Oleh : Hendra Kurniawan*
Abstrak
Teori-teori kebudayaan kontemporer yang berkembang setelah tampilnya pendekatan interpretatif Geertz, berusaha menghindari esensialisme dan reifikasi dalam penggambaran suatu kebudayaan. Secara umum, esensialisme adalah pandangan yang berasumsi bahwa kata-kata memiliki acuan yang stabil, sedangkan anti-esensialisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa kata-kata tidak boleh dianggap mengacu pada kualitas-kualitas esensial atau universal. Posmodernisme sendiri adalah anti-esensialisme yang berupa; (a) gaya kultural yang ditandai oleh intertekstualitas, ironi, pastise, pengaburan genre dan brikolase; (b) gerakan filosofis yang menolak narasi-narasi besar, yaitu penjelasan universal tentang sejarah dan tindakan manusia dan berpihak pada ironi dan pengetahuan-pengetahuan lokal.
I
Esensialisme dicirikan pada penekanan waktu kekinian (temporer), yang sering diperlakukan sebagai hal yang bersifat tidak berubah. Esensialisme berasumsi bahwa kategori-kategori sosial merupakan cermin dari suatu identitas esensial yang tersembunyi. Menurut pandangan ini, kita bisa menemukan adanya kebenaran-kebenaran yang stabil dan esensi, dimana kata-kata mengacu pada esensi yang tetap, dan karena itu identitas dipandang sebagai entitas yang tetap. Dengan demikian, ada kebenaran-kebenaran yang selalu tetap yang bisa dicari (Barker, 2005: 27). Bentuk Esensialisme yang banyak dipelajari oleh antropolog adalah pencarian suatu budaya otentik sebagai dasar legitimasi kolektif, yang kemudian dikritik oleh relativisme dalam antropologi, karena esensialisme dianggap memusatkan perhatian pada ideologi nasionalisme, yang bersifat kontradiktif dengan penindasan pada tingkat lokal dan orientasi praksis pelaku yang justru diminati oleh para etnografer (Barnard, 1996: 188).
Sebaliknya, bagi Anti-Esensialisme, tidak ada kebenaran, subyek, ataupun identitas yang berada di luar bahasa. Dalam pandangan ini, kategori—sebagai konstruksi diskursif—mengubah maknanya sesuai waktu, tempat dan penggunaannya. Sebagai contoh, karena tidak mengacu pada esensi, identitas dianggap bukan sebagai sesuatu yang universal, melainkan deskripsi-deskripsi dalam bahasa. Bahasa dipandang tidak memiliki acuan tetap, dan karena itu tidak mungkin bisa merepresentasi identitas atau kebenaran-kebenaran yang tetap. Dengan demikian, identitas kulit hitam bukan sesuatu yang tetap dan universal, melainkan deskripsi-deskripsi (Barker, 2005: 27).
Pada dasarnya, Anti-Esensialisme tidak melarang kita bicara tentang kebenaran identitas. Hanya saja, Anti-Esensialisme memandang bahwa kebenaran atau identitas bukanlah sesuatu yang universal, yang berasal dari alam, melainkan hasil produksi budaya dalam waktu dan tempat tertentu. Subyek yang berbicara selalu tergantung pada posisi-posisi diskursif yang lebih dulu ada. Kebenaran bukan sesuatu yang ditemukan, melainkan diciptakan, dan identitas adalah konstruksi diskursif. Jika Esensialisme memberikan kepastian ilmiah, maka Anti-Esensialisme menawarkan ironi, yaitu suatu kesadaran akan sifat tidak tetap dan terkonstruksi dari keyakinan dan pemahaman-pemahaman kita yang tidak memiliki landasan universal.
Pencarian terhadap identitas berlandaskan gagasan bahwa ada ada hal yang bisa ditemukan, yaitu bahwa identitas merupakan inti diri yang bersifat universal dan kekal yang kita miliki. Bisa dikatakan bahwa orang memiliki esensi diri yang disebut dengan identitas. Esensialisme seperti ini beranggapan bahwa gambaran-gambaran perihal diri manusia mencerminkan identitas mendasar yang esensial. Artinya, Esensialisme merupakan sesuatu yang tetap dari maskulinitas, feminitas, orang Asia, orang Indonesia, , remaja, dan semua kategori sosial lainnya.
Pendapat seperti ini ditentang oleh Anti-Esensialisme yang beranggapan bahwa identitas bersifat sepenuhnya “kebudayaan” atau “kultural”, yang khas pada masing-masing zaman dan tempat. Sebab, menurut pandangan ini, identitas bersifat lentur dan kultur (kebudayaan) bersifat cair. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk identitas bisa ditukar-tukar dan terkait dengan keadaan (konjungtur) sosial dan kultural tertentu. Di sini, kata identitas tidak mengacu pada kualitas esensial maupun universal, karena bahasa adalah ‘menciptakan’, bukan ‘menemukan’. Untuk itu, identitas bukanlah suatu benda, melainkan gambaran dalam bahasa, karena identitas itu sendiri adalah ciptaan wacana yang bisa berubah makna sesuai waktu, tempat, dan penggunaan (Barker, 2005: 219). Kepedulian antropologi masa kini terhadap kemajemukan wacana kebudayaan dan pengetahuan yang termarjinalkan oleh kekuasaan, berkaitan erat dengan kiprah antropologi dewasa ini yang menentang “esensialisme budaya”.[1] Untuk selanjutnya, pendekatan prosesual yang anti-esensial digunakan sebagai salah satu alternatif pendekatan yang menyajikan kemungkinan bagi peneliti antropologi untuk mendeskripsikan dan menjelaskan dinamika budaya.
II
Salah satu aspek yang terkait dengan asumsi dasar dari pendekatan prosesual yang anti-esensial adalah karakter yang dinamis dari kebudayaan. Dalam hal ini, “kebudayaan” diyakini selalu mengalami perubahan. Bertolak dari aspek dinamis kebudayaan inilah, maka Borofsky (1994: 313) mengangkat kembali sebutan untuk kebudayaan yang pernah digagaskan oleh Keesing (1994: 301), yaitu sebagai “the cultural”. Dalam pengertian ini, secara jelas, ditegaskan bahwa sebutan the cultural dinilai lebih tepat dari pada a culture, yang cenderung menggambarkan aspek statis dari kebudayaan. Winarto menambahkan bahwa jika dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia, mungkinkah istilah “kultural” lebih tepat mengacu pada the cultural, ataukah “budaya” untuk menggantikan “kebudayaan”? (Winarto, 1999: 26). Dalam tulisannya, Winarto justru menggunakan istilah “budaya” untuk mengacu pada “kultural” atau the cultural dengan penekanan pada karakternya yang dinamis, yang selalu dalam pembentukan, penciptaan kembali, pemodifikasian, dan penyesuaian.
Kebudayaan[2] memiliki dua aspek; (1) makna dan arahan-arahan yang sudah dikenal, yang dilatihkan pada para anggota budaya itu; dan (2) observasi dan makna-makna baru, yang ditawarkan dan diuji. Semua ini merupakan proses-proses biasa dalam masyarakat dan jiwa manusia, dan oleh karenanya kita bisa melihat sifat dari kebudayaan, yaitu bahwa kebudayaan selalu tradisional sekaligus kreatif (makna-makna umum yang paling biasa, sekaligus makna-makna individual yang paling halus).
Kebudayaan itu sendiri digunakan dalam dua pengertian; (1) sebagai keseluruhan cara hidup, yaitu makna-makna yang umum; dan (2) untuk menunjuk pada kesenian dan pembelajaran, yaitu proses-proses khusus penemuan dan usaha kreatif. Dalam setiap masyarakat dan setiap jiwa, kebudayaan merupakan hal-hal yang dialami dalam kehidupan sehari-hari (Williams, 1989: 4). Dengan demikian, kebudayaan bergantung pada keserupaan secara umum, dalam penafsiran secara bermakna oleh para anggotanya terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka dan keserupaan dalam cara memahami mereka tentang dunia nyata (Hall, 1997a: 2).
Implikasi utama dari dari konsep praksis bagi konsep kebudayaan ialah bahwa simbol-simbol yang terkandung dalam suatu kebudayaan senantiasa bersifat cair, dinamis dan sementara, karena keberadaannya tergantung pada praksis para pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu, yang memiliki kepentingan tertentu pula. Kebudayaan[3] dalam arti ini bukan semata-mata merupakan sekumpulan pengetahuan yang diwariskan atau dilestarikan, melainkan merupakan sesuatu yang ‘dibentuk’, yaitu suatu kontruksi sosial yang berkaitan erat dengan kepentingan maupun kekuasaan si pelaku (Alam, 1999: 7). Dengan demikian, praksis para pelaku tidak sepenuhnya bebas dari struktur obyektif, tetapi praksis juga dapat mengubah struktur obyektif tersebut.
Untuk kasus di Indonesia, konsep kebudayaan yang dinamis dan inovatif seperti ini sangat diperlukan, karena kepentingan-kepentingan politik seringkali dipresentasikan sebagai wacana kebudayaan. Sebagai contoh, segala sesuatu yang dipandang profitabel, efektif dan efesien, hanya karena datangnya dari kebudayaan luar, maka—secara politis—kebudayaan yang dominan saat itu akan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang menyimpang atau tidak sesuai.
III
Dari uraian di atas, pembahasan mengenai kebudayaan ini adalah menurut pandangan Posmodernisme—yang berargumentasi bahwa subyektivitas merupakan efek dari bahasa atau wacana. Meskipun tidak ada kesejajaran langsung antara Pos-modernisme Pos-strukturalisme, dan pos-positivisme, pada masing-masing istilah dapat mengarah pada pencampuradukan yang diinginkan di antara ketiganya. Ketiga istilah ini memiliki kesamaan dalam pendekatannya terhadap epistemologi. Ketiganya menolak kebenaran sebagai suatu obyek abadi yang tetap atau yang biasa dikenal sebagai Anti-Esensialisme—yang menekankan pada peran konstitutif bahasa yang tidak stabil.
Posmodernisme memiliki potensi untuk memberi suara pada politik yang membebaskan suatu politik perbedaan, keragaman, dan solidaritas, yang dianggap sebagai keunggulan dari pandangan ini. Kondisi posmodernitas adalah jiwa modern yang sedang bercermin diri dari jauh dan menangkap keharusan mendesak untuk berubah (Bauman, 1991). Ketidakpastian, ambivalensi, dan ambiguitas kondisi Posmodern, menurut Bauman, membuka kemungkinan untuk menerima kontingensi atau kondisionalitas sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, yang dengannya orang bisa menciptakan masa depannya sendiri. Untuk itu, Posmodernisme mengubah toleransi menjadi solidaritas yang bukan sekedar soal kesempurnaan moral, melainkan sebuah kondisi yang perlu untuk bertahan hidup.
Posmodernisme memandang reflektifitas bisa dipahami sebagai wacana tentang pengalaman. Menjadi reflektif artinya berpartisipasi dalam sejumlah wacana dan hubungan-hubungan, dan pada saat yang sama mengkonstruksi wacana tentang apa yang dilakukan. Refleksifitas juga menuntut orang untuk membandingkan suatu tradisi dengan tradisi lain, suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Dengan demikian, budaya Posmodern mengundang orang-orang yang menjadi “orang lain” dalam modernitas untuk menyingkirkan perbedaan, dan sebagainya.
Karena Posmodernisme seringkali berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan epistemologi atau pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran dan pengetahuan, maka yang seringkali dianggap sebagai ciri dari kelemahan budaya Posmodernisme adalah justru mengenai tingginya tingkat refleksivitas—yang menunjukkan adanya kesadaran akan sifat terpilah-pilah, ambigu, dan tidak pasti dari dunia. Hal ini berjalan seiring dengan penekanan pada kontingensi, ironis, dan kaburnya batas-batas “kultural” atau “kebudayaan”.
Tanpa kepastian yang ada pada keyakinan-keyakinan agama dan kebudayaan tradisional, posmodernisme akan tampak seperti serangkaian alternatif yang terus bertambah banyak, yang harus dipilih tanpa dasar. Dan pada akhirnya, tidak selamanya orang bisa hidup dalam chaos. Karena tidak ada kepastian yang bisa dijadikan sandaran, Posmodernis terdorong menjadi lebih reflektif tentang diri mereka sendiri (Gergen, 1994: 71; Pease, 1999: 1-25). Bagi kalangan yang kurang begitu menyukai Posmodernisme, refleksifitas dianggap hanya memperlebar kemungkinan-kemungkinan permainan konstruksi-diri dalam identitas jamak. Menurrut mereka, tidak semua isu lepas dari sistem dan struktur, dan tidak semua sistem dan struktur tidak berfungsi. Karena sistem dan struktur merupakan peranan dari kebudayaan, maka manajemen, adaptasi, variasi, komputerisasi, keahlian dan simbol merupakan sistem yang tidak statis, bukan Fungsionalisme.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menerima legitimasi klaim kebenaran yang beragam adalah suatu sikap politis juga, karena penerimaan ini berarti mendukung pluralisme budaya posmodern yang pragmatis. Keraguan dan ketidakpastian yang menjadi ciri pengetahuan kontemporer bagi Posmodernisme, menurut Giddens (1990) bukanlah sebagai ‘Posmodernitas’, melainkan sebagai suatu ‘modernitas yang diradikalisasi’. Sebab, prevelensi kebudayaan sangat meluas dalam pengertian kajian budaya (cultural studies), bukan dalam pengertian posmodernisme (Hall dalam Thompson, 1997).
* Makalah ini disusun sebagai Tugas Mata Kuliah-Wajib Seminar Masalah Antropologi: Posmodernisme. Program Pascasarjana (S-3) Departemen Antropologi FISIP-UI. Hendra Kurniawan, 29 April 2005.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, B. (2003). Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, terjemahan dari judul asli “Critical Social Theories: An Introduction”. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Alam, B. (1997). Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan. Depok, Universitas Indonesia: Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 54.
_____, (1998). Konsep Kebudayaan Dewasa Ini: Seputar Pertanyaan Mengenai Kontruksi Budaya, Esensialisme dan Kekuasaan. Depok, Universitas Indonesia: Makalah Diskusi Asosiasi Antropologi Indonesia.
_____, (1999). Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan. Depok, Universitas Indonesia: Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 60.
Barker, C. (2005). Cultural Studies: Teori dan Praktik, terjemahan dari judul asli “Cultural Studies: Theory and Practice”. London: Sage Publications (2000). Yogyakarta: Bentang.
Barnard, A. & Spencer, J. (1996). Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. London, New York: Routledge.
Bauman, Z. (1991). Modernity and Ambivalence. Cambridge: Polity Press.
Borofsky, R. (1994). AssessingCultural Anthropology (Ed.). New York: McGraw-Hill, Inc.
Du Gay, P., Hall, S., Janse, L., Mackay, H. & Negus, K. (1997). Doing Cultural Studies: The Story of the Sony Walkman. London: Sage Publications.
Fox, R.G. & King B.J., (2002). Anthropology Beyond Culture (Eds.). New York: Berg.
Gergen, K. (1994). Realities and Relationships. Cambridge: Harvard University Press.
Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.
Hall, S. (1997a). The Work of Representation, dalam Stuart Hall (ed.) Representations. London & Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Hassard, J. & Parker, M. (1999). Postmodernism and Organizations (Eds.). London: Sage Publications.
Kaplan, D., Manners, A. (2002). Teori Budaya, terjemahan dari judul asli “The Theory of Culture”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Keesing, R.H. (1994). Theories of Culture Revisited, dalam Robert Borofsky “Assesing of Cultural Anthropology”. New York: McGraw-Hill.
Lopez, J. & Potter, G. (2001). After Postmodernism: An Introduction to Critical Realism (Eds.). London, New York: The Athlone Press.
Parker, J, Mars, L., Ransome, P. & Stanworth, H. (2003). Social Theory: A Basic Tool KIt. New York: Palgrave Macmillan.
Pease, B. & Fook, J. (1999). Transforming Social Work Practice: Posmodern Critical Perspectives (Eds.). NSW: Allen & Unwin.
Thompson, K. (1997). Media and Cultural Regulation (Ed.). London: Sage Publications.
Williams, R. (1989). Resources of Hope. London: Verso.
Winarto, Y.T. (1999). Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya. Depok, Universitas Indonesia: Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 60.
Wolff, A. (1925). Essentials of Scientific Method, hal, 10-15.
[1] Esensialisme budaya adalah pandangan bahwa suatu kebudayaan memiliki ‘esensi’ yang statis, yang tidak akan berubah selama-lamanya, atau sebagai ‘a reductionist view of culture’ (lengkapnya dalam pernyataan Colson yang dikutip Vayda, 1994: 322).
[2] Konsep kebudayaan yang diajukan oleh Williams ini terpusat pada makna sehari-hari, yaitu; pengetahuan, keyakinan, nilai (ideal-ideal yang abstrak) dan norma (prinsip atau aturan-aturan yang pasti, serta benda-benda material atau simbolis. Karena makna tidak dihasilkan oleh individu, melainkan oleh kolektivitas, maka konsep kebudayaan seperti ini mengacu pada makna-makna bersama.
[3] Pembahasan teoritis mengenai konsep kebudayaan yang dijelaskan oleh Bakhtiar Alam ditinjau dari perspektif teori praksis (Gramsci; Bourdieu, 1977) dan konsep wacana (Benveniste, 1971; Foucault, 1980). Secara praksis, hubungan saling membentuk dan mempengaruhi ini merupakan hubungan dialektis antara subyek dan struktur obyektif. Secara wacana, kebudayaan tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan. Dalam tulisannya, Bakhtiar Alam melakukan pendakatan ini dalam rangka mencari hubungan antara civil society dan negara.
Diposkan oleh Hendra Kurniawan di 22:54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar