Oleh : Febby Febriyandi. YS
Sejak berabad-abad yang lalu Tanjungpinang dan daerah lain di Kepulauan Riau telah dikenal dan banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa di dunia, baik untuk melakukan hubungan perdagangan, ataupun untuk tujuan penyebaran ajaran agama. Keindahan alam, letak yang strategis, sikap ramah tamah dan keterbukaan masyarakat Melayu menjadi faktor penting terjalinnya hubungan baik dengan berbagai bangsa pendatang. Seiring perkembangan zaman, arus para pendatang ke Tanjungpinang semakin meningkat dan semakin beragam. Kedatangan mereka tidak hanya untuk kepentingan perdagangan semata, melainkan juga untuk berwisata menikmati keindahan alam atau mendapatkan kesenangan duniawi lainnya.
Beberapa tahun silam, sektor pariwisata di Tanjungpinang boleh dikatakan sangat menggairahkan dan menggiurkan bagi banyak pihak. Ketika itu industri pariwisata di Tanjungpinang diwarnai oleh praktek prostitusi dan perjudian yang seolah-olah ”legal”. Setelah lahirnya kebijakan pemerintah untuk menertiban praktek prostitusi dan perjudian, industri pariwisata di Tanjungpinang menjadi redup dan semakin menurun baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Berbagai upaya telah dan terus dilakukan untuk memajukan kembali sektor pariwisata, dengan tujuan mendapatkan keuntungan bagi pembangunan daerah dan meningkatnya taraf perekonomian masyarakat.
Tidak hanya bagi Tanjungpinang, dalam skala nasional industri pariwisata menjadi salah satu perhatian sentral dan melahirkan kepedulian dari banyak pihak. Joov Ave[1] mengungkapkan ”kepesatan industri pariwisata di Indonesia memancing timbulnya berbagai kepedulian di kalangan masyarakat luas. Salah satu kepedulian itu adalah kekhawatiran akan terjadinya kelunturan nilai-nilai agama dan adat-istiadat yang dipelihara dan dijunjung tinggi oleh para leluhur”.
Kekhawatiran ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Di jepang, industri pariwisata pernah di boikot oleh ibu-ibu rumah tangga karena dianggap menjual paket-paket wisata maksiat. Masyarakat Polinesia dan Mikronesia di gugusan kepulauan laut pacifik khususnya Hawai, dianggap telah kehilangan identitasnya karena industri pariwisata. Industri ini juga dianggap sebagai malapetaka ketika Virus HIV dan AIDS berkecamuk di salah satu negara ASEAN pada akhir tahun 1980an. Pencemaran lingkungan hidup, kerusakan fauna dan flora di darat dan laut juga disebabkan oleh industri pariwisata.
Marpaung (2002) mengatakan bahwa industri pariwisata membawa akibat pada perubahan kondisi moral masyarakat setempat, seperti pelacuran/seks bebas, perjudian serta perilaku jelek lainnya. Selain itu, Sammeng (2001) mengatakan bahwa industri pariwisata membawa dampak negatif seperti pelecehan nilai budaya dan agama setempat yang dikomersialkan untuk menghibur wisatawan. Sebagai contoh, ritual dan upacara tradisional yang disajikan sebagai pertunjukan bagi wisatawan telah kehilangan nilainya. Pada prinsipnya para wisatawan tidak mendapatkan ritual yang sebenarnya, melainkan hanya sebuah rekayasa.
Dampak lain adalah pergeseran nilai budaya (terutama pada golongan muda), mereka lebih tertarik kepada nilai-nilai yang dibawa oleh wisatawan dari pada nilai budayanya sendiri. Akibatnya nilai tradisional yang merupakan jati diri suatu masyarakat berubah menjadi budaya ”coca-cola” yang manifestasinya adalah : musik disco, lampu neon dan bar atau pub mulai menggantikan musik dan tradisi bersantai masyarakat setempat. Prilaku imitatif generasi muda ini disebabkan oleh penilaian yang bersifat turistik, sehingga menimbulkan prilaku meniru (Sammeng, 2001 ; 233-234).
Hal senada juga disampaikan oleh Oka A. Yoeti, dkk (2006) yang mengatakan bahwa industri pariwisata menyebabkan munculnya apa yang disebut sebagai culture shock (gegar budaya) yaitu suatu kondisi yang dialami oleh seseorang setelah berhubungan atau berkomunikasi dengan seseorang atau kelompok orang yang berbeda budaya dengan kebudayaan orang yang mengalami gegar budaya tersebut. Culture Shock mengakibatkan si penderita merasa tertekan, mengalami kebingungan dan akhirnya secara perlahan-lahan mengalami perubahan budaya.
