dalam masyarakat. Beberapa
pengetahuan yang diterima oleh remaja adalah aturan agama dalam perilaku seks,
perkembangan organ seksual dan nilai tanggung jawab. Dalam upaya
menanamkan nilai-nilai tersebut, sebagian besar orang tua bersikap keras dan
tertutup. Hanya sebagian kecil orang tua yang menyampaikan dengan menunjukkan
sikap keterbukaan tanpa perlu memarahi si anak.
Sebagai
umat muslim para remaja mendapatkan penjelasan tentang aturan Islam yang
mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang telah dewasa. Para remaja mendapatkan pengetahuan bahwa di dalam agama
Islam sangat diharamkan perbuatan zina. Remaja diberi penjelasan bahwa tindakan
seksual tanpa ikatan pernikahan merupakan perbuatan zina dan mendapat dosa dari
Allah swt. Tindakan ini dikenal masyarakat Bangkinang dengan istilah bakalaha. Selain itu,
para remaja juga mendapatkan penjelasan mengenai perilaku berpacaran. Sebagian
orang tua melarang anak remaja mereka berpacaran karena berpacaran dianggap sebagai gerbang menuju pergaulan bebas. Menurut para orang tua,
pelarangan ini dilakukan dengan mengontrol teman pergaulan dan selalu
memperhatikan perilaku
anak tersebut. Para remaja dibatasi untuk keluar rumah sehingga mereka tidak
punya waktu untuk berpacaran. Sikap orang tua ini tenyata tidak menjadi halangan bagi
para remaja untuk berpacaran.
Meskipun orang tua melarang dan mengawasi anaknya, tetapi remaja tetap
berpacaran dan merahasiakan hal tersebut dari orang tuanya. Para remaja tetap
berpacaran dengan alasan mereka mampu menjauhkan diri dari hal-hal yang membuat
malu keluarga
Selain mengenai perbuatan zina
dan berpacaran, para remaja juga
mendapatkan penjelasan mengenai kewajiban menutup aurat mereka masing-masing.
Penekanan menutup aurat ini lebih ditekankan kepada remaja perempuan dari pada
remaja laki-laki. Salah seorang remaja putri di Bangkinang mengatakan yang
dimaksud aurat dalam agama Islam adalah bagian tubuh yang harus ditutupi karena
menimbulkan syahwat bagi orang yang melihatnya. Pada laki-laki bagian tubuh yang menjadi
aurat hanyalah bagian atas lutut hingga pusar. Sedangkan bagi perempuan hampir
seluruh tubuh mereka adalah aurat, kecuali muka dan telapak tangan.
Meskipun telah mendapatkan pengetahuan mengenai aurat sebagaimana dalam ajaran
Islam, akan tetapi sebagian remaja putri memiliki interpretasi sendiri dengan mengatakan
bahwa seorang perempuan dikatakan
telah menutup aurat jika telah berpakaian sopan yaitu menutup bagian tubuh dari bagian dada hingga
ke lutut.
Para
remaja juga mendapatkan penjelasan
mengenai kewajiban seorang muslim untuk selalu menjaga
pandangan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak sopan. Orang tua
menekankan bahwa setiap umat muslim harus menjaga penglihatan, tidak boleh
melihat aurat orang yang bukan muhrimnya. Remaja dilarang untuk melihat
(mengintip) orang lain yang sedang mandi. Remaja dilarang untuk melihat gambar
telanjang atau photo yang “seronok”, adegan yang bersifat pornografi dan
fulgar. Upaya ini dilakukan oleh orang
tua dengan memeriksa kamar tidur anaknya secara diam-diam, dan memeriksa
telefon genggam anaknya. Segala tindakan yang dilarang kepada remaja merupakan
perbuatan yang tidak terpuji dan mendapatkan sanksi baik dari lingkungan
keluarga maupun dari masyarakat lingkungan tempat tinggalnya.
Para remaja di Bangkinang merasa bahwa
mereka perlu dan telah layak untuk mendapatkan penjelasan
mengenai perkembangan organ seksual yang sedang mereka alami. Para remaja mengaku
sering merasa kebingungan saat mereka berhadapan dengan
berbagai persoalan yang enggan dijelaskan kepada mereka. Saat mencapai usia
remaja, seorang anak laki-laki memiliki ketertarikan terhadap pembahasan
mengenai alat kelamin, baik mengenai alat kelaminnya sendiri, maupun terhadap
alat kelamin perempuan. Remaja laki-laki menyimpan pertanyaan mengenai
perbedaan perkembangan organ seks yang dialaminya. Remaja laki-laki juga
memiliki pertanyaan mengenai mimpi basah yang mereka alami untuk pertama
kalinya. Beberapa remaja laki-laki di Bangkinang mengatakan bahwa mereka tidak
mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai perkembangan organ seks dari orang
tua. Menurut mereka orang tua tidak bersedia untuk memberikan penjelasan yang mereka
butuhkan.
Menurut para remaja, orang tua selalu marah saat mereka bertanya mengenai alat kelamin. Hal ini
menyebabkan mereka tidak berani bertanya kepada orang tua, meskipun mereka
memiliki banyak pertanyaan mengenai persoalan seksualitas. Para remaja mengakui cenderung mencari informasi dari teman sebaya atau
menguping pembicaraan orang dewasa di lingkungan tempat tinggalnya. Para remaja
mengakui mendapatkan banyak informasi seputar seksualitas dari teman sebayanya. Para remaja memandang bahwa kebenaran mengenai informasi
dari teman sebaya tidak perlu dipertanyakan kembali kepada orang tuanya, karena
orang tua tidak akan berbicara jujur dan terbuka kepada mereka mengenai
persoalan seksualitas. Para remaja menyadari bahwa di dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat mereka tidak
pernah diizinkan untuk membahas persoalan seks, karena hal tersebut merupakan
suatu pantangan. Sikap orang tua yang sangat tertutup ini
disebabkan oleh kebingungan dalam menyikapi perkembangan seksualitas anak
mereka. Beberapa orang tua mengakui tidak memiliki pengetahuan mengenai
perkembangan seksualitas remaja.
Sedikit berbeda dengan remaja
laki-laki, remaja perempuan lebih banyak mendapatkan pengetahuan mengenai organ
seksualnya. Setiap remaja perempuan mendapatkan keterangan mengenai pertumbuhan
payudara, menstruasi dan kehamilan yang berkaitan dengan keperawanan sebagai
standar penilaian bagi perempuan “baik-baik”. Remaja perempuan mendapatkan
pengetahuan mengenai pertumbuhan organ seksual dari Ibu dan saudara
perempuannya. Penjelasan ini juga telah diperoleh saat masih kanak-kanak, dan dimantapkan
saat mereka memasuki usia dewasa.
Mengenai menstruasi, remaja
perempuan di Bangkinang diajarkan bahwa menstruasi merupakan gejala yang
alamiah bagi setiap perempuan. Menstruasi terjadi karena terdapat darah kotor
di dalam perut yang harus dikeluarkan setiap bulan. Remaja perempuan juga
diajarkan etika membuang pembalut wanita yang telah dipakainya. Para remaja
perempuan percaya bahwa pembalut wanita tidak boleh dibuang sembarangan, karena
darah yang menempel pada pembalut harus dibersihkan terlebih dahulu. Hal ini
dilakukan karena terdapat kepercayaan bahwa darah yang menempel pada pembalut
bisa disalahgunakan untuk mencelakai si perempuan melalui perbuatan gaib.
Remaja perempuan juga mendapatkan
pengetahuan mengenai kehamilan. Saat remaja, seorang perempuan diberi
keterangan yang lebih memadai dan sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh
orang tua. Remaja perempuan yang sudah menstruasi diberikan penjelasan bahwa
dirinya sudah bisa hamil seperti layaknya perempuan yang sudah bersuami. Remaja
permpuan juga mendapatkan penjelasan bahwa kehamilan disebabkan karena seorang
perempuan tidur dengan seorang laki-laki. Oleh karena itu seorang perempuan
harus menjaga sikap dan tingkah laku serta membatasi pergaulannya. Cara menjaga
diri misalnya dengan menutup aurat, tidak meladeni laki-laki yang iseng, tidak
bersendagurau yang berlebihan dengan laki-laki dan berdua-duan dengan laki-laki
yang bukan muhrim.
Meskipun para remaja perempuan mendapatkan penjelasan mengenai kehamilan,
tetapi remaja tidak mendapatkan pengetahuan bagaimana melakukan hubungan seks,
dan berbagai upaya untuk mencegah kehamilan tersebut. Hal ini dikarenakan para
orang tua merasa khawatir pengetahuan yang diberikan akan mendorong para remaja
untuk mencoba pengetahuan yang telah diterima, sehingga pengetahuan yang
diberikan kepada remaja akan menjadi sejata makan tuan bagi orang tua.
Penjelasan mengenai kehamilan sebelum menikah selalu dikaitkan dengan nilai
keperawanan. Remaja perempuan
mendapatkan penjelasan bahwa seorang yang tidak perawan lagi dinilai sebagai
perempuan yang tidak lagi memiliki harga diri, dan dicap sebagai perempuan
“murahan”. Seorang perawan berarti tidak pernah bergaul secara bebas dengan
laki-laki. Seorang perawan adalah sebuah benda yang berharga yang dimiliki oleh
keluarganya. Bila seorang laki-laki ingin memiliki seorang gadis, maka dia
harus memintanya secara baik-baik kepada orang tuanya melalui sebuah pernikahan.
Berkenaan dengan
perilaku seks para remaja diarahkan untuk memiliki kemandirian dan rasa
tanggung jawab. Beberapa orang tua mengatakan bahwa seorang remaja harus
dididik untuk memiliki rasa tanggung jawab. Penanaman nilai ini sangat penting
bagi seorang remaja. Membiasakan remaja untuk bertanggungjawab atas segala
perbuatannya mutlak diperlukan. Dengan penekanan bahwa setiap orang harus
bertanggung jawab atas perbutannya, remaja akan memiliki kesadaran dan tidak
berani melakukan hal-hal yang dilarang dalam lingkungan masyarakatnya, karena
pelanggaran berarti harus mendapatkan sanksi. Dengan penanaman nilai-nilai
tanggungjawab terhadap Tuhan, diri pribadi, orang tua serta lingkungan
masyarakat, remaja akan mampu menjaga dirinya dari segala bentuk pergaulan
bebas. Setiap remaja yang menjaga nilai-nilai tanggungjawab diyakini akan mampu
mengambil tindakan yang tepat dalam perilaku seksnya.
Pandangan Remaja Terhadap
Pendidikan Seksualitas Dari Orang Tua
Menurut para remaja, penyampaian pengetahuan
seksualitas yang dilakukan oleh orang tua merupakan sebuah komunikasi satu
arah. Orang tua selalu menegaskan bahwa segala perkataan orang tua adalah hal
yang benar dan harus diterima oleh si anak sebagai suatu kebenaran pula. Orang
tua selalu menekankan nilai ideal yang dipahami sebagai sebuah kebenaran, dan
tidak mau tahu dengan realitas tindakan seksual yang terjadi di lingkungan
kehidupan remaja. Para remaja juga mengatakan bahwa orang tua tidak mau tahu
dengan kebingungan yang dirasakan remaja yang diakibatkan oleh beragamnya
pengetahuan mengenai seksualitas yang diperoleh remaja dari berbagai pihak.
Para remaja juga merasakan bahwa pengetahuan yang diberikan oleh orang tua
adalah pengetahuan yang bersifat umum, kurang jelas dan terkadang tidak sesuai
dengan pengetahuan yang dibutuhkan oleh remaja.
Sikap orang tua seperti itu
mendukung berubahnya nilai seksualitas dalam diri para remaja. Meskipun sejak
kecil hingga masa remaja telah ditanamkan nilai-nilai ideal tetapi ternyata
nilai tersebut tidak cukup kuat untuk membendung keingintahuan para remaja. Hal
ini dikarenakan sikap orang tua yang sangat tertutup, membuat remaja bersikap
berbeda dari yang diharapkan orang tua mereka. Para remaja akhirnya mencari
sumber pengetahuan lain yang dirasa mampu menjawab semua rasa ingin tahu mereka,
tanpa memperdulikan apakah pengetahuan tersebut sesuai atau tidak dengan agama
dan budaya mereka.
Kesimpulan
Dari
pemaparan mengenai proses pendidikan seksualitas dari masa kanak-kanak hingga
remaja dilingkungan keluarga tampak bahwa pengetahuan seksualitas yang diterima
para remaja masih minim dan terbatas pada penekanan nilai agama dan budaya. Pendidikan
seksualitas dari orang tua dipandang para remaja minim pengetahuan mengenai
organ seksual dan prilaku seksual. Kurangnya pengetahuan dari orang tua
mendorong remaja mencari pengetahuan seksualitas dari teman sebaya dan media
massa yang pada akhirnya justru mendorong para remaja melakukan tindakan
seksual yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan budaya, seperti perilaku
seksual diluar pernikahan, tindakan perkosaan dan homo seksual.
Dalam kasus
pendidikan seksual remaja di Kota Bangkinang Kabupaten Kampar terlihat bahwa
kesenjangan pengetahuan seksualitas remaja disebabkan oleh keengganan orang tua
menyampaikan pengetahuan seksualitas kepada para remaja. Jika kita melihat pada
banyaknya kasus pelanggaran dan penyimpangan perilaku seksual yang dilakukan
oleh remaja, maka sudah sepantasnya para orang tua menjadi agen utama dalam pendidikan
seksualitas kepada para remaja. Agar para remaja memperoleh pengetahuan
seksualitas yang sesuai dengan perkembangan organ seksual remaja dan sesuai
dengan ajaran agama dan budaya, sehingga para remaja tidak terjerumus dalam
penyimpangan perilaku seksual.