Bagaimana dengan masyarakat Melayu di Tanjungpinang? apa sumbangan sektor pariwisata terhadap budaya Melayu di Tanjungpinang?. Tidak dipungkiri sektor pariwisata memberikan sumbangan bagi budaya Melayu di Tanjungpinang. Sebagai contoh : dengan banyaknya kunjungan wisatawan ke Tanjungpinang, berbagai kesenian tradisional Melayu semakin dikenal luas, dan semakin banyak ditampilkan sebagai tontonan yang menarik bagi wisatawan. Hal ini mendorong lahirnya beberapa sanggar/kelompok kesenian tradisional yang secara intens melatih generasi muda untuk mempelajari kesenian tradisional Melayu. Industri pariwisata juga mendorong lahirnya berbagai kegiatan seperti Festival budaya Melayu, perlombaan permainan rakyat yang melibatkan banyak orang, dipromosikan ke luar negeri, dan dibuat semegah mungkin. Semua usaha itu dilakukan dalam rangka memajukan industri pariwisata.
Selain itu, kegiatan pariwisata juga memberikan dampak yang cukup besar terhadap perubahan nilai dan pola hidup masyarakat Melayu. Pembatasan-pembatasan yang berlaku dalam budaya Melayu dan yang berfungsi menjaga pola ideal menjadi semakin longgar, dan menyebabkan variasi[2] kelakuan individu menjadi lebih menonjol. Variasi ini dapat dilihat dengan sangat mudah. Dalam setiap ruang publik akan kita lihat perempuan muda yang berpakaian ”minim” dan serba terbuka. Atau jika kita lebih jeli, pada kesempatan tertentu kita juga dapat menemukan pemuda dan pemudi yang berduaan, berpelukan dan berciuman ditempat umum. Ketika ditelusuri lebih jauh, ternyata pemuda dan pemudi tersebut adalah orang-orang Melayu. Variasi perilaku[3] tersebut merupakan imitatif dari budaya asing yang berbeda dengan pola ideal yang terdapat dalam budaya Melayu.
Sebagai contoh lain, terdapat tempat hiburan malam yang menyajikan bentuk-bentuk hiburan seperti karaoke yang mentolerir layanan penari telanjang. Bentuk hiburan ini pada awalnya lahir karena tuntutan sektor pariwisata, namun dalam perkembangannya bentuk hiburan tersebut juga dinikmati oleh orang-orang Melayu. Berbagai variasi perilaku tersebut memiliki kesempatan untuk menjadi perilaku bersama yang menjadi kebiasaan (budaya)[4] bagi orang-orang Melayu.
Kemudian, sebagian kegiatan pariwisata -sengaja atau tidak- telah mendobrak norma-norma masyarakat Melayu. Salah satu contoh, dalam banyak kunjungan wisatawan ke Mesjid Sultan di Pulau Penyengat dengan mudah kita temukan wisatawan yang tidak mematuhi aturan memakai pakaian yang menutupi aurat untuk memasuki Mesjid. Tindakan wisatawan tersebut sebenarnya sudah dapat digolongkan kedalam tindakan pelecehan[5] nilai agama dan budaya Melayu, karena bagi masyarakat Melayu mesjid bukan hanya sekedar tempat beribadah, melainkan telah dilekatkan sebagai identitas bagi budaya Melayu. Meskipun para wisatawan memiliki keyakinan keagamaan dan nilai budaya yang berbeda dengan masyarakat Melayu, para wisatawan tersebut wajib mematuhi norma yang berlaku dalam masyarakat Melayu yang dikunjunginya. Mungkin bisa dibuat pengecualian jika masyarakat Melayu yang dilecehkan membenarkan tindakan wisatawan tersebut.
Industri pariwisata yang pernah jaya juga telah memaksa masyarakat Melayu ”menerima” praktek prostitusi sebagai salah satu fasilitas dalam paket layanan pariwisata. Masyarakat Melayu sebagai etnis tempatan/lokal di Tanjungpinang ”terpaksa” membiarkan, dan bahkan ada yang terlibat dalam praktek tersebut -meskipun sebenarnya bertentangan dengan nilai budaya Melayu- demi mendapatkan keuntungan finansial dari sektor pariwisata. Meskipun saat ini praktek prostitusi telah ditertibkan dan sektor pariwisata terlihat ”dingin”, namun perubahan nilai budaya dan pola prilaku yang diakibatkannya tetap membekas dalam kehidupan masyarakat Melayu di kota Tanjungpinang.
Dalam tulisan ini, sebagian kecil perubahan yang dipaparkan di atas sebagai sumbangan industri pariwisata terhadap budaya Melayu, tidak dinilai sebagai suatu dampak yang positif ataupun negatif. Penilaian tersebut hanya berhak diberikan oleh individu-individu yang merasa sebagai pemilik budaya Melayu. Perubahan tersebut juga hanya bisa dirasakan lebih dalam dan kompleks oleh orang-orang Melayu sendiri. Apakah perubahan itu dianggap biasa, diperlukan, atau harus dicegah dan kembali diarahkan kepada pola yang ideal dan dicita-citakan, semuanya terpulang kepada orang Melayu.
Dalam berbagai usaha pengembangan sektor pariwisata di Tanjungpinang, seluruh pihak yang terlibat hendaknya tidak memandang industri pariwisata semata-mata sebagai alat menjaring keuntungan finansial dan mengenyampingkan aspek budaya masyarakat tempatan. Sehingga pada akhirnya pembangunan pariwisata justru melahirkan masalah baru yang semakin rumit. Pengelolaan industri pariwisata patut mendapatkan perhatian serius dan dilihat dari sudut pandang yang lebih kritis, karena berpotensi menimbulkan kerugian yang jauh lebih bernilai dari sekedar keuntungan finansial yang mungkin diperoleh.
Pembangunan sektor pariwisata yang lebih tepat adalah yang secara aktif membantu menjaga ”keabadian” suatu daerah kebudayaan. Sektor pariwisata yang dikembangkan melalui penyediaan tempat wisata, dengan pemeliharaan kebudayaan, sejarah, lingkungan alam dan peningkatan taraf perkembangan ekonomi masyarakatnya[6]. Industri pariwisata haruslah dibangun dengan didasari oleh prinsip-prinsip[7] yaitu :
- Secara aktif mendorong kelangsungan peninggalan di suatu daerah kebudayaan sejarah dan alam.
- Menampilkan identitas daerah sebagai sesuatu yang unik dan khas.
- Memberdayakan masyarakat lokal untuk menginterpretasikan warisan mereka kepada wisatawan.
- Membangun rasa bangga masyarakat lokal akan warisan (budaya dan sejarah) mereka.
- Memelihara gaya hidup dan nilai-nilai masyarakat setempat
Tanjungpinang memiliki modal besar dalam pengembangan industri pariwisata, dimana terdapat sepuluh (10) dari dua belas (12) manifestasi budaya[8] yang bisa dijadikan sebagai potensi daya tarik pariwisata yaitu : bahasa, tradisi, kesenian, sejarah, makanan tradisional, kerajinan, peralatan tradisional yang khas, arsitektur, agama, dan pakaian tradisional. Jika sepuluh (10) potensi tersebut ini dikelola dengan baik dan didasarkan kepada lima (5) prinsip di atas, diyakini industri pariwisata di Tanjungpinang akan semakin berkembang, dan budaya Melayu tidak ”tercemar” oleh penilaian yang bersifat turistik. Kita mengakui bahwa tidak ada satupun kebudayaan yang tidak mengalami perubahan, dan kita tidak mampu membendung suatu perubahan. Tetapi paling tidak, setiap masyarakat berhak mendapatkan kemampuan untuk menentukan arah perubahan kebudayaan mereka sendiri.
Daftar Pustaka
Ihromi, T.O. 2000. Pokok-Pokok Antrpologi Budya.(ed). Yayasan Obor Indonesia : Jakarta.
Lutfi, Muchtar. 1985. “Melayu dan Non-Melayu : Masalah Pembauran Kebudayaan”. (makalah pada seminar : Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjungpinang 1985)
Malinowski, B. 1983. Dinamik Bagi Perubahan Budaya. (terj). Dewan Bahasa dan Pustaka : Kuala Lumpur.
Marpaung, Happy dan Herman Bahar. 2002. Pengantar Pariwisata. Alfabeta : Jakarta.
Sammeng, Andi M. 2001. Cakrawala Pariwisata. Balai Pustaka : Jakarta
Yoeti, Oka A, dkk. 2006. Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. (ed). PT. Pradnya Paramita : Jakarta.
[1] “Pengantar” dalam Sammeng, 2001 ; ix
[2] Mengenai variasi kelakuan individu, lihat : Ihromi, 2000 (hlm 26-27)
[3] Mengingat heterogenitas budaya dan masyarakat Tanjungpinang, kita harus sangat hati-hati dalam melihat variasi perilaku dari setiap individu. Dalam konteks ini, variasi yang dimaksudkan adalah variasi dari pola perilaku orang Melayu. Bukan variasi yang disebabkan karena heterogenitas budaya di Tanjungpinang.
[4] Op cit, hlm 32
[5] Penjelasan lebih lanjut mengenai pelecehan budaya, lihat : Sammeng, Andi.M, 2001. (hlm ; 232) dan Yoeti, Oka. A, dkk, 2006 (hlm ; 27).
[6] Marpaung, 2002 ; 21-38
[7] Ibid, hlm 48
[8] Lihat : Yoeti Oka. A, dkk, 2006 ; 134-135
Ditulis untuk program Rampai Budaya RRI Pratama Tanjungpinang, Juli 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